Bangunan

Sertifikat Laik Fungsi dalam Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 7 Tahun 2010 tentang Bangunan Gedung

Pemanfaatan bangunan gedung merupakan kegiatan memanfaatkan bangunan gedung sesuai dengan fungsi yang ditetapkan dalam izin mendirikan bangunan gedung termasuk kegiatan pemeliharaan, perawatan, dan pemeriksaan secara berkala. Pemanfaatan bangunan gedung hanya dapat dilakukan setelah pemilik bangunan gedung memperoleh Sertifikat Laik Fungsi. Sertifikat Laik Fungsi yang selanjutnya disingkat SLF adalah sertifikat yang diberikan oleh Pemerintah Daerah terhadap bangunan gedung yang telah selesai dibangun dan telah memenuhi persyaratan kelaikan fungsi berdasarkan hasil pemeriksaan kelaikan fungsi bangunan gedung sebagai syarat untuk dapat dimanfaatkan. (Pasal 1 angka 16 Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 7 Tahun 2010 tentang Bangunan Gedung )

Untuk mendapatkan SLF seseorang harus mengajukan permohonan secara tertulis kepada Kepala Dinas yang bertanggungjawab dibidang pengawasan dan penertiban bangunan gedung. Permohonan tertulis yang diajukan dilengkapi dengan beberapa dokumen, yaitu:

Kartu Tanda Penduduk (KTP)
Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)
surat bukti kepemilikan tanah
Izin Mendirikan Bangunan (IMB)
laporan hasil pemeliharaan atau laporan pengkajiaan teknis bangunan gedung
as build drawing bangunan gedung

Kepala Dinas dapat menangguhkan atau menolak permohonan SLF yang tidak memenuhi persyaratan. Penangguhan permohonan SLF terjadi apabila permohonan SLF belum memenuhi persyaratan kelaikan fungsi bangunan. Penangguhan SLF diberitahukan secara tertulis kepada pemohon disertai dengan alasan penangguhan. Penangguhan yang telah lewat dari jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak tanggal diterimanya surat penangguhan dapat ditolak dengan surat pemberitahuan penolakan yang disampaikan kepada ketua Rukun Tetangga dan/atau Rukun Warga tempat lokasi bangunan gedung pemohon, apabila pemohon tidak diketahui keberadaannya atau pemohon tidak mau menerima surat.

SLF diterbitkan dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak persetujuan dokumen rencana teknis diberikan. Masa berlaku SLF berbeda-beda untuk setiap jenis bangunan gedung. SLF untuk bangunan gedung hunian rumah tinggal tunggal sederhana dan rumah deret sederhana tidak dibatasi jangka waktu keberlakuannya. SLF untuk bangunan gedung untuk bangunan gedung hunian rumah tinggal tunggal, dan rumah deret sampai dengan 2 (dua) lantai berlaku untuk jangka waktu 20 (dua puluh) tahun. SLF bangunan gedung untuk bangunan gedung hunian rumah tinggal tidak sederhana, bangunan gedung lainnya pada umumnya, dan bangunan gedung tertentu berlaku untuk jangka waktu 5 (lima) tahun.

Permohonan perpanjangan SLF bangunan gedung diajukan paling lambat 60 (enam puluh) hari kalender sebelum masa berlaku SLF bangunan gedung atau perpanjangan SLF bangunan gedung berakhir.

Seseorang yang memanfaatkan bangunan gedung tetapi belum memiliki SLF dapat dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp 50.000.000 (lima puluh juta rupiah).

Maria Amanda

read more

Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 38 Tahun 2012 tentang Bangunan Gedung Hijau

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah menerbitkan Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 38 Tahun 2012 tentang Bangunan Hijau Gedung. (“PerGub No.38/2012”) yang merupakan regulasi mengenai penerapan konsep hemat energi dan ramah lingkungan dalam bangunan gedung. Bangunan gedung hijau adalah bangunan gedung yang bertanggung jawab terhadap lingkungan dan sumber daya yang efisien dari sejak perencanaan, pelaksanaan konstruksi, pemanfaatan, pemeliharaan, sampai dekonstruksi (Pasal 1 angka 11 PerGub No.38/2012).

PerGub No.38/2012 dibentuk dengan maksud sebagai acuan bagi aparat pelaksana maupun pemohon dalam memenuhi persyaratan bangunan gedung hijau, yang bertujuan mewujudkan penyelenggaraan bangunan gedung yang memperhatikan aspek-aspek dalam menghemat, menjaga dan menggunakan sumber daya secara efisien.

Penyelenggaraan bangunan gedung dengan jenis dan luasan tertentu baik bangunan gedung baru dan bangunan gedung eksisting, wajib memenuhi persyaratan bangunan gedung hijau. Jenis dan luasan bangunan gedung yang wajib memenuhi persyaratan bangunan gedung hijau meliputi:
a. bangunan gedung rumah susun, bangunan gedung perkantoran, bangunan gedung perdagangan, dan bangunan gedung yang memiliki lebih dari satu fungsi dalam 1 (satu) massa bangunan dengan luas batasan seluruh lantai bangunan lebih dari 50.000 m2 (lima puluh ribu meter persegi);
b. fungsi usaha, bangunan gedung perhotelan, fungsi sosial dan budaya, dan bangunan gedung pelayanan kesehatan, dengan luas batasan dengan luas batasan seluruh lantai bangunan lebih dari 20.000 m2 (dua puluh ribu meter persegi);
c. fungsi sosial dan budaya, bangunan gedung pelayanan pendidikan, dengan luas batasan seluruh lantai bangunan lebih dari 10.000 m2 (sepuluh ribu meter persegi).
Bangunan gedung baru adalah bangunan gedung yang sedang dalam tahap perencanaan. Persyaratan teknis bangunan gedung hijau untuk bangunan gedung baru meliputi :
a. efisiensi energi;
Efisiensi energi meliputi efisiensi dalam sistem selubung bangunan, sistem ventilasi, sistem pengkondisian udara, sistem pencahayaan, sistem transportasi dalam gedung; dan sistem kelistrikan.
b. efisiensi air;
Efisiensi air meliputi perencanaan peralatan saniter hemat air dan perencanaan pemakaian air.
c. kualitas udara dalam ruang;
Kualitas udara dalam ruang harus memperhitungkan laju pergantian udara dalam ruang dan masukan udara segar sehingga tidak berbahaya bagi penghuni dan lingkungan.
d. pengelolaan lahan dan limbah; dan
Pengelolaan lahan dan libah meliputi persyaratan tata ruang mengenai perencanaan lanskap pada bagian dalam dan luar gedung dan perencanaan sistem penampungan air hujan , fasilitas pendukung, dan pengelolaan limbah padat dan cair.
e. pelaksanaan kegiatan konstruksi.
Pelaksaan kegiatan konstruksi meliputi keselamatan, kesehatan kerja dan lingkungan, konservasi air pada saat pelaksanaan kegiatan konstruksi, dan pengelolaan limbah Bahan Berbahaya dan Beracun kegiatan konstruksi.
Bangunan gedung eksisting adalah bangunan gedung yang sedang dalam tahap pelaksanaan konstruksi dan/atau sudah dalam tahap pemanfaatan. Persyaratan teknis bangunan gedung hijau untuk bangunan gedung eksisting meliputi :
a. konservasi dan efisiensi energi;
b. konservasi dan efisiensi air;
Konservasi dan efisiensi air meliputi meliputi efisiensi penggunaan air dan pemantauan kualitas air.
c. kualitas udara dalam ruang dan kenyamanan termal; dan
d. manajemen operasional/pemeliharaan.
Manajemen operasional/pemeliharaan meliputi kegiatan monitoring dan evaluasi.

Terhadap perencanaan dan pelaksanaan bangunan gedung yang melanggar Peraturan Gubernur ini dapat dikenakan sanksi administrative berupa tidak diterbitkannya Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dan/ atau Sertifikat Laik Fungsi (SLF).
Maria Amanda

read more

Sanksi Hukum yang dapat Timbul karena Penggunaan Bangunan sebelum Memperoleh Sertifikat Laik Fungsi

Latar Belakang
Berdasarkan Pasal 1 angka 16 Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 7 Tahun 2010 tentang Bangunan Gedung (“Perda No. 7/2010”), sertifikat laik fungsi (“SLF”) adalah sertifikat yang diberikan oleh Pemerintah Daerah terhadap bangunan gedung yang telah selesai dibangun dan telah memenuhi persyaratan kelaikan fungsi berdasarkan hasil pemeriksaan kelaikan fungsi bangunan gedung sebagai syarat untuk dapat dimanfaatkan.

Berdasarkan Pasal 237 ayat (1) Perda No. 7/2010, setiap orang sebelum pemanfaatan bangunan gedung wajib memiliki SLF. SLF diberikan kepada bangunan gedung yang telah selesai dibangun, memenuhi persyaratan keandalan bangunan gedung dan kelaikan fungsi, serta fungsi penggunaannya sesuai dengan izin mendirikan bangunan (“IMB”).

Sanksi hukum yang dapat timbul apabila menggunakan bangunan sebelum memperoleh SLF diatur dalam Pasal 283 ayat (2) Perda No. 7/2010, sebagai berikut:
“Setiap pemilik bangunan gedung, pengguna bangunan gedung, penyedia jasa konstruksi bangunan gedung yang melanggar ketentuan Pasal 13 ayat (3), Pasal 15 ayat (1), Pasal 124 ayat (3), 183 ayat (1), Pasal 186 ayat (4), Pasal 188 ayat (1), Pasal 191, Pasal 192, Pasal 195, Pasal 231 ayat (1), Pasal 237 ayat (1), dan Pasal 245 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp 50.000.000 (lima puluh juta rupiah).”

Dalam ketentuan pidana tersebut, terdapat pasal yang berkaitan dengan SLF, yaitu pasal 237 ayat (1). Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa setiap pemilik bangunan gedung, pengguna bangunan gedung, penyedia jasa konstruksi bangunan gedung yang tidak memiliki SLF pada saat memanfaatkan bangunan gedung, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp 50.000.000 (lima puluh juta Rupiah).

Alsha Alexandra Kartika

read more

Kontrak Kerja Konstruksi

Latar Belakang
Jasa konstruksi merupakan salah satu kegiatan dalam bidang ekonomi, sosial, dan budaya yang mempunyai peranan penting dalam pencapaian berbagai sasaran guna menunjang terwujudnya tujuan pembangunan nasional. Oleh karena itu, penyelenggaraan jasa konstruksi perlu diatur lebih lanjut untuk mewujudkan tertib pengikatan dan penyelenggaraan pekerjaan konstruksi. Peraturan mengenai jasa konstruksi diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi (“UU No. 18/1999”) dan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi (“PP No. 29/2000”) jo. Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2010 tentang Perubahan atas PP No. 29/2000 (“PP No. 59/2010”).

Dalam suatu pekerjaan konstruksi, dikenal 2 (dua) pihak, yaitu pihak pengguna jasa dan pihak penyedia jasa. Pihak pengguna jasa dan pihak penyedia jasa ini terikat dalam suatu hubungan kerja jasa konstruksi, dimana hubungan kerja tersebut diatur dan dituangkan dalam suatu kontrak kerja konstruksi.

Kontrak Kerja Konstruksi
Berdasarkan Pasal 1 UU No. 18/1999, disebutkan bahwa kontrak kerja konstruksi adalah keseluruhan dokumen yang mengatur hubungan hukum antara pengguna jasa dan penyedia jasa dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi. Pada dasarnya, kontrak kerja konstruksi dibuat secara terpisah sesuai tahapan dalam pekerjaan konstruksi, yang terdiri dari kontrak kerja konstruksi untuk pekerjaan perencanaan, untuk pekerjaan pelaksanaan, dan untuk pekerjaan pengawasan.

Merujuk kepada Pasal 23 ayat (6) PP No. 29/2000, kontrak kerja konstruksi tunduk pada hukum yang berlaku di Indonesia. Kontrak kerja konstruksi ini juga dibuat dalam Bahasa Indonesia. Dalam hal kontrak kerja konstruksi dengan pihak asing, maka dapat dibuat dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris (dual language).

Berdasarkan PP 29/2000, kontrak kerja konstruksi dibedakan berdasarkan:
a. bentuk imbalan, yang terdiri dari lump sum, harga satuan, biaya tambah imbalan jasa, gabungan Lump Sum dan harga satuan, atau aliansi;
b. jangka waktu pelaksanaan pekerjaan konstruksi, yang terdiri dari: tahun tunggal, atau tahun jamak;
c. cara pembayaran hasil pekerjaan, yaitu sesuai kemajuan pekerjaan, atau secara berkala.

Suatu kontrak kerja konstruksi sekurang-lurangnya harus mencakup mengenai:
a. para pihak, memuat secara jelas identitas para pihak;
b. rumusan pekerjaan, memuat uraian yang jelas dan rinci tentang lingkup kerja, nilai pekerjaan, dan batasan waktu pelaksanaan;
c. masa pertanggungan dan/atau pemeliharaan, memuat jangka waktu pertanggungan dan/atau pemeliharaan yang menjadi tanggung jawab penyedia jasa;
d. tenaga ahli, memuat ketentuan jumlah, klasifikasi dan kualifikasi tenaga ahli untuk melaksanakan pekerjaan konstruksi;
e. hak dan kewajiban, memuat hak pengguna jasa untuk memperoleh hasil pekerjaan konstruksi serta kewajibannya untuk memenuhi ketentuan yang diperjanjikan serta hak penyedia jasa untuk memperoleh informasi dan imbalan jasa serta kewajibannya melaksanakan pekerjaan konstruksi;
f. cara pembayaran, memuat ketentuan tentang kewajiban pengguna jasa dalam melakukan pembayaran hasil pekerjaan konstruksi;
g. cidera janji, memuat ketentuan tentang tanggung jawab dalam hal salah satu pihak tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana diperjanjikan;
h. penyelesaian perselisihan, memuat ketentuan tentang tata cara penyelesaian perselisihan akibat ketidaksepakatan;
i. pemutusan kontrak kerja konstruksi, memuat ketentuan tentang pemutusan kontrak kerja konstruksi yang timbul akibat tidak dapat dipenuhinya kewajiban salah satu pihak;
j. keadaan memaksa (force majeure), memuat ketentuan tentang kejadian yang timbul di luar kemauan dan kemampuan para pihak, yang menimbulkan kerugian bagi salah satu pihak;
k. kegagalan bangunan, memuat ketentuan tentang kewajiban penyedia jasa dan/atau pengguna jasa atas kegagalan bangunan;
l. perlindungan pekerja, memuat ketentuan tentang kewajiban para pihak dalam pelaksanaan keselamatan dan kesehatan kerja serta jaminan sosial; dan
m. aspek lingkungan, memuat kewajiban para pihak dalam pemenuhan ketentuan tentang lingkungan.

Kontrak kerja konstruksi juga harus memuat ketentuan tentang Hak Atas Kekayaan Intelektual yang mencakup:
a. kepemilikan hasil perencanaan, berdasarkan kesepakatan; dan
b. pemenuhan kewajiban terhadap hak cipta atas hasil perencanaan yang telah dimiliki oleh pemegang hak cipta dan hak paten yang telah dimiliki oleh pemegang hak paten, sesuai undang-undang tentang hak cipta dan undang-undang tentang hak paten.

Kontrak kerja konstruksi juga dapat memuat kesepakatan para pihak tentang pemberian insentif, dimana insentif ini dapat berupa uang atau bentuk lainnya. Yang dimaksud dengan insentif adalah penghargaan yang diberikan kepada penyedia jasa atas prestasinya, antara lain, kemampuan menyelesaikan pekerjaan lebih awal daripada yang diperjanjikan dengan tetap menjaga mutu sesuai yang dipersyaratkan.

Isrilitha Pratami Puteri

read more