JAKARTA, KOMPAS.com – Terungkapnya kasus dugaan suap proyek Meikartayang melibatkan sejumlah pejabat Pemerintah Kabupaten Bekasi, dan petinggi Lippo Group, menunjukkan betapa peliknya persoalan perizinan di Tanah Air. Meikarta merupakan proyek raksasa yang dikembangkan Lippo Group melalui sayap bisnis propertinya, PT Lippo Cikarang Tbk (LPCK) di atas lahan seluas 500 hektar atau tepatnya 447 hektar.
Di dalamnya mencakup 100 bangunan tinggi meliputi 250.000 unit apartemen, hotel, perkantoran, pusat belanja, rumah sakit, sekolah, dan fasilitas pendukung lainnya. Lantas, bagaimana sebenarnya proses yang harus dilalui pengembang sebelum akhirnya dapat membangun sebuah kawasan hunian lengkap dengan fasilitasnya?
Pakar hukum pertanahan Universitas Indonesia Arie S Hutagalung mengungkapkan, sebelum sebuah kawasan dikembangkan sebagai pemukiman, harus diketahui peruntukkannya terlebih dahulu di dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).
Bila kawasan tersebut awalnya adalah daerah pertanian, maka di dalam RTRW harus diubah peruntukkannya sebagai daerah pemukiman. “RTRW itu bisa diubah ya, misalnya dari hutan menjadi pembebasan hutan. Tapi yang jelas itu akan melibatkan DPRD. Kalau enggak sesuai RTRW, berarti sangat sulit untuk teruskan proyek itu,” terang Arie kepada Kompas.com, Senin (22/10/2018).
Usulan perubahan biasanya diajukan pemerintah daerah (pemda) ke DPRD setempat untuk kemudian dibahas bersama. Tak jarang sebelum usulan diajukan, sudah ada kerja sama antara pemda dengan pihak swasta, dalam hal ini pengembang untuk mengubah suatu kawasan.
Namun revisi RTRW itu bukanlah persoalan yang mudah. Bahkan, Direktur Jenderal Pengendalian dan Pemanfaatan Ruang dan Tanah Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Budi Situmorang menyebut, ada serangkaian tahapan yang cukup kompleks dan harus dilalui.
“Meski peruntukkan bisa diubah, namun itu sangat rumit. Dan semua persyaratan harus dipenuhi, rekomendasi dari para pihak yang berkompeten juga harus dimiliki, belum lagi diuji oleh DPR,” ucap Budi.
Setelah urusan RTRW selesai, barulah pemda dapat mengeluarkan izin lokasi. Dalam hal ini, LPCK sebelumnya telah mengajukan izin pengembangan kawasan Meikarta seluas 447 hektar ke Pemkab Bekasi.
Namun, Pemkab Bekasi hanya mengusulkan pengembangan kawasan seluas 143 hektar ke Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Ketika masih dipimpin Ahmad Heryawan, Pemprov Jawa Barat akhirnya menerbitkan rekomendasi terhadap area seluas 84,3 hektar karena dinilai sesuai RTRW. Sementara, 363 hektar lainnya tidak sesuai peruntukkan dan RTRW Kabupaten Bekasi, karena berada di zona Lahan Peruntukkan Industri (LPI).
Rekomendasi itu menjadi dasar terbitnya izin lokasi yang dikeluarkan Pemkab Bekasi. Analis hukum pertanahan dan properti Eddy Leks mengatakan, izin lokasi juga menjadi dasar bagi pengembang untuk melangkah ke tahap selanjutnya yaitu pembebasan lahan dari masyarakat. Baru kemudian pengembang mengajukan permohonan hak atas tanah guna memperoleh hak atas tanah induk, dalam hal ini Hak Guna Bagunan (HGB) induk.
Namun ini baru tahap awal. Masih ada tahap pra konstruksi yang harus dilalui. Dalam proses ini pengembang juga harus mengurus sejumlah perizinan. Izin tersebut mulai dari Izin Peruntukkan Penggunaan Tanah (IPPT), rencana induk tapak atau master plan, Keterangan Rencana Kota (KRK), dan rencana tapak atau site plan. Kemudian Analisa Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (Amdal), Analisa Dampak Lalu Lintas (Andalalin), Izin Lingkungan, dan hingga Izin Mendirikan Bangunan (IMB).
“Untuk apartemen, karena masuk dalam kategori rumah susun (rusun) dan tunduk pada UU tentang Rusun, ada juga syarat pertelaan yang perlu disahkan oleh pemerintah daerah, selain dari izin-izin yang telah disebutkan sebelumnya,” jelas Eddy. LPCK diketahui telah mengantongi izin prinsip atas 53 menara apartemen yang akan dibangun di atas lahan seluas 84,3 hektar. Namun, dari jumlah tersebut, baru 24 menara yang telah mengantongi IMB. Sementara untuk 29 IMB lainnya dalam tahap final dan tinggal ditandatangani.
Namun, belum lagi ke-29 IMB tersebut diteken, Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Kabupaten Bekasi Dewi Tisnawati terlebih dulu ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Senin (15/10/2018). Dewi ditangkap dan dijadikan tersangka oleh KPK terkait dugaan suap perizinan Meikarta bersama Bupati Bekasi Neneng Hassanah Yasin, Direktur Operasional Lippo Group Billy Sindoro, dan sejumlah kepala dinas serta konsultan dan pegawai Lippo lainnya.
“Seluruh persyaratan 29 IMB Meikarta terpenuhi, dan prosesnya sudah selesai sejak awal Oktober 2018. Itu tinggal disahkan kepala dinasnya,” ungkap Kepala Bidang Penanaman Modal dan Perizinan Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Kabupaten Bekasi Muhammad Said menjawab Kompas.com, Minggu (21/10/2018). Dari panjang dan rincinya penjelasan tersebut di atas, Eddy mengakui betapa perizinan untuk pengembangan kawasan di Tanah Air demikian rumit. “Itu tidak sederhana, dan mesti dipertimbangkan segala sesuatunya untuk kemudian diperiksa banyak hal,” tutup Eddy.
source: kompas.com