SEMA (Surat Edaran Mahkamah Agung) adalah bentuk edaran pimpinan Mahkamah Agung ke seluruh jajaran peradilan yang berisi bimbingan dalam penyelenggaraan peradilan, yang lebih bersifat administrasi dan juga memuat pemberitahuan tentang hal tertentu yang dianggap penting dan mendesak.1 SEMA merupakan bentuk perwujudan kewenangan Mahkamah Agung untuk dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila terdapat hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang-Undang.2 Yang dimana kewenangan ini berupa Hak Mahkamah Agung yang dilandaskan pada Undang-undang No 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Melalui Undang-undang tersebut Mahkmah Agung berwenang dalam membuat peraturan sebagai pelengkap apabila terdapat suatu kekurangan /  kekosongan hukum,3 dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Mahkamah Agung memiliki kekuatan pengaturan untuk membuat peraturan, meskipun peraturan tersebut hanya terikat kepada lingkungan penyelenggaraan peradilan dibawah Mahkamah Agung, mengingat Mahkamah Agung adalah Pengadilan Negara Tertinggi dari semua Lingkungan Peradilan.4

Di tahun 2020, Mahkamah Agung menyelenggarakan Rapat Pleno Kamar untuk membahas permasalahan teknis dan non-teknis yudisial yang mengemuka di masing-masing kamar, salah satunya adalah rumusan pleno kamar perdata. Atas hasil rapat tersebut Mahkamah Agung mengeluarkan SEMA No. 10 Tahun 2020 mengenai Pemberlakukan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2020 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas bagi Pengadilan.

Khususnya didalam Rumusan Hukum Kamar Perdata, rapat tersebut menghasilkan rumusan sebagai berikut:

  1. Gugatan Kurang Pihak Dalam Perkara Tanah
    1. Gugatan terhadap kepemilikan tanah yang sudah bersertifikat atas nama penjual, jual beli mana dilaksanakan di hadapan PPAT, maka penggugat yang tidak menarik penjual sebagai pihak, bukan merupakan gugatan kurang pihak;
    2. Jika diajukan eksepsi mengenai gugatan kurang pihak, karena penggugat tidak menarik penjual sebagai pihak atas tanah objek jual beli yang belum bersertifikat atas nama penjual dan atau jual beli dilakukan di bawah tangan, maka eksepsi tersebut dapat diterima;
    3. Dalam gugatan kepemilikan tanah, penggugat yang tidak menarik pihak atau pihak-pihak yang berdasarkan hasil pemeriksaan setempat secara nyata menguasai objek sengketa sedangkan penggugat mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa pihak atau pihak-pihak tersebut secara nyata menguasai objek secara permanen atau dengan alas hak, merupakan gugatan kurang pihak.
    4. Kriteria Badan Pertanahan Nasional (BPN) harus ditarik sebagai pihak dalam hal terdapat sertifikat ganda atas sebagian atau keseluruhan dari luas tanah objek sengketa, antara lain:
      1) Jika ada petitum yang meminta pengadilan menjatuhkan putusan mengenai perbuatan hukum tertentu atas sertifikat, maka BPN harus ditarik sebagai pihak, atau
      2) Jika dalam petitum tidak ada tuntutan mengenai perbuatan hukum tertentu atas sertifıkat yang diterbikan oleh BPN, maka BPN tidak perlu ditarik sebagai pihak.
      3) Kewenangan Menilai Kekuatan Sertifikat dan Bukti

      • Pelunasan Jual Beli Tanah Hakim perdata tidak berwenang membatalkan sertifikat, namun hanya berwenang menyatakan sertifıkat tidak mempunyai kekuatan hukum, dengan dasar tidak mempunyai alas hak yang sah. Pembatalan sertifikat adalah tindakan administratif yang merupakan kewenangan peradilan tata usaha negara (TUN).
      • Akta jual beli tanah berlaku sebagai bukti sah pembayaran atas objek jual beli selama dalam akta jual beli tersebut disebutkan sebagai bukti pelunasan.
  2. Penguasaan Tanah Oleh Pemerintah
    Penguasaan tanah yang belum bersertifikat oleh pemerintah dengan iktikad baik, terus menerus, untuk kepentingan umum, tanah maria telah tercatat sebagai barang milik negara, bukan merupakan perbuatan melawan hukum.
  3. Penggunaan Pinjam Nama (Nominee Arrangement)
    Pemilik sebidang tanah adalah pihak yang namanya tercantum dalam sertifıkat, meskipun tanah tersebut dibeli menggunakan uang/ harta/ aset milik WNA/ pihak lain.
  4. Permohonan Perceraian dari Anggota TNI
    Gugatan perceraian dari anggota TNI maupun pasangannya harus melampirkan surat izin/ pemberitahuan perceraian dari pejabat yang berwenang, apabila belum mendapatkan surat tersebut, maka hakim menunda persidangan selama 6 (enam) bulan dan pengadilan memberitahukan penundaan tersebut kepada atasan langsung Penggugat/Tergugat. (Penegasan terhadap Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor S Tahun 1984 dan hasil Rapat Kerja Nasional Mahkamah Agung Tahun 2010 di Balikpapan).
Lihat Juga  Daily tips: Hak Atas Tanah

Dengan diterbitkannya SEMA Nomor 10 Tahun 2020 diharapkan menjadi rujukan bagi hakim dilingkungan Mahkamah Agung untuk menyelesaikan berbagai permasalahan peradilan yang salah satunya terkait sengketa perdata, mengingat terbitnya SEMA adalah untuk sebagai pelengkap apabila terdapat suatu kekurangan / kekosongan hukum.


Yusuf Arimatia Nainggolan

Sources

  1. Keputusan Ketua Mahkamah Agung No: 57/KMA/SK/IV/2016
  2. Pasal 79 Undang – undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
  3. Penjelasan Pasal 79 Undang – undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
  4. Pasal 2 Undang-undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung