Hukum Agraria

Pengalihan, Pembebanan, dan Pendaftaran Hak atas Satuan Rumah Susun

Pengalihan

Menurut penjelasan Pasal 54 ayat (3) Undang-undang Nomor 20 tahun 2011 tentang Rumah Susun (“UU No.20/2011”), yang dimaksud dengan “pengalihan” adalah pengalihan pemilikan yang dibuktikan dengan akta yang dibuat:

Oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (“PPAT”) untuk Sertifikat Hak Milik (“SHM”) satuan rumah susun (“sarusun”); dan
Oleh notaris untuk Sertifikat Kepemilikan Bangunan Gedung (“SKBG”) sarusun.
Dalam hal pengalihan hak atas sarusun melalui jual beli, diatur dalam Pasal 44 ayat (1) UU No.20/2011. Proses jual beli, yang dilakukan sesudah pembangunan rumah susun selesai, harus dilakukan melalui akta jual beli (“AJB”). AJB dibuat di hadapan PPAT untuk SHM sarusun dan notaris untuk SKBG sarusun sebagai bukti peralihan hak.

Pengalihan sarusun umum, yaitu sarusun yang diperuntukan untuk Masyarakat Berpenghasilan Rendah (“MBR”) sehingga mendapat dukungan/subsidi dari pemerintah, secara khusus diatur dalam Pasal 54 ayat (2) UU No.20/2011. Pengalihan atas sarusun umum, hanya dapat dilakukan dengan:

a. Pewarisan

b. Perikatan kepemilikan rumah susun setelah jangka waktu 20 (dua puluh) tahun; atau

c. Pindah tempat tinggal yang dibuktikan dengan surat keterangan pindah dari yang berwenang.

Untuk pengalihan sarusun umum dengan cara seperti dalam poin (b) dan (c) di atas, hanya dapat dilakukan melalui badan pelaksana, yaitu suatu badan yang dibentuk oleh Pemerintah yang mempunyai fungsi untuk melakukan pelaksanaan pembangunan, pengalihan kepemilikan, dan distribusi rumah susun umum dan rumah susun khusus secara terkoordinasi dan terintegrasi.

Menurut Pasal 103 UU No.20/2011, setiap orang dilarang menyewakan atau mengalihkan kepemilikan sarusun umum kepada pihak lain, kecuali dengan cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (2) yang telah dijelaskan diatas. Ketentuan pidananya diatur dalam Pasal 115 UU No.20/2011, yang menyatakan bahwa setiap orang yang menyewakan atau mengalihkan kepemilikan sarusun umum kepada pihak lain, dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta Rupiah).

Pembebanan

UU No.20/2011 mengatur mengenai pembebanan hak atas sarusun sebagai berikut:

SHM sarusun dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan (Pasal 47 ayat 5 UU No.20/2011);
SKBG sarusun dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani fidusia sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan (Pasal 48 ayat 4 UU No.20/2011). SKBG sarusun yang dijadikan jaminan utang secara fidusia harus didaftarkan ke kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum (Pasal 48 ayat 5 UU No.20/2011).

Pendaftaran

Sebagai tanda bukti kepemilikan atas sarusun di atas tanah hak milik, hak guna bangunan, atau hak pakai di atas tanah negara, hak guna bangunan atau hak pakai di atas tanah hak pengelolaan diterbitkan SHM sarusun. (Pasal 47 ayat 1 UU No.20/2011). Untuk bisa memiliki SHM sarusun, harus dipenuhi syarat sebagai pemegang hak atas tanah (Pasal 47 ayat 2 UU No.20/2011). SHM sarusun diterbitkan oleh kantor pertanahan kabupaten/kota (Pasal 47 ayat 4 UU No.20/2011).

Pelaku pembangunan (developer) wajib memisahkan rumah susun atas sarusun, bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama dalam bentuk gambar dan uraian. Dan selanjutnya gambar dan uraian tersebut dituangkan dalam bentuk akta pemisahan yang disahkan oleh bupati/walikota, khusus untuk Provinsi DKI Jakarta, akta pemisahan disahkan oleh Gubernur. Untuk mendapatkan SHM sarusun, perlu dibuat akta pemisahan, lalu dibuat Buku Tanah, dan setelah itu dilakukan penerbitan SHM Sarusun tersebut. SHM sarusun terjadi sejak didaftarkannya akta pemisahan dengan dibuatnya Buku Tanah untuk setiap satuan rumah susun yang bersangkutan (Pasal 39 Ayat 5 PP No. 4 Tahun 1988). Jadi Pendaftaran Hak atas Satuan Rumah Susun bertujuan untuk memiliki SHM Sarusun.

SHM Sarusun di buat dengan cara:

Membuat salinan dari Buku Tanah yang bersangkutan;
Membuat salinan surat ukur atas tanah bersama;
Membuat gambar denah satuan rumah susun yang bersangkutan. (Pasal 7 ayat 2 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 4 Tahun 1989).

Rama Mahendra

read more

Kegiatan Pendaftaran Tanah

Latar Belakang

Definisi pendaftaran tanah dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (“PP 24/1997”) merupakan penyempurnaan dari ruang lingkup kegiatan pendaftaran tanah berdasarkan Pasal 19 ayat (2) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (“UUPA”) yang meliputi: pengukuran, perpetaan dan pembukuan tanah, pendaftaran dan peralihan hak atas tanah serta pemberian tanda bukti hak sebagai alat pembuktian yang kuat.

Kegiatan pendaftaran tanah lebih lanjut diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, yaitu meliputi:

1. Kegiatan Pendaftaran Tanah untuk Pertama Kali (Opzet atau Initial Registration)

Pendaftaran tanah pertama kali adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk objek tanah yang belum didaftarkan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah (“PP 10/1961”) atau PP 24/1997. Pendaftaran tanah untuk pertama kali dilaksanakan melalui pendaftaran tanah secara sistematik dan pendaftaran tanah secara sporadik. Yang dimaksud dengan pendaftaran tanah secara sistematik adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali secara serentak yang meliputi semua objek pendaftaran tanah yang belum didaftar dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa/kelurahan (Pasal 1 angka 10 PP 24/1997). Sedangkan pendaftaran tanah secara sporadik adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kalinya mengenai satu beberapa objek pendaftaran tanah dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa/kelurahan secara individual atau massal (Pasal 1 angka 11 PP 24/1997).

Kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kalinya, meliputi:
a. Pengumpulan dan pengolahan data fisik

1. Pembuatan peta dasar pendaftaran

2. Pendaftaran batas bidang-bidang tanah

3. Pengukuran dan pemetaan bidang-bidang tanah dan pembuatan peta pendaftaran

4. Pembuatan daftar tanah

5. Pembuatan surat ukur

b. Pembuktian hak dan pembukuannya, meliputi;

1. Pembuktian hak baru

2. Pembuktian hak lama

c. Kegiatan pemeliharaan data pendaftaran tanah

d. Penyajian daftar umum dan dokumen

e. Kegiatan pemeliharan data pendaftaran tanah

2. Kegiatan Pemeliharaan Data Pendaftaran Tanah (Bijhouding atau Maintenance)

Kegiatan ini adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk menyesuaikan data fisik dan data yuridis dalam peta pendaftaran, daftar tanah, daftar nama, daftar surat ukur, buku tanah, dan sertifikat dengan perubahan-perubahan yang terjadi kemudian (Pasal 1 angka 12 PP 24/1997).

Berdasarkan Pasal 36 PP 24/1997, pemeliharaan data pendaftaran tanah dilakukan apabila terjadi perubahan pada data fisik atau data yuridis obyek pendaftaran tanah yang telah terdaftar. Perubahan fisik terjadi kalau diadakan pemisahan, pemecahan, atau penggabungan bidang-bidang tanah yang sudah didaftar. Perubahan data yuridis terjadi misalnya jika diadakan pembebanan atau pemindahan hak atas bidang tanah yang sudah didaftar.

Pemegang hak yang bersangkutan wajib mendaftarkan perubahan data fisik atau data yuridis tersebut kepada Kantor Pertanahan dan Kabupaten/Kota setempat untuk dicatat dalam buku tanah.

Kegiatan pemeliharaan data pendaftaran tanah, terdiri atas:

a. pendaftaran peralihan dan pembebanan hak.

1. pemindahan hak dengan lelang

2. peralihan hak karena pewarisan

3. peralihan hak karena penggabungan atau peleburan perseroan atau koperasi

4. pembebanan hak

5. penolakan pendaftaran peralihan dan pembebanan hak

b. pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah lainnya, meliputi:

1. perpanjangan jangka waktu hak atas tanah;

2. pemecahan, pemisahan, dan penggabungan bidang tanah

3. pembagian hak bersama;

4. hapusnya hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun

5. peralihan dan hapusnya hak tanggungan;

6. perubahan data pendaftaran tanah berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan;

7. perubahan nama.

Sofie Widyana P.

read more

Tindak Pidana Terkait Rumah Susun

Ketentuan pidana terkait rumah susun diatur dalam Pasal 21 sampai dengan Pasal 23 Undang-undang Nomor 16 Tahun 1985 (“UU 16/1985”) tentang Rumah Susun.

Pasal 21 ayat (1) UU 16/1985 mengatur sanksi pidana yang berbunyi, “barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan Pasal 6 UU 16/1985, Pasal 17 ayat (2) UU 16/1985 dan Pasal 18 ayat (1) UU 16/1985 diancam dengan pidana penjara selama-selamanya 10 (sepuluh) tahun atau denda setinggi-tingginya Rp 100.000.000, – (seratus juta rupiah)”.

Kemudian, pada Pasal 21 ayat (3) UU 16/1985 mengatur sanksi pidana yang berbunyi,”barang siapa yang karena kelalaiannya menyebabkan pelanggaran atas ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 UU 16/1985, Pasal 17 ayat (2) UU 16/1985, dan Pasal 18 ayat (1) UU 16/1985 diancam dengan pidana kurungan selama-lamanya 1 (satu) tahun atau denda setinggi-tingginya Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah)”.

Ketentuan sanksi pidana sebagaimana yang dimaksud Pasal 21 ayat (1) UU 16/1985 dikategorikan sebagai tindak pidana kejahatan. Sedangkan ketentuan sanksi pidana pada Pasal 21 ayat (3) UU 16/1985 dikategorikan sebagai tindak pidana pelanggaran.

Selanjutnya pada Pasal 22 UU 16/1985 mengatur bahwa, selain pidana yang dijatuhkan karena kelalaian sebagaimana yang dimaksud diatas, maka terhadap kelalaian tersebut tetap dibebankan kewajiban untuk memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 UU 16/1985, Pasal 17 ayat (2) UU 16/1985, Pasal 18 ayat (1) UU 16/1985. Kemudian, berdasarkan Pasal 23 UU 16/1985 disebutkan bahwa, Peraturan Pemerintah yang mengatur pelaksanaan UU 16/1985 ini dapat memuat ancaman pidana kurungan selama-lamanya 1 (satu) tahun dan/atau denda setinggi-tingginya Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah).

Tindak pidana terkait rumah susun yang dapat dikategorikan sebagai pelanggaran dan kejahatan diatas adalah setiap perbuatan yang melanggar terhadap ketentuan didalam Pasal 6 UU 16/1985, Pasal 17 ayat (2) UU 16/1985 dan Pasal 18 ayat (1) UU 16/1985 berikut ini:

1. Persyaratan Teknis dan Administratif

Ketentuan dalam Pasal 6 UU 16/1985 mengatur bahwa, pembangunan rumah susun harus memenuhi persyaratan teknis dan administratif. Selanjutnya, ketentuan persyaratan teknis dan administratif tersebut diatur dengan Peraturan Pemerintah. Yang dimaksud dengan persyaratan teknis adalah antara lain mengatur mengenai struktur bangunan, keamanan, keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan lain-lain yang berhubungan dengan rancang bangun, termasuk kelengkapan prasarana dan fasilitas lingkungan. Sedangkan persyaratan administratif yang dimaksudkan antara lain mengenai perizinan usaha dari perusahaan pembangunan perumahan, izin lokasi dan/atau peruntukannya, serta perizinan mendirikan bangunan (IMB).

2. Pelaksanaan Eksekusi Hipotik dan Fidusia Setelah Pengumuman dan Pemberitahuan

Ketentuan ini diatur dalam Pasal 17 ayat (2) UU 16/1985 yang mengatur bahwa, pelaksanaan eksekusi hipotik dan fidusia dalam rangka pelunasan utang, baru dapat dilakukan setelah 1 (satu) bulan sejak diberitahukan secara tertulis kepada pihak-pihak yang berkepentingan dan diumumkan dalam dua surat kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan, dan/atau media massa cetak setempat, tanpa ada pihak yang menyatakan keberatan. Ketentuan kewajiban pengumuman dan pemberitahuan sebelum eksekusi hipotik dan fiidusia dimaksudkan undang-undang ini untuk melindungi kepentingan pihak lain.

3. Izin Layak Huni

Ketentuan dalam Pasal 18 ayat (1) UU 16/1985 mengatur bahwa, satuan rumah susun yang telah dibangun baru dapat dijual untuk dihuni setelah mendapat izin kelayakan untuk dihuni dari Pemerintah Daerah yang bersangkutan. Izin layak huni tersebut adalah sebagai syarat untuk penerbitan sertifikat hak milik atas satuan-satuan rumah susun. Izin layak huni juga diperlukan bagi rumah susun yang bukan hunian. Ketentuan dalam Pasal ini dimaksudkan untuk menjamin keselamatan, keamanan serta ketertiban para penghuni dan pihak lainnya.

Sofie Widyana P.

read more

Pembatalan Hak Atas Tanah

Latar Belakang

Dalam hal untuk melaksanakan ketentuan pemberian hak atas tanah berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (“UU No.5/1960”) dan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah (“PP No.40/1996”), maka perlu diatur mengenai tata cara pembatalan hak atas tanah, yang mana telah diatur dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian Dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara Dan Hak Pengelolaan (“Permenag 9/99”).

Pembatalan Hak Atas Tanah

Pasal 1 angka 14 Permenag 9/99 menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan pembatalan hak atas tanah adalah pembatalan keputusan pemberian hak atas tanah atau sertifikat hak atas tanah karena keputusan tersebut mengandung cacat hukum administrasi dalam penerbitannya atau untuk melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh ketetapan hukum tetap.

Pembatalan hak atas tanah meliputi pembatalan: (a) keputusan pemberian hak; (b) sertifikat hak atas tanah; dan (c) keputusan pemberian hak dalam rangka pengaturan penguasaan tanah. Pembatalan hak atas tanah tersebut diterbitkan karena cacat hukum administratif dalam penerbitan keputusan pemberian dan/atau sertifikat hak atas tanahnya atau melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Pembatalan hak atas tanah dilakukan dengan keputusan Menteri yang bertanggung jawab di bidang agraria/pertanahan (“Menteri”), dimana Menteri dapat melimpahkan kepada Kepala dari Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional, yakni Kantor Badan Pertanahan Nasional di tingkat Propinsi (“Kantor Wilayah”) atau Pejabat yang ditunjuk. [More…]

Pembatalan Hak Atas Tanah

Pembatalan hak atas tanah karena cacat hukum administrative

Yang dimaksud dengan cacat hukum administratif berdasarkan Pasal 107 Permenang 9/99 adalah (i) kesalahan prosedur, (ii) kesalahan penerapan peraturan perundang-undangan, (iii) kesalahan subyek hak, (iv) kesalahan objek hak, (v) kesalahan jenis hak, (vi) kesalahan perhitungan luas, (vii) terdapat tumpang tindih hak atas tanah, (viii) data yuridis atau data fisik tidak benar, atau (ix) kesalahan lainnya yang bersifat hukum administratif.

Keputusan pembatalan hak atas tanah karena cacat hukum administratif dalam penerbitannya, dapat dilakukan karena (i) permohonan dari yang berkepentingan atau (ii) Pejabat yang berwenang tanpa permohonan. Pembatalan hak atas tanah karena cacat hukum administratif melalui permohonan dari yang berkepentingan diajukan langsung kepada Menteri atau Pejabat yang ditunjuk atau melalui Kepala Kantor Pertanahan, yakni Badan Pertanahan Nasional di tingkat Kabupaten/Kota (“Kantor Pertanahan”). Sedangkan, pembatalan hak atas tanah karena cacat hukum administratif tanpa melalui permohonan oleh Pejabat yang berwenang dilaksanakan apabila diketahui adanya cacat hukum administratif dalam proses penerbitan keputusan pemberian hak atau sertifikatnya tanpa adanya permohonan.

Pembatalan hak atas tanah karena putusan pengadilan

Keputusan pembatalan hak atas tanah karena melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap diterbitkan atas permohonan yang berkepentingan, dimana permohonan tersebut diajukan langsung kepada Menteri atau Kepala Kantor Wilayah atau melalui Kantor Pertanahan.

Tata Cara Pembatalan Hak Atas Tanah

Terdapat beberapa proses dalam tata cara pembatalan hak atas tanah, sebagai berikut:

Kantor Pertanahan

Permohonan pembatalan hak atas tanah diajukan secara tertulis kepada Menteri melalui Kepala Kantor Pertanahan yang daerah kerjanya meliputi letak tanah yang bersangkutan, dengan dilampiri berkas-berkas, berupa: (i) fotocopy surat bukti identitas dan surat bukti kewarganegaraan (perorangan) atau fotocopy akta pendirian (badan hukum); (ii) fotocopy surat keputusan dan/atau sertifikat; (iii) surat-surat lain yang berkaitan dengan permohonan pembatalan.
Setelah berkas permohonan diterima, Kepala Kantor Pertanahan: (i) memeriksa dan meneliti kelengkapan data yuridis dan data fisik; (ii) mencatat dalam formulir isian; (iii) memberikan tanda terima berkas permohonan; (iv) memberitahukan kepada pemohon untuk melengkapi data yuridis dan data fisik apabila masih diperlukan.

Kantor Wilayah

Dalam hal permohonan pembatalan hak telah dilimpahkan kepada Kepala Kantor Wilayah, Kepala Kantor Wilayah akan mencatat dalam formulir tertentu yang telah ditetapkan dan memeriksa serta meneliti kelengkapan data yuridis dan data fisik, dan apabila belum lengkap, segera meminta Kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan untuk melengkapinya.
Dalam hal permohonan pembatalan hak telah dilimpahkan kepada Kepala Kantor Wilayah, Kepala Kantor Wilayah menerbitkan keputusan pembatalan hak atas tanah yang dimohon atau keputusan penolakan disertai dengan alasan penolakannya.

Menteri

Setelah menerima berkas permohonan, Menteri memerintahkan pejabat yang berwenang untuk memeriksa meneliti kelengkapan data yuridis dan data fisik, dan apabila belum lengkap, segera meminta Kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan untuk melengkapinya serta mencatat dalam formulir tertentu yang telah ditetapkan.
Menteri memutuskan permohonan tersebut dengan menerbitkan keputusan pembatalan hak atau penolakan disertai dengan alasan penolakannya,

Isrilitha Pratami Puteri

read more

Daily tips: Penertiban dan Pendayaan Tanah Terlantar

Penertiban dan pendayaan tanah terlantar adalah usaha untuk mengambil tindakan langkah penanganan yang ditetapkan dalam bentuk rekomendasi, pembinaan dan peringatan. Tanah yang sudah dinyatakan sebagai tanah terlantar menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh negara, untuk dilaksanakan pengaturan lebih lanjut dalam rangka pendayagunaannya berupa kemitraan, redistribusi tanah, konsolidasi tanah, pemberian hak atas tanah kepada pihak lain.

read more

Daily tips: Pendaftaran tanah

Pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak yang membebaninya.

read more

Daily tips: Mengurus Pembatalan Sertifikat

Pembatalan sertifikat dapat dilakukan melalui:
1. Pengaduan ke BPN

Ketika memutuskan untuk mengadukan pembatalan sertifikat lain kepada BPN, hal utama yang harus disiapkan yaitu segala dokumen terkait kepemilikan tanah tersebut. Selain itu, saksi-saksi yang mengetahui riwayat atas tanah tersebut juga harus disiapkan karena pejabat kantor pertanahan nantinya akan meminta keterangan pada saksi-saksi tersebut. Setelah menerima pengaduan, maka pejabat kantor pertanahan mengklarifikasi keabsahan sertifikat dengan memanggil berbagai pihak terkait permasalahan itu dengan memanggil berbagai pihak terkait permasalahan tersebut dan memeriksa lokasi tanah yang dipermasalahkan. Selanjutnya, pejabat kantor pertanahan akan memutuskan sertifikat siapa yang sah berdasarkan hasil pemeriksaan mereka baik terhadap sertifikat maupun terhadap lokasi tanah.

2. Gugatan ke Pengadilan Negeri

Gugatan dapat diajukan ke Pengadilan Negeri jika terkait adanya dugaan pemalsuan sertifikat sesuai dengan ketentuan KUHP pasal 263.

3. Gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara

Gugatan pembatalan sertifikat dapat diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara apabila sertifikat tersebut dinilai memiliki cacat.

read more