admin

Pelayanan Konsolidasi Tanah secara Swadaya sebagai Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Badan Pertanahan Nasional menurut PP No.13 tahun 2010

Di dalam Pasal 1 huruf c Peraturan Pemerintah Nomor 13 tahun 2010 tentang Jenis dan Tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Badan Pertanahan Nasional (“PP No.13/2010”), diatur bahwa salah satu jenis penerimaan negara bukan pajak yang diterima oleh Badan Pertanahan Nasional adalah dari pelayanan konsolidasi tanah secara swadaya. Konsolidasi Tanah adalah kebijakan pertanahan mengenai penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (P4T) sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah serta usaha penyediaan tanah untuk kepentingan pembangunan dalam rangka meningkatkan kualitas lingkungan dan pemeliharaan sumberdaya alam dengan melibatkan partisipasi aktif masyarakat.

Jenis penerimaan negara bukan pajak yang berasal dari pelayanan konsolidasi tanah secara swadaya meliputi :

1. Pelayanan Konsolidasi Tanah Secara Swadaya Pertanian;

tarif: Tkts = L+500/0,020 + (3Tu x ¾) Tph

2. Pelayanan Konsolidasi Tanah Secara Swadaya Nonpertanian.

tarif: Tkts = L+500/0,004 + (3Tu x ¾) Tph

Yang dimaksud dengan:

Tkts adalah Tarif Pelayanan Konsolidasi Tanah Secara Swadaya.
L adalah Luas tanah yang dimohon dalam satuan luas meter persegi (m2).
Tu adalah Tarif Pengukuran dan Pemetaan Bidang Tanah yang digunakan untuk:
i. pengukuran dan pemetaan keliling;

ii. pengukuran Topografi;

iii. pengukuran dan pemetaan Rincikan;

iv. pemindahan desain ke lapang.

Tph adalah Tarif Pelayanan Pendaftaran Tanah untuk Pertama Kali dan Pemeliharaan Data Pendaftaran Tanah.
HSBKu adalah Harga Satuan Biaya Khusus kegiatan pengukuran yang berlaku untuk tahun berkenaan, untuk komponen belanja bahan dan honor yang terkait dengan keluaran (output) kegiatan.

Maria Amanda

read more

Pelaksanaan Pencabutan Hak-hak atas Tanah dan Benda-benda yang Ada di Atasnya Sesuai dengan Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 1973

Pencabutan hak atas tanah dan/atau benda yang ada diatasnya sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-hak atas Tanah dan Benda-benda yang ada diatasnya (“UU No 20/1961”) hanya dilaksanakan benar-benar untuk kepentingan umum dan dilakukan dengan hati-hati serta dengan cara-cara yang adil dan bijaksana dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pelaksanaan pencabutan hak atas tanah dan/atau benda yang ada di atasnya diharapkan menggunakan pedoman-pedoman sebagaimana tercantum dalam Lampiran Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 1973 tentang Pelaksanaan Pencabutan Hak-hak atas Tanah dan Benda-benda yang ada di atasnya (“Inpres No 9/1973”).

Dalam pasal 1 Lampiran Inpres No 9/1973, suatu kegiatan dalam rangka pelaksanaan pembangunan mempunyai sifat kepentingan umum, apabila kegiatan tersebut menyangkut kepentingan Bangsa dan Negara, dan/atau kepentingan masyarakat luas, dan/atau kepentingan rakyat banyak/bersama, dan/atau kepentingan Pembangunan. Bentuk-bentuk kegiatan Pembangunan yang mempunyai sifat kepentingan umum meliputi bidang:

Pertahanan;
Pekerjaan Umum;
Perlengkapan Umum;
Jasa Umum;
Keagamaan;
Ilmu Pengetahuan dan Seni Budaya;
Kesehatan;
Olahraga;
Keselamatan Umum terhadap bencana alam;
Kesejahteraan Sosial;
Makam/Kuburan;
Pariwisata dan Rekreasi;
Usaha-usaha ekonomi yang bermanfaat bagi kesejahteraan umum.
Suatu proyek pembangunan dinyatakan sebagai bentuk kegiatan yang mempunyai sifat kepentingan umum apabila proyek tersebut sudah termasuk dalam rencana pembangunan yang telah diberitahukan kepada masyarakat yang bersangkutan.

PanitiaPenaksir sebagai dimaksud dalam Pasal 4 UU NO.20/1961 dalam menerapkan besarnya ganti rugi atas tanah/bangunan/tanaman yang berada di atasnya harus menaksir secara obyektif dengan tidak merugikan kedua belah pihak dan dengan menggunakan norma-norma serta memperhatikan harga-harga penjualan tanah/bangunan/tanaman di sekitanrnya dalam tahun yang sedang berjalan.

Dalam Pasal 6 Lampiran Inpres No.9/1973, pembayaran ganti-rugi kepada pihak-pihak yang hak atas tanahnya dicabut, oleh pihak yang berkepentingan harus dilakukan secara tunai dan dibayarkan langsung kepada pihak yang berhak. Rencana penampungan pihak-pihak yang hak atas tanahnya dicabut, oleh yang berkepentingan harus diusahakan sedemikian rupa agar pihak yang dipindahkan itu tetap dapat menjalankan kegiatan usahanya/mencari nafkah kehidupan yang layak seperti semula.

Maria Amanda

read more

Pelayanan Pemeriksaan Tanah sebagai Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Badan Pertanahan Nasional menurut PP No.13 tahun 2010

Dalam Pasal 1 huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 13 tahun 2010 tentang Jenis dan Tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Badan Pertanahan Nasional (“PP No.13/2010”), salah satu jenis penerimaan negara bukan pajak yang diterima oleh Badan Pertanahan Nasional adalah dari pelayanan pemeriksaan tanah. Jenis penerimaan negara bukan pajak yang berasal dari pelayanan pemeriksaan tanah meliputi:

1. Pelayanan Pemeriksaan Tanah oleh Panitia A;

Panitia A adalah panitia yang bertugas melaksanakan pemeriksaan, penelitian, dan pengkajian data fisik dan data yuridis di lapangan dan di kantor dalam rangka penyelesaian permohonan pemberian Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai atas tanah Negara, Hak Pengelolaan, dan permohonan pengakuan hak atas tanah.
Tarif: Tpa= (L/500 x HSBKpa) + Rp.350.000,00

-pemeriksaan untuk tanah massal

Secara Massal adalah permohonan yang diajukan paling sedikit 10 (sepuluh) bidang dalam 1 (satu) kelurahan, desa, atau nama lainnya.

Tarif: Tpam = 1/5 (L/500 x HSBKpa) + Rp.350.000,00

2. Pelayanan Pemeriksaan Tanah oleh Panitia B;

Panitia B adalah Panitia yang bertugas melaksanakan pemeriksaan, penelitian, dan pengkajian data fisik dan data yuridis di lapangan maupun di kantor dalam rangka penyelesaian permohonan pemberian, perpanjangan, dan pembaruan Hak Guna Usaha.

Tarif: Tpb= (L/100.000 x HSBKpb) + Rp.5.000.000,00

3. Pelayanan Pemeriksaan Tanah oleh Tim Peneliti Tanah; dan

Tim Peneliti Tanah adalah tim yang bertugas melaksanakan pemeriksaan, penelitian dan pengkajian data fisik dan data yuridis di lapangan dan di kantor dalam rangka penyelesaian permohonan pemberian hak atas tanah instansi pemerintah dan pemerintah daerah.

Tarif: Tpp= (L/500 x HSBKpp) + Rp.350.000,00

-untuk tanah massal

Tarif: Tpm= 1/5 (L/500 x HSBKpm) + Rp.350.000,00

4. Pelayanan Pemeriksaan Tanah oleh Petugas Konstatasi.

Petugas Konstatasi adalah petugas (Kepala Kantor Pertanahan atau Pejabat yang ditunjuk) yang melaksanakan pemeriksaan data fisik dan data yuridis di lapangan dan di kantor dalam rangka pemberian Hak Atas Tanah yang berasal dari tanah yang sudah pernah terdaftar dan perpanjangan serta pembaruan Hak Atas Tanah kecuali Hak Guna Usaha.

Tarif: Tpk= 50% x Tpa

Dalam pasal 21 PP No. 13/2010, terhadap pihak tertentu dapat dikenakan tarif sebesar 50% (lima puluh persen) dari tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak berupa Pelayanan Pemeriksaan Tanah oleh Panitia A dan Pelayanan Pemeriksaan Tanah oleh Petugas Konstatasi. Pihak yang dapat dikenakan tarif sebesar 50% (lima puluh persen) dari tarif Pelayanan Pemeriksaan Tanah oleh Panitia A dan oleh Petugas Konstatasi terdiri atas:

masyarakat tidak mampu;
badan hukum yang bergerak di bidang keagamaan dan sosial yang penggunaan tanahnya untuk peribadatan, panti asuhan, dan panti jompo;
veteran, pegawai negeri sipil, prajurit Tentara Nasional Indonesia, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia;
suami/istri veteran, suami/istri pegawai negeri sipil, suami/istri prajurit Tentara Nasional Indonesia, suami/istri anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia;
pensiunan pegawai negeri sipil, purnawirawan Tentara Nasional Indonesia, purnawirawan Kepolisian Negara Republik Indonesia;
janda/duda veteran, janda/duda pegawai negeri sipil, janda/duda prajurit Tentara Nasional Indonesia, janda/duda anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia;
janda/duda pensiunan pegawai negeri sipil, janda/duda purnawirawan Tentara Nasional Indonesia, janda/duda purnawirawan Kepolisian Negara Republik Indonesia;

Yang dimaksud dengan:

Tpa adalah Tarif Pelayanan Pemeriksaan Tanah oleh Panitia A.
L adalah Luas tanah yang dimohon dalam satuan luas meter persegi (m2).
HSBKpa adalah Harga Satuan Biaya Khusus kegiatan Pemeriksaan bahan dan honor yang terkait dengan keluaran (output) kegiatan sidang panitia pemeriksaan tanah, penerbitan Keputusan hak, dan penerbitan sertifikat.
Tpam adalah Tarif Pelayanan Pemeriksaan Tanah oleh Panitia A untuk Pemeriksaan Tanah secara masal.
Tpb adalah Tarif Pelayanan Pemeriksaan Tanah oleh Panitia B
HSBKpb adalah Harga Satuan Biaya Khusus kegiatan pemeriksaan tanah oleh Panitia B untuk tahun berkenaan, untuk komponen belanja bahan dan honor yang terkait dengan keluaran (output) kegiatan sidang panitia pemeriksaan tanah, penerbitan Keputusan Hak dan penerbitan sertifikat.
Tpp adalah Tarif Pelayanan Pemeriksaan Tanah oleh Tim Peneliti Tanah.
HSBKpp adalah Harga Satuan Biaya Khusus kegiatan Pemeriksaan Tanah oleh Tim Peneliti Tanah untuk tahun berkenaan, untuk komponen belanja bahan dan honor yang terkait dengan keluaran (output) kegiatan sidang panitia pemeriksaan tanah, penerbitan Keputusan hak, dan penerbitan sertifikat.
Tpm adalah Tarif Pelayanan Pemeriksaan Tanah oleh Tim Peneliti Tanah untuk Pemeriksaan Tanah secara massal.
HSBKpm adalah Harga Satuan Biaya Khusus kegiatan pemeriksaan Tanah oleh Tim Peneliti Tanah untuk Pemeriksaan Tanah secara massal untuk tahun berkenaan, untuk komponen belanja bahan dan honor yang terkait dengan keluaran (output) kegiatan sidang panitia pemeriksaan tanah, penerbitan Keputusan hak dan penerbitan sertifikat.
Tpk adalah Tarif Pelayanan Pemeriksaan Tanah oleh Petugas Konstatasi.
HSBKpk adalah Harga Satuan Biaya Khusus kegiatan Pemeriksaan Tanah oleh Petugas Konstatasi untuk tahun berkenaan, untuk komponen belanja bahan dan honor yang terkait dengan keluaran (output) kegiatan sidang panitia pemeriksaan tanah, penerbitan Keputusan hak dan penerbitan sertifikat.

Maria Amanda

read more

Pelayanan Survey, Pengukuran, Pemetaan sebagai Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Badan Pertanahan Nasional menurut PP No.13 tahun 2010

Dalam pasal 1 huruf a Peraturan Pemerintah Nomor 13 tahun 2010 tentang Jenis dan Tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Badan Pertanahan Nasional (“PP No.13/2010”), salah satu jenis penerimaan negara bukan pajak yang diterima oleh Badan Pertanahan Nasional adalah dari pelayanan survey, pengukuran, pemetaan.

Pelayanan survey, pengukuran, dan pemetaan meliputi:

1. Pelayanan Survei, Pengukuran Batas Kawasan atau Batas Wilayah, dan Pemetaan;
2. Pelayanan Pengukuran dan Pemetaan Bidang Tanah dalam rangka Penetapan Batas, yang meliputi:

i. Pelayanan Pengukuran dan Pemetaan Batas Bidang Tanah;

-luas tanah sampai 10 hektar

Tarif: Tu = (L/500 x HSBKu) + Rp.100.000,00

-luas tanah 10-1000 hektar

Tarif: Tu = (L/4000 x HSBKu) + Rp.14.000.000,00

-luas tanah lebih dari 1000 hektar

Tarif: Tu = (L/10.000 x HSBKu) + Rp.134.000.000,00

ii. Pelayanan Pengukuran dan Pemetaan Batas Bidang Tanah Secara Massal

Secara Massal adalah permohonan yang diajukan paling sedikit 10 (sepuluh) bidang dalam 1 (satu) kelurahan, desa, atau nama lainnya.

Tarif: Tum = 75% x Tu

iii. Pelayanan Pengembalian Batas; dan

Tarif: Tpb= 150% x Tu

iv. Pelayanan Legalisasi Gambar Ukur Surveyor Berlisensi.

Legalisasi Gambar Ukur Surveyor Berlisensi adalah legalisasi gambar ukur hasil pengukuran dan pemetaan batas bidang tanah yang dilakukan oleh surveyor berlisensi.

Tarif: Tsl= 30% x Tu

Pelayanan Pengukuran dan Pemetaan Batas Ruang Atas Tanah, Ruang Bawah Tanah, atau Ruang Perairan
Pelayanan Pengukuran dan Pemetaan Batas Ruang Atas Tanah, Ruang Bawah Tanah, atau Ruang Perairan adalah seluruh jenis kegiatan pengukuran dalam rangka penetapan batas ruang atas tanah, atau ruang bawah tanah untuk penerbitan sertifikatnya atau kegiatan pertanahan lainnya.

Tarif: 300% x Tu

Yang dimaksud dengan:

hektar adalah luas sama dengan 10.000 m2.
Tu adalah Tarif Pelayanan Pengukuran dan Pemetaan Bidang Tanah dalam rangka Penetapan Batas.
L adalah Luas tanah yang dimohon dalam satuan luas meter persegi (m2).
HSBKu adalah Harga Satuan Biaya Khusus kegiatan pengukuran yang berlaku untuk tahun berkenaan, untuk komponen belanja bahan dan honor yang terkait dengan keluaran (output) kegiatan.
Tum adalah Tarif Pelayanan Pengukuran dan Pemetaan Bidang Tanah Secara Massal.
Tpb adalah Tarif Pelayanan Pengembalian Batas.
Tsl adalah Tarif Pelayanan Legalisasi Gambar Ukur Surveyor Berlisensi

Maria Amanda

read more

Rangkuman Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar

Definisitanahterlantar

Definisi tanah terlantar tidak diatur di dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar (“PP No.11/2010”), tetapi diatur di dalam Pasal 1 angka 6 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 4 tahun 2010 tentang Tata Cara Penertiban Tanah Terlantar. Tanah terlantar adalah tanah yang sudah diberikan hak oleh negara berupa Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai dan Hak Pengelolaan, atau dasar penguasaan atas tanah yang tidak diusahakan, tidak dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan pemberian hak atau dasar penguasaannya.

Obyektanahterlantar

Dalam Pasal 2 PP No.11/2010, yang termasuk sebagai obyek tanah terlantar meliputi tanah yang sudah diberikan hak oleh Negara berupa Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, dan Hak Pengelolaan, atau dasar penguasaan atas tanah yang tidak diusahakan, tidak dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan pemberian hak atau dasar penguasaannya.

Tanah yang tidak termasuk sebagai obyek penertiban tanah terlantar sebagaimana diatur dalam Pasal 3 PP No.11/2010 adalah tanah Hak Milik atau Hak Guna Bangunan atas nama perseorangan yang secara tidak sengaja tidak dipergunakansesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan pemberian haknya,dan tanah yang dikuasai pemerintah baik secara langsung maupun tidak langsung dan sudah berstatus maupun belum berstatus Barang Milik Negara/Daerah yang tidak sengaja tidak dipergunakan sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan pemberian haknya.

Indentifikasi dan penelitian tanah yang terindikasi terlantar

Identifikasi dan penelitian tanah yang terindikasi terlantar dilaksanakan oleh panitia yang terdiri dari unsur Badan Pertanahan Nasional dan unsur instansi terkait yang diatur oleh Kepala Badan Pertanahan Republik Indonesia (“BPN”). Dalam Pasal 7 PP No.11/2010, kegiatan identifikasi dan penelitian tanah yang terindikasi terlantar meliputi:

verifikasi data fisik dan data yuridis;
mengecek buku tanah dan/atau warkah dan dokumen lainnya untuk mengetahui keberadaan pembebanan, termasuk data, rencana, dan tahapan penggunaan dan pemanfaatan tanah pada saat pengajuan hak;
meminta keterangan dari pemegang hak dan pihak lain yang terkait, dan pemegang hak dan pihak lain yang terkait tersebut harus memberi keterangan atau menyampaikan data yang diperlukan;
melaksanakan pemeriksaan fisik;
melaksanakan ploting letak penggunaan dan pemanfaatan tanah pada peta pertanahan;
membuat analisis penyebab terjadinya tanah terlantar;
menyusun laporan hasil identifikasi dan penelitian;
melaksanakan sidang Panitia; dan
membuat Berita Acara.

Peringatan

Apabila berdasarkan hasil identifikasi dan penelitian disimpulkan terdapat tanah terlantar, maka Kepala Kantor Wilayah memberitahukan dan sekaligus memberikan peringatan tertulis pertama kepada Pemegang Hak, agar dalam jangkawaktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkannya suratperingatan, menggunakan tanahnya sesuai keadaannya atau menurut sifat dan tujuan pemberian haknya atau sesuai izin/keputusan/surat sebagai dasar penguasaannya.

Apabila Pemegang Hak tidak melaksanakan peringatan tertulis pertama, Kepala Kantor Wilayah memberikan peringatan tertulis kedua dengan jangka waktu yang sama dengan peringatan pertama. Apabila Pemegang Hak juga tidak melaksanakan peringatan tertulis kedua, Kepala Kantor Wilayah memberikan peringatan tertulis ketiga atau peringatan terakhir dengan jangka waktuyang sama dengan peringatan kedua.

Di dalam surat peringatan perlu disebutkan hal-hal yangsecara konkret harus dilakukan oleh pemegang hak dan sanksi yang dapat dijatuhkan apabila pemegang hak tidak mengindahkan atau tidak melaksanakan peringatan yang dimaksud.

Penetapan tanah terlantar

Apabila pemegang hak tetap tidak melaksanakan peringatan tertulis yang diberikan oleh Kepala Kator Wilayah, maka Kepala Kantor Wilayah mengusulkan kepada Kepala BPN untuk menetapkan tanah yangbersangkutan sebagai tanah terlantar. Kemudian,Kepala BPN menetapkan tanah yang diusulkan oleh Kepala Kantor Wilayah sebagai tanah terlantar. Dalam hal tanah yang akan ditetapkan sebagai tanah terlantar merupakan tanah hak, penetapan tanah terlantar memuat juga penetapan hapusnya hak atas tanah, sekaligus memutuskan hubungan hukum serta ditegaskan sebagai tanah yang dikuasai langsung oleh Negara.Dalam hal tanah yang akan ditetapkan sebagai tanah terlantar adalah tanah yang telah diberikan dasar penguasaan, penetapan tanah terlantar memuat juga pemutusan hubungan hukum serta penegasan sebagai tanah yang dikuasai langsung oleh Negara.

Pendayagunaan tanah negara bekas tanah terlantar

Peruntukan penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah negara bekas tanah terlantar didayagunakan untuk kepentingan masyarakat dan negara melalui reforma agraria dan program strategis negara serta untuk cadangan negara lainnya. Peruntukan dan pengaturan peruntukan penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah negara bekas tanah terlantar dilaksanakan oleh Kepala BPN.

Maria Amanda

read more

Undang-undang Nomor 20 tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-hak Tanah dan Benda-benda yang Ada di Atasnya

Dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor 20 tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-hak Tanah dan/atauBenda-benda yang ada di atasnya (“UU No.20/1961”), Presiden dalam keadaan yang memaksa setelah mendengar Menteri Agraria, Menteri Kehakiman dan Menteri yang bersangkutan dapat mencabut hak-hak atas tanah dan/atau benda-benda yang ada diatasnya. Pencabutan hak-hak atas tanah dan benda-benda yang berada diatasnya dapat dilakukan apabila tanah dan/atau benda-benda yang berada diatasnya dibutuhkan untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan Bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat, demikian pula untuk kepentingan pembangunan.

Pengajuan permintaan pencabutan hak-hak atas tanah

Dalam pasal 2 UU No.20/1961, permintaan pencabutan hak-hak atas tanah dan/atau benda-benda yang berada diatasnya diajukan oleh pihak yang berkepentingan kepada Presiden dengan perantaraan Menteri Agraria (sekarang Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia), melalui Kepala Inspeksi Agraria(sekarang Kantor wilayah BPN Provinsi) disertai dengan:

rencana peruntukannya dan alasan-alasannya
keterangan mengenai nama yang berhak, beserta letak, luas, dan macam hak dari tanah yang akan dicabut haknya
rencana penampungan orang-orang yang haknya akan dicabut.
Proses pencabutan hak-hak atas tanah

Setelah menerima pengajuan permintaan pencabutan hak atas tanah,Kantor wilayah BPN Provinsi meminta pertimbangan kepada Kepala Daerah untuk memberikan pertimbangan mengenai permintaan pencabutan hak atas tanah. Selain itu,Kantor wilayah BPN Provinsi juga meminta pertimbangan kepada panitia penaksir untuk menaksiran biaya ganti rugi.
Dalam jangka waktu selambat-lambatnya 3 bulan, Kepala Derah harus sudah menyampaikan pertimbangannya dan panitia penaksir sudah harus menyampaikan taksiran besar ganti kerugian kepada Kantor wilayah BPN Provinsi. Setelah mendapat pertimbangan dan tafsiran ganti kerugian Kantor wilayah BPN Provinsi menyampaikan permintaan pencabutan hak atas tanah kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia.
Apabila dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan Kepala Daerah dan panitia peaksir belum menyampaikan pertimbangannya, maka Kantor wilayah BPN Provinsi dapat menyampaikan permintaan pencabutan hak atas tanah kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia tanpa menunggu pertimbangan Kepala Daerah dan panitia penaksir.
Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia mengajukan permintaan pencabutan hak atas tanah tersebut kepada Presiden disertai dengan pertimbangan Menteri Kehakiman dan Menteri yang bersangkutan. Pengajuan pencabutan hak atas tanah harus segera dilaksanakan untuk mendapatkan keputusan Presiden mengenai pencabutan hak atas tanah.
Pencabutan hak atas tanah dalam keadaan yang sangat mendesak

Dalam pasal 6 UU No.20/1961, diatur bahwa dalam keadaan yang sangat mendesak, Kantor wilayah BPN Provinsisetelah menerima permintaan pencabutan hak atas tanah dapat langsung mengajukan permintaan pencabutan hak atas tanah kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia tanpa meminta pertimbangan dari kepala daerah dan taksiran ganti kerugian dari panitia penaksir.

Atas permintaan tersebut, Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia mengeluarkan surat keputusan yang memberikan perkenaan kepada yang berkepentingan untuk menguasai tanah dan benda yang berada diatasnya. Surat keputusan tersebut akan segera diikuti dengan keputusan Presiden mengenai dikabulkanatau ditolaknya permintaan pencabutan hak atas tanah. Apabila permintaan ditolak maka yang berkepentingan harus mengembalikan tanah dan/atau benda yang bersangkutan dalam keadaan semula, dan/atau memberikan ganti kerugian yang sepadan kepada yang mempunyai hak.

Surat Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia tentang pencabutan hak atas tanah diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia dan turunannya disampaikan kepadayang berhak atas tanah dan/atau benda-benda yang haknya dicabut itu. Isi surat keputusan juga diumumkan melalui surat-surat kabar.Biaya pengumuman tersebut ditanggung oleh pihak yangberkepentingan.

Ganti kerugian

Dalam pasal 8 UU No.20/1961,apabila pihak yang berhak atas hak atas tanah yang akan dicabut tidak bersedia menerima uang ganti kerugian karena dianggap jumlahnya kurang layak, maka ia dapat mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi yang daerah kekuasaannya meliputi tempat letak tanah dan/atau benda tersebut. Pengadilan yang akan menetapkan besarnya jumlah ganti kerugian.

Setelah ditetapkannya surat keputusan pencabutan hak atas tanah dan setelah dilakukan pembayaran ganti kerugian, maka tanah yang haknya dicabut tersebut menjadi tanah yang langsung dikuasai oleh negara.

Maria Amanda

read more

Aspek Perpajakan dalam Jual Beli Properti

Latar Belakang
Bisnis jual beli properti telah banyak diminati oleh banyak orang. Dalam melakukan bisnis jual beli properti, tidak hanya dibutuhkan kesepakatan di antara penjual dan pembeli, namun juga terdapat hal-hal yang harus dilakukan oleh kedua belah pihak sebagai salah satu kewajiban kepada Negara. Kewajiban tersebut adalah pembayaran pajak dalam pengalihan properti yang harus dilakukan oleh pembeli dan penjual.

Di Indonesia, telah dikenal beberapa jenis pajak yang harus dipenuhi oleh penjual dan pembeli dalam usaha jual beli properti, yaitu:

1. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)

Pengaturan mengenai PBB terdapat dalam Undang-undang No 12 tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana diubah dengan Undang-undang No 12 tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (“UU PBB”).

Berdasarkan Penjelasan Pasal 3 ayat (2) UU PBB, PBB adalah pajak negara yang sebagian besar penerimaannya merupakan pendapatan daerah yang antara lain dipergunakan untuk penyediaan fasilitas yang juga dinikmati oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Pada awalnya PBB merupakan pajak yang proses administrasinya dilakukan oleh pemerintah pusat dan seluruh penerimaannya dibagikan ke daerah dengan proporsi tertentu. Dalam perkembangan selanjutnya, diberlakukan Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (“UU No. 28/2009”) dimana seluruh proses pengelolaan PBB, khususnya sektor pedesaan dan perkotaan akan dilakukan oleh pemerintah daerah. Besarnya tarif PBB yang dikenakan atas objek pajak adalah sebesar 0,5 %.

Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 362/KMK.04/1999 tentang Pemberian Pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan, sebagaimana diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 110/PMK.03/2009 tentang Perubahan atas Keputusan Menteri Keuangan Nomor 362/KMK.04/1999 tentang Pemberian Pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan, besarnya insentif PBB Properti adalah berupa:

NJKP (Nilai Jual Kena Pajak) 20% untuk NJOP (Nilai Jual Objek Pajak) < Rp 1 Milyar; pemberian NJOPTKP (Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak); pemberian pengurangan karena kondisi tertentu objek pajak yang ada hubungannya dengan subjek pajak dan/atau karena sebab-sebab tertentu lainnya. 2. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Pengaturan mengenai BPHTB terdapat dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (“UU BPHTB”). Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU BPHTB, BPHTB adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. BPHTB tersebut dikenakan kepada pembeli (Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) UU BPHTB). Besarnya tarif pajak BPHTB adalah sebesar 5%. Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 561/KMK.03/2004 tentang Pemberian Pengurangan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, sebagaimana diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 104/PMK.01/2005, sebagaimana diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 91/PMK.03/2006 tentang Perubahan Kedua Atas Keputusan Menteri Keuangan Nomor 561/KMK.03/2004 tentang Pemberian Pengurangan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, insentif BPHTB properti berupa: Pemberian NPOTKP (Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak); Pemberian pengurangan karena kondisi tertentu wajib pajak yang ada hubungannya dengan objek pajak dan/atau karena sebab-sebab tertentu lainnya. 3. Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan Bangunan (PPh Pasal 4 ayat 2) Pengaturan mengenai Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan Bangunan terdapat dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991, sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994, sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000, sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (“UU Pajak Penghasilan”). Tarif PPh yang dikenakan terhadap penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan adalah sebesar 5% dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah atau bangunan. Tarif PPh atas Pengalihan hak atas Rumah Sederhana (RS) dan Rumah Susun Sederhana (RSS) yang dilakukan oleh wajib pajak yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, adalah sebesar 1% dari jumlah bruto nilai pengalihan. Berdasarkan Pasal 4 ayat (2) UU Pajak Penghasilan, penghasilan yang dapat dikenakan pajak final adalah: a. penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat utang negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi; b. penghasilan berupa hadiah undian; c. penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivatif yang diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh perusahaan modal ventura; d. penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha jasa konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan/atau bangunan; dan e. penghasilan tertentu lainnya, yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. Berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 4 ayat (2) huruf d, maka dapat disimpulkan bahwa penghasilan dari transaksi jual beli properti dikenakan pajak penghasilan. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan, sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1996, sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 1999, sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2008 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan, insentif pajak penghasilan atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah properti berupa: Pembebasan PPh bagi orang pribadi yang mempunyai penghasilan di bawah PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak) yang melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dengan jumlah bruto pengalihan kurang dari Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta Rupiah) dan bukan merupakan jumlah yang dipecah-pecah; Pengenaan tarif 1% (satu persen) dari jumlah bruto nilai pengalihan atas pengalihan hak atas Rumah Sederhana dan Rumah Susun Sederhana yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan (tarif umum 5%). 4. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Pengaturan mengenai PPN terdapat dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1994, sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000, sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (“UU PPN”). Berdasarkan Penjelasan UU PPN, Pajak Pertambahan Nilai adalah pajak atas konsumsi barang dan jasa di Daerah Pabean yang dikenakan secara bertingkat di setiap jalur produksi dan distribusi. Daerah Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan, dan ruang udara di atasnya, serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif dan landas kontinen yang di dalamnya berlaku Undang-Undang yang mengatur mengenai kepabeanan. Tarif Pajak Pertambahan Nilai adalah 10% (sepuluh persen) dari nilai transaksi. Pasal 4 ayat (1) UU PPN menyatakan bahwa PPN dikenakan atas: a. penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha; b. impor Barang Kena Pajak; c. penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha; d. pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; e. pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; f. ekspor Barang Kena Pajak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak; g. ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak; dan h. ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak. Pengecualian terhadap Pemungutan PPN 1. Bagi Rumah Sederhana dan Rumah Sangat Sederhana Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 36/PMK.03/2007 tentang Batasan Rumah Sederhana, Rumah Sangat Sederhana, Rumah Susun Sederhana, Pondok Boro, Asrama Mahasiswa dan Pelajar serta Perumahan Lainnya yang atas Penyerahannya Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, sebagaimana diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 80/PMK.03/2008, sebagaimana diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 31/PMK.03/2011 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 36/PMK.03/2007 tentang Batasan Rumah Sederhana, Rumah Sangat Sederhana, Rumah Susun Sederhana, Pondok Boro, Asrama Mahasiswa dan Pelajar, serta Perumahan Lainnya, yang atas Penyerahannya dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai; Rumah Sederhana dan Rumah Sangat Sederhana yang dibebaskan dari pengenaan PPN adalah rumah yang perolehannya secara tunai ataupun dibiayai melalui fasilitas kredit bersubsidi maupun tidak bersubsidi, atau melalui pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, yang memenuhi ketentuan: a. Luas bangunan tidak melebihi 36 m2 (tiga puluh enam meter persegi); b. Harga jual tidak melebihi Rp 70.000.000,00 (tujuh puluh juta Rupiah); c. Merupakan rumah pertama yang dimiliki, digunakan sendiri sebagai tempat tinggal dan tidak dipindahtangankan dalam jangka waktu 5 tahun sejak dimiliki. 2. Bagi Rumah Susun Sederhana Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 36/PMK.03/2007 tentang Batasan Rumah Sederhana, Rumah Sangat Sederhana, Rumah Susun Sederhana, Pondok Boro, Asrama Mahasiswa dan Pelajar serta Perumahan Lainnya yang atas Penyerahannya Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, sebagaimana diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 80/PMK.03/2008, sebagaimana diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 31/PMK.03/2011 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 36/PMK.03/2007 tentang Batasan Rumah Sederhana, Rumah Sangat Sederhana, Rumah Susun Sederhana, Pondok Boro, Asrama Mahasiswa dan Pelajar, serta Perumahan Lainnya, yang atas Penyerahannya dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai; Rumah Susun Sederhana yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai adalah bangunan bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang dipergunakan sebagai tempat hunian yang dilengkapi dengan KM/WC dan dapur baik bersatu dengan unit hunian maupun terpisah dengan penggunaan komunal, yang perolehannya secara tunai ataupun dibiayai melalui fasilitas kredit bersubsidi maupun tidak bersubsidi, yang memenuhi ketentuan:yang memenuhi ketentuan: a. harga jual untuk setiap hunian termasuk strata title tidak melebihi Rp 75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah); b. luas bangunan untuk setiap hunian tidak melebihi 21 m2 (dua puluh satu meter persegi); c. pembangunannya mengacu pada Peraturan Menteri Pekerjaan Umum yang mengatur mengenai Persyaratan Teknis Pembangunan Rumah Susun; dan d. merupakan unit hunian pertama yang dimiliki, digunakan sendiri sebagai tempat tinggal dan tidak dipindahtangankan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak dimiliki. 3. Bagi Rumah Susun Sederhana Milik (Rusunami) Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 155/KMK.03/2001 tentang Pelaksanaan Pajak Pertambahan Nilai yang dibebaskan atas Impor dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang Bersifat Strategis, sebagaimana diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 363/KMK.03/2002, sebagaimana diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 371/KMK.03/2003, sebagaimana diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 11/PMK.03/2007, sebagaimana diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 31/PMK.03/2008 tentang Perubahan Keempat atas Keputusan Menteri Keuangan Nomor 155/KMK.03/2001 tentang Pelaksanaan Pajak Pertambahan Nilai yang dibebaskan atas Impor dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang Bersifat Strategis; Rumah Susun Sederhana Milik (RUSUNAMI) adalah bangunan bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang dipergunakan sebagai tempat hunian yang dilengkapi dengan kamar mandi/WC dan dapur, baik bersatu dengan unit hunian maupun terpisah dengan penggunaan komunal, yang perolehannya dibiayai melalui kredit kepemilikan rumah bersubsidi atau tidak bersubsidi, yang memenuhi ketentuan : a. Luas untuk setiap hunian lebih dari 21 m2 dan tidak melebihi 36 m2; b. Harga jual untuk setiap hunian tidak melebihi Rp 144.000.000; c. Diperuntukkan bagi orang pribadi yang mempunyai penghasilan tidak melebihi Rp 4.500.000,- per bulan dan telah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP); d. Pembangunannya mengacu kepada Peraturan Menteri Pekerjaan umum yang mengatur mengenai persyaratan teknis pembangunan rumah susun sederhana; dan e. Merupakan unit hunian pertama yang dimiliki, digunakan sendiri sebagai tempat tinggal dan tidak dipindahtangankan dalam jangka waktu 5 tahun sejak dimiliki. 5. Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) Pajak Penjualan atas Barang Mewah adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi Barang Kena Pajak yang tergolong mewah di dalam Daerah Pabean (Penjelasan Pasal 8 ayat (2) UU PPN). Berdasarkan Pasal 8 ayat (1) UU PPN, Tarif PPnBM ditetapkan paling rendah 10% (sepuluh persen) dan paling tinggi 200% (dua ratus persen). Ekspor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah dikenai pajak dengan tarif 0% (nol persen). Besarnya tarif PPnBM bagi kelompok hunian mewah seperti rumah mewah, apartemen, kondominium, town house, dan sejenisnya adalah sebesar 20% (dua puluh persen). PPnBM dikenakan hanya 1 (satu) kali pada waktu penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah oleh pengusaha yang menghasilkan atau pada waktu impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah. Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) UU PPN, PPnBM dikenakan terhadap: a. penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah yang dilakukan oleh pengusaha yang menghasilkan barang tersebut di dalam Daerah Pabean dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya; dan b. impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah. Atas penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah oleh produsen atau atas impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah, di samping dikenai Pajak Pertambahan Nilai, dikenai juga Pajak Penjualan atas Barang Mewah dengan pertimbangan bahwa: a. perlu keseimbangan pembebanan pajak antara konsumen yang berpenghasilan rendah dan konsumen yang berpenghasilan tinggi; b. perlu adanya pengendalian pola konsumsi atas Barang Kena Pajak yang tergolong mewah; c. perlu adanya perlindungan terhadap produsen kecil atau tradisional; dan d. perlu untuk mengamankan penerimaan negara. Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 620/PMK.03/2004 tentang Jenis Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah selain Kendaraan Bermotor yang dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, sebagaimana diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 35/PMK.03/2008, sebagaimana diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 137/PMK.011/2008, sebagaimana diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 103/PMK.03/2009 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 620/Pmk.03/2004 tentang Jenis Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah selain Kendaraan Bermotor yang dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, PPnBM berupa: Pembatasan pengenaan PPnBM, hanya dikenakan untuk kelompok hunian mewah seperti rumah mewah, apartemen, kondominium, town house, dan sejenisnya dari jenis non strata title dengan luas bangunan 350 m2 atau lebih dan dari jenis strata title dengan luas bangunan 150 m2 atau lebih. Alsha Alexandra Kartika

read more

Persyaratan dan Tata Cara untuk memperoleh Keterangan mengenai Data Fisik dan Data Yuridis Bidang Tanah

Berdasarkan Pasal 1 angka 6 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (“PP No. 24/1997”), data fisik adalah keterangan mengenai letak, batas dan luas bidang tanah dan satuan rumah susun yang didaftar, termasuk keterangan mengenai adanya bangunan atau bagian bangunan di atasnya.

Sedangkan, menurut Pasal 1 angka 7 PP No. 24/ 1997, data yuridis adalah keterangan mengenai status hukum bidang tanah dan satuan rumah susun yang didaftar, pemegang haknya dan hak pihak lain serta beban-beban lain yang membebaninya.

Persyaratan dan tata cara untuk memperoleh keterangan mengenai data fisik dan data yuridis diatur dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (“Permenag/Ka.BPN No. 3/1997”).

Berdasarkan Pasal 187 Permenag/Ka.BPN No. 3/1997, informasi mengenai data fisik dan data yuridis yang ada pada peta pendaftaran, daftar tanah, surat ukur dan buku tanah adalah terbuka untuk umum. Persyaratan untuk memperoleh informasi mengenai data fisik dan atau data yuridis bidang tanah adalah adanya permohonan tertulis dengan menyebutkan keperluannya, kecuali dalam hal SKPT yang diberikan untuk pemeriksaan sertifikat oleh PPAT tidak diperlukan permohonan tertulis. Informasi tersebut juga dapat diberikan kepada pihak yang berkepentingan secara visual atau secara tertulis. Apabila informasi diberikan secara tertulis, maka akan diberikan dalam bentuk Surat Keterangan Pendaftaran Tanah (“SKPT”).

Berdasarkan Pasal 191 Permenag/Ka.BPN No. 3/1997, data fisik dan data yuridis yang tercantum dalam daftar nama hanya dapat diberikan kepada Instansi Pemerintah yang memerlukan untuk keperluan pelaksanaan tugasnya. Tata cara permohonannya adalah dengan mengajukan permintaan yang menyebutkan keperluan tersebut. Permintaan tersebut dipenuhi setelah disetujui oleh Kepala Kantor Pertanahan.

Alsha Alexandra Kartika

read more

Sanksi Hukum yang dapat Timbul karena Penggunaan Bangunan sebelum Memperoleh Sertifikat Laik Fungsi

Latar Belakang
Berdasarkan Pasal 1 angka 16 Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 7 Tahun 2010 tentang Bangunan Gedung (“Perda No. 7/2010”), sertifikat laik fungsi (“SLF”) adalah sertifikat yang diberikan oleh Pemerintah Daerah terhadap bangunan gedung yang telah selesai dibangun dan telah memenuhi persyaratan kelaikan fungsi berdasarkan hasil pemeriksaan kelaikan fungsi bangunan gedung sebagai syarat untuk dapat dimanfaatkan.

Berdasarkan Pasal 237 ayat (1) Perda No. 7/2010, setiap orang sebelum pemanfaatan bangunan gedung wajib memiliki SLF. SLF diberikan kepada bangunan gedung yang telah selesai dibangun, memenuhi persyaratan keandalan bangunan gedung dan kelaikan fungsi, serta fungsi penggunaannya sesuai dengan izin mendirikan bangunan (“IMB”).

Sanksi hukum yang dapat timbul apabila menggunakan bangunan sebelum memperoleh SLF diatur dalam Pasal 283 ayat (2) Perda No. 7/2010, sebagai berikut:
“Setiap pemilik bangunan gedung, pengguna bangunan gedung, penyedia jasa konstruksi bangunan gedung yang melanggar ketentuan Pasal 13 ayat (3), Pasal 15 ayat (1), Pasal 124 ayat (3), 183 ayat (1), Pasal 186 ayat (4), Pasal 188 ayat (1), Pasal 191, Pasal 192, Pasal 195, Pasal 231 ayat (1), Pasal 237 ayat (1), dan Pasal 245 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp 50.000.000 (lima puluh juta rupiah).”

Dalam ketentuan pidana tersebut, terdapat pasal yang berkaitan dengan SLF, yaitu pasal 237 ayat (1). Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa setiap pemilik bangunan gedung, pengguna bangunan gedung, penyedia jasa konstruksi bangunan gedung yang tidak memiliki SLF pada saat memanfaatkan bangunan gedung, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp 50.000.000 (lima puluh juta Rupiah).

Alsha Alexandra Kartika

read more