Pertanahan

Pembuktian Hak Lama pada Pendaftaran Tanah

Pasal 24 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (“PP No. 24/1997”) mengatur bahwa, untuk keperluan pendaftaran hak atas tanah yang berasal dari konversi hak-hak lama, dibuktikan dengan alat-alat bukti mengenai adanya hak tersebut berupa bukti-bukti tertulis, keterangan saksi dan atau pernyataan yang bersangkutan yang kadar kebenarannya oleh Panitia Ajudikasi dalam pendaftaran tanah secara sistematik atau oleh Kepala Kantor Pertanahan dalam pendaftaran tanah secara sporadik, dianggap cukup untuk memenuhi syarat mendaftar hak, pemegang hak dan hak-hak pihak lain yang membebaninya.

Permohonan tersebut harus disertai bukti kepemilikan/ dokumen asli yang membuktikan adanya hak yang bersangkutan. Alat-alat bukti yang dimaksudkan tersebut dapat berupa:

1. grosse akta hak eigendom yang diterbitkan berdasarkan Overschrijvings Ordonatie (S.1834-27), yang telah dibubuhi cacatan, bahwa hak eigendom yang bersangkutan dikonversi menjadi hak milik; atau

2. grosse akta hak eigendom yang diterbitkan berdasarkan Overschrijvings Ordonatie (S.1834-27) sejak berlakunya UUPA sampai tanggal pendaftaran tanah dilaksanakan menurut Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 di daerah yang bersangkutan; atau

3. surat bukti hak milik yang diterbitkan berdasarkan Peraturan Swapraja yang bersangkutan; atau

4. sertifikat hak milik yang diterbitkan berdasarkan Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 1959; atau

5. sertifikat hak milik dari Pejabat yang berwenang, baik sebelum ataupun sejak berlakunya UUPA, yang tidak disertai kewajiban untuk mendaftarkan hak yang diberikan, tetapi telah dipenuhi semua kewajiban yang disebut di dalamnya; atau

6. akta pemindahan hak yang dibuat di bawah tangan yang dibubuhi tanda kesaksian oleh Kepala Adat/Kepala Desa/Kelurahan yang dibuat sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini; atau

7. akta pemindahan hak atas tanah yang dibuat oleh PPAT, yang tanah-nya belum dibukukan; atau

8. akta ikrar wakaf/surat ikrar wakaf yang dibuat sebelum atau sejak mulai dilaksanakan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977; atau

9. risalah lelang yang dibuat oleh Pejabat Lelang yang berwenang, yang tanahnya belum dibukukan; atau

10. surat penunjukan atau pembelian kaveling tanah pengganti tanah yang diambil oleh Pemerintah atu Pemerintah Daerah; atau

11. petuk Pajak Bumi/Landrete, girik, pipil, kekitir dan Verponding Indonesia sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961; atau

12. surat keterangan riwayat tanah yang pernah dibuat oleh Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan; atau

13. lain-lain bentuk alat pembuktian tertulis dengan nama apapun juga sebagaimana dimaksud dalam Pasal II, VI dan VII Ketentuan-ketentuan Konversi UUPA.

Jika, bukti tertulis kepemilikan sebidang tanah tersebut tidak lengkap atau tidak ada lagi, pembuktian kepemilikan itu dapat dilakukan dengan keterangan saksi atau pernyataan yang bersangkutan yang dapat dipercaya kebenarannya menurut pendapat Panitia Adjudikasi atau oleh Kepala Kantor Pertanahan. Yang dimaksud dengan saksi adalah orang yang cakap memberi kesaksian dan mengetahui kepemilikan tersebut.

Dalam hal tidak atau tidak tersedianya secara lengkap alat-alat pembuktian di atas, maka Pasal 24 ayat (2) PP No. 24/1997, memberi jalan keluar dengan mengganti ketidaksediaan bukti kepemilikan sebidang tanah tersebut dengan bukti penguasaan fisik atas tanah yang bersangkutan selama 20 (dua puluh) tahun atau lebih secara berturut-turut oleh pemohon pendaftaran dan pendahulu-pendahulunya, dengan syarat:

a. bahwa penguasaan dan penggunaan tanah yang bersangkutan dilakukan secara nyata dan dengan itikad baik selama 20 tahun atau lebih secara berturut-turut;

b. bahwa kenyataan penguasaan dan penggunaan tanah tersebut selama itu tidak digangu gugat dan karena itu dianggap diakui dan dibenarkan oleh masyarakat hukum adat atau desa/kelurahan yang bersangkutan;

c. bahwa hal-hal tersebut diperkuat oleh kesaksian orang-orang yang dapat dipercaya;

d. bahwa telah diberikan kesempatan kepada pihak lain untuk mengajukan keberatan melalui pengumuman;

e. bahwa telah diadakan penelitian juga mengenai kebenaran hal-hal yang disebutkan di atas;

f. bahwa akhirnya kesimpulan mengenai status tanah dan pemegang haknya dituangkan dalam keputusan berupa pengakuan hak yang bersangkutan oleh Panitia Ajudikasi dalam pendaftaran tanah secara sistematik dan oleh Kepala Kantor Pertanahan dalam pendaftaran tanah secara sporadik;

Ketentuan Pasal 76 ayat (3) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (“Permenag/Ka.BPN No. 3/1997”) mengatur lebih lanjut mengenai bukti-bukti mengenai kepemilikan tanah yang tidak tersedia tersebut, sesuai yang tercantum pada Pasal 24 ayat (2) PP No. 24/1997. Permohonan yang diajukan tersebut harus disertai:

1.) surat pernyataan dari pemohon yang menyatakan hal-hal sebagai berikut:

a. bahwa pemohon telah menguasai secara nyata tanah yang bersangkutan selama 20 tahun atau lebih secara berturut-turut, atau telah memperoleh penguasaan itu dari pihak atau pihak-pihak lain yang telah menguasainya, sehingga waktu penguasaan pemohon dan pendahulunya tersebut berjumlah 20 tahun atau lebih.

b. bahwa penguasaan tanah itu telah dilakukan dengan itikad baik;

c. bahwa penguasaan itu tidak pernah digangu gugat dan karena itu dianggap diakui dan dibenarkan oleh masyarakat hukum adat atau desa/kelurahan yang bersangkutan;

d. bahwa tanah tersebut sekarang tidak memuat hal-hal yang tidak sesuai dengan kenyataan, penandatangan bersedia dituntut di muka Hakim secara pidana maupun perdata jika memberikan keterangan palsu;

2.) Keterangan dari Kepala Desa/Lurah yang biasanya disebut Surat Keterangan Tanah (“SKT”) dan sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi yang kesaksiannya dapat dipercaya, karena fungsinya sebagai tetua adat setempat dan/atau penduduk yang sudah lama bertinggal di desa/kelurahan letak tanah yang bersangkutan dan tidak mempunyai hubungan keluarga pemohon sampai derajat kedua baik dalam kekerabatan vertikal maupun horizontal, yang membenarkan apa yang dinyatakan oleh pemohon dalam surat pernyataan di atas.

Pembuktian hak-hak lama ini biasanya dilakukan oleh kelompok-kelompok masyarakat yang belum pernah tersentuh administrasi dan hukum pertanahan yang modern. Setelah bukti penguasaan fisik tersebut dilampirkan dalam permohonan hak atas tanah, lalu dilakukan pemeriksaan terhadap tanah sebagai bagian dari proses pendaftaran tanah, maka akan jelas bahwa pemegang hak maupun tanahnya telah terdaftar dan pemegang hak tersebut mempunyai hubungan hukum dengan tanahnya. Bukti bahwa pemegang hak berhak atas tanahnya adalah pemberian tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat yang dinamakan sertifikat tanah. Dengan adanya pendaftaran tanah dan penerbitan sertifikat tersebut, maka tercapailah kepastian hukum.

Sofie Widyana P.

read more

Ajudikasi Pendaftaran Tanah

Pengertian ajudikasi menurut Pasal 1 angka 8 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (“PP No 24/1997”) adalah “kegiatan yang dilaksanakan dalam rangka proses pendaftaran tanah untuk pertama kali, meliputi pengumpulan dan penetapan kebenaran data fisik dan data yuridis mengenai satu atau beberapa obyek pendaftaran tanah untuk keperluan pendaftarannya”. Kegiatan ajudikasi pendaftaran tanah tersebut merupakan prosedur khusus yang dilakukan untuk pemberian status hukum atas bagian-bagian tanah kepada pemilik yang benar-benar berwenang.

Pada pelaksanaan pendaftaran tanah secara sistematik, yang pada umumnya bersifat masal dan besar-besaran, maka untuk melaksanakannya Kepala Kantor Pertanahan dibantu oleh Panitia Ajudikasi yang dibentuk khusus untuk itu oleh Menteri atau Pejabat yang ditunjuk, sehingga dengan demikian tugas rutin Kantor Pertanahan tidak terganggu.

Dalam melaksanakan tugasnya, Panitia Ajudikasi dibantu oleh satuan tugas pengukuran dan pemetaan, satuan tugas pengumpul data yuridis dan satuan tugas administrasi yang tugas, susunan dan kegiatannya diatur Menteri.

Pada intinya tugas ajudikasi ini adalah tugas investigasi yang meneliti dan mencari kebenaran formal bukti, yakni data-data yuridis awal yang dimiliki pemegang hak atas tanah, dan tugas justifikasi, yaitu membuat penetapan dan pengesahan bukti yang sudah diteliti tersebut.

Walaupun tugas ajudikasi ini sebenarnya adalah tugas lembaga peradilan yaitu memberikan keputusan atau putusan, akan tetapi, dalam pendaftaran tanah tugas ajudikasi tersebut diberikan kepada pemerintah selaku eksekutif.

Kegiatan ajudikasi pendaftaran tanah ini, jika dilakukan dengan sungguh-sungguh akan sangat mendukung dalam percepatan pendaftaran tanah dan dapat menjamin kepastian hukum.

Sofie Widyana P.

read more

Hapusnya Hak atas Tanah

Ketentuan mengenai hapusnya hak atas tanah di atur dalam Pasal 27 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (“UUPA”) yang menyebutkan bahwa, hak kepemilikan atas tanah hapus apabila:
A. Tanahnya Jatuh kepada Negara
1. Karena pencabutan hak
Menurut ketentuan Pasal 18 UUPA bahwa untuk kepentingan umum termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan undang-undang. Ketentuan Pasal 18 UUPA ini selanjutnya dilaksanakan dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-hak atas Tanah dan Benda-benda yang Ada di Atasnya.
2. Karena penyerahan dengan sukarela oleh pemiliknya
Hapusnya hak atas tanah karena penyerahan dengan sukarela oleh pemiliknya ini berhubungan dengan Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 Tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum (“Kepres No. 55/1993”), yang dilaksanakan lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 1994 tentang Ketentuan Pelaksanaan Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum (“Permen No. 1/1994”), penyerahan sukarela ini menurut Kepres No. 55/1993 sengaja dibuat untuk kepentingan negara, yang dalam hal ini dilaksanakan oleh pemerintah.
3. Karena ditelantarkan
Pengaturan mengenai tanah yang terlantar diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar (“PP No. 36/1998”). Pasal 3 dan 4 PP No. 36/1998 mengatur mengenai kriteria tanah terlantar yaitu; (i) tanah yang tidak dimanfaatkan dan/atau dipelihara dengan baik. (ii) tanah yang tidak dipergunakan sesuai dengan keadaan, sifat atau tujuan dari pemberian haknya tersebut.
4. Karena ketentuan Pasal 21 ayat (3) dan Pasal 26 ayat (2) UUPA
Pasal 21 ayat (3) UUPA mengatur bahwa orang asing yang memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa wasiat atau pencampuran harta perkawinan, demikian pula warganegara Indonesia yang mempunyai hak milik dan setelah berlakunya UUPA ini kehilangan kewarganegaraannya, wajib melepaskan hak itu dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau hilangnya kewarganegaraan itu. Jika sesudah jangka waktu tersebut lampau hak milik itu tidak dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena hukum dan tanahnya jatuh kepada negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung.
Kemudian Pasal 26 ayat (2) UUPA menyatakan bahwa setiap jual-beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk langsung atau tidak langsung memindahkan hak milik kepada orang asing, kepada seorang warga negara yang di samping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing atau kepada suatu badan hukum, kecuali yang ditetapkan oleh Pemerintah yaitu badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik dan syarat-syaratnya, adalah batal karena hukum dan tanahnya jatuh kepada Negara, dengan ketentuan, bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung serta semua pembayaran yang telah diterima oleh pemilik tidak dapat dituntut kembali.
B. Tanahnya musnah
Sebagaimana pemberian, peralihan dan pembebanan Hak Milik yang wajib di daftar dalam buku tanah, pendaftaran hapusnya hak kepemilikan atas tanah juga wajib untuk dilakukan. Hal ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

Sofie Widyana P.

read more

Kegiatan Pendaftaran Tanah

Latar Belakang

Definisi pendaftaran tanah dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (“PP 24/1997”) merupakan penyempurnaan dari ruang lingkup kegiatan pendaftaran tanah berdasarkan Pasal 19 ayat (2) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (“UUPA”) yang meliputi: pengukuran, perpetaan dan pembukuan tanah, pendaftaran dan peralihan hak atas tanah serta pemberian tanda bukti hak sebagai alat pembuktian yang kuat.

Kegiatan pendaftaran tanah lebih lanjut diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, yaitu meliputi:

1. Kegiatan Pendaftaran Tanah untuk Pertama Kali (Opzet atau Initial Registration)

Pendaftaran tanah pertama kali adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk objek tanah yang belum didaftarkan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah (“PP 10/1961”) atau PP 24/1997. Pendaftaran tanah untuk pertama kali dilaksanakan melalui pendaftaran tanah secara sistematik dan pendaftaran tanah secara sporadik. Yang dimaksud dengan pendaftaran tanah secara sistematik adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali secara serentak yang meliputi semua objek pendaftaran tanah yang belum didaftar dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa/kelurahan (Pasal 1 angka 10 PP 24/1997). Sedangkan pendaftaran tanah secara sporadik adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kalinya mengenai satu beberapa objek pendaftaran tanah dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa/kelurahan secara individual atau massal (Pasal 1 angka 11 PP 24/1997).

Kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kalinya, meliputi:
a. Pengumpulan dan pengolahan data fisik

1. Pembuatan peta dasar pendaftaran

2. Pendaftaran batas bidang-bidang tanah

3. Pengukuran dan pemetaan bidang-bidang tanah dan pembuatan peta pendaftaran

4. Pembuatan daftar tanah

5. Pembuatan surat ukur

b. Pembuktian hak dan pembukuannya, meliputi;

1. Pembuktian hak baru

2. Pembuktian hak lama

c. Kegiatan pemeliharaan data pendaftaran tanah

d. Penyajian daftar umum dan dokumen

e. Kegiatan pemeliharan data pendaftaran tanah

2. Kegiatan Pemeliharaan Data Pendaftaran Tanah (Bijhouding atau Maintenance)

Kegiatan ini adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk menyesuaikan data fisik dan data yuridis dalam peta pendaftaran, daftar tanah, daftar nama, daftar surat ukur, buku tanah, dan sertifikat dengan perubahan-perubahan yang terjadi kemudian (Pasal 1 angka 12 PP 24/1997).

Berdasarkan Pasal 36 PP 24/1997, pemeliharaan data pendaftaran tanah dilakukan apabila terjadi perubahan pada data fisik atau data yuridis obyek pendaftaran tanah yang telah terdaftar. Perubahan fisik terjadi kalau diadakan pemisahan, pemecahan, atau penggabungan bidang-bidang tanah yang sudah didaftar. Perubahan data yuridis terjadi misalnya jika diadakan pembebanan atau pemindahan hak atas bidang tanah yang sudah didaftar.

Pemegang hak yang bersangkutan wajib mendaftarkan perubahan data fisik atau data yuridis tersebut kepada Kantor Pertanahan dan Kabupaten/Kota setempat untuk dicatat dalam buku tanah.

Kegiatan pemeliharaan data pendaftaran tanah, terdiri atas:

a. pendaftaran peralihan dan pembebanan hak.

1. pemindahan hak dengan lelang

2. peralihan hak karena pewarisan

3. peralihan hak karena penggabungan atau peleburan perseroan atau koperasi

4. pembebanan hak

5. penolakan pendaftaran peralihan dan pembebanan hak

b. pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah lainnya, meliputi:

1. perpanjangan jangka waktu hak atas tanah;

2. pemecahan, pemisahan, dan penggabungan bidang tanah

3. pembagian hak bersama;

4. hapusnya hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun

5. peralihan dan hapusnya hak tanggungan;

6. perubahan data pendaftaran tanah berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan;

7. perubahan nama.

Sofie Widyana P.

read more

Pembatalan Hak Atas Tanah

Latar Belakang

Dalam hal untuk melaksanakan ketentuan pemberian hak atas tanah berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (“UU No.5/1960”) dan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah (“PP No.40/1996”), maka perlu diatur mengenai tata cara pembatalan hak atas tanah, yang mana telah diatur dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian Dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara Dan Hak Pengelolaan (“Permenag 9/99”).

Pembatalan Hak Atas Tanah

Pasal 1 angka 14 Permenag 9/99 menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan pembatalan hak atas tanah adalah pembatalan keputusan pemberian hak atas tanah atau sertifikat hak atas tanah karena keputusan tersebut mengandung cacat hukum administrasi dalam penerbitannya atau untuk melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh ketetapan hukum tetap.

Pembatalan hak atas tanah meliputi pembatalan: (a) keputusan pemberian hak; (b) sertifikat hak atas tanah; dan (c) keputusan pemberian hak dalam rangka pengaturan penguasaan tanah. Pembatalan hak atas tanah tersebut diterbitkan karena cacat hukum administratif dalam penerbitan keputusan pemberian dan/atau sertifikat hak atas tanahnya atau melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Pembatalan hak atas tanah dilakukan dengan keputusan Menteri yang bertanggung jawab di bidang agraria/pertanahan (“Menteri”), dimana Menteri dapat melimpahkan kepada Kepala dari Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional, yakni Kantor Badan Pertanahan Nasional di tingkat Propinsi (“Kantor Wilayah”) atau Pejabat yang ditunjuk. [More…]

Pembatalan Hak Atas Tanah

Pembatalan hak atas tanah karena cacat hukum administrative

Yang dimaksud dengan cacat hukum administratif berdasarkan Pasal 107 Permenang 9/99 adalah (i) kesalahan prosedur, (ii) kesalahan penerapan peraturan perundang-undangan, (iii) kesalahan subyek hak, (iv) kesalahan objek hak, (v) kesalahan jenis hak, (vi) kesalahan perhitungan luas, (vii) terdapat tumpang tindih hak atas tanah, (viii) data yuridis atau data fisik tidak benar, atau (ix) kesalahan lainnya yang bersifat hukum administratif.

Keputusan pembatalan hak atas tanah karena cacat hukum administratif dalam penerbitannya, dapat dilakukan karena (i) permohonan dari yang berkepentingan atau (ii) Pejabat yang berwenang tanpa permohonan. Pembatalan hak atas tanah karena cacat hukum administratif melalui permohonan dari yang berkepentingan diajukan langsung kepada Menteri atau Pejabat yang ditunjuk atau melalui Kepala Kantor Pertanahan, yakni Badan Pertanahan Nasional di tingkat Kabupaten/Kota (“Kantor Pertanahan”). Sedangkan, pembatalan hak atas tanah karena cacat hukum administratif tanpa melalui permohonan oleh Pejabat yang berwenang dilaksanakan apabila diketahui adanya cacat hukum administratif dalam proses penerbitan keputusan pemberian hak atau sertifikatnya tanpa adanya permohonan.

Pembatalan hak atas tanah karena putusan pengadilan

Keputusan pembatalan hak atas tanah karena melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap diterbitkan atas permohonan yang berkepentingan, dimana permohonan tersebut diajukan langsung kepada Menteri atau Kepala Kantor Wilayah atau melalui Kantor Pertanahan.

Tata Cara Pembatalan Hak Atas Tanah

Terdapat beberapa proses dalam tata cara pembatalan hak atas tanah, sebagai berikut:

Kantor Pertanahan

Permohonan pembatalan hak atas tanah diajukan secara tertulis kepada Menteri melalui Kepala Kantor Pertanahan yang daerah kerjanya meliputi letak tanah yang bersangkutan, dengan dilampiri berkas-berkas, berupa: (i) fotocopy surat bukti identitas dan surat bukti kewarganegaraan (perorangan) atau fotocopy akta pendirian (badan hukum); (ii) fotocopy surat keputusan dan/atau sertifikat; (iii) surat-surat lain yang berkaitan dengan permohonan pembatalan.
Setelah berkas permohonan diterima, Kepala Kantor Pertanahan: (i) memeriksa dan meneliti kelengkapan data yuridis dan data fisik; (ii) mencatat dalam formulir isian; (iii) memberikan tanda terima berkas permohonan; (iv) memberitahukan kepada pemohon untuk melengkapi data yuridis dan data fisik apabila masih diperlukan.

Kantor Wilayah

Dalam hal permohonan pembatalan hak telah dilimpahkan kepada Kepala Kantor Wilayah, Kepala Kantor Wilayah akan mencatat dalam formulir tertentu yang telah ditetapkan dan memeriksa serta meneliti kelengkapan data yuridis dan data fisik, dan apabila belum lengkap, segera meminta Kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan untuk melengkapinya.
Dalam hal permohonan pembatalan hak telah dilimpahkan kepada Kepala Kantor Wilayah, Kepala Kantor Wilayah menerbitkan keputusan pembatalan hak atas tanah yang dimohon atau keputusan penolakan disertai dengan alasan penolakannya.

Menteri

Setelah menerima berkas permohonan, Menteri memerintahkan pejabat yang berwenang untuk memeriksa meneliti kelengkapan data yuridis dan data fisik, dan apabila belum lengkap, segera meminta Kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan untuk melengkapinya serta mencatat dalam formulir tertentu yang telah ditetapkan.
Menteri memutuskan permohonan tersebut dengan menerbitkan keputusan pembatalan hak atau penolakan disertai dengan alasan penolakannya,

Isrilitha Pratami Puteri

read more

Aspek Hukum Jangka Waktu Hak Pakai atas Tanah Negara dan Tanah dengan Hak Milik

Berdasarkan Pasal 41 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (“UU Tanah”), Hak Pakai adalah hak untuk menggunakan dan memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain. Sebagaimana diatur dalam Pasal 42 Hukum Tanah, Hak Pakai dapat diberikan kepada:

warga negara Indonesia;
orang asing yang berkedudukan di Indonesia;
badan hukum yang didirikan dan berkedudukan di Indonesia;
badan hukum asing yang mempunyai kantor perwakilan di Indonesia.
Lebih lanjut, sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah (“PP 40”), Hak Pakai dapat diberikan di atas tanah dengan status:

tanah negara;
tanah hak pengelolaan;
tanah hak milik.
Kepemilikan properti oleh orang asing sebagaimana diatur secara khusus dalam Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1996 mengenai Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia (“PP 41”). Pasal 2 PP 41 jenis rumah yang diperbolehkan untuk dimiliki oleh orang asing:

rumah yang dibangun di atas tanah negara;
rumah yang dibangun berdasarkan perjanjian dengan pemegang hak milik atas tanah. Perjanjian tersebut harus dibuat di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah;
satuan rumah susun yang dibangun di atas Hak Pakai atas tanah Negara.

Jangka Waktu Hak Pakai

Ditetapkan dalam Pasal 45 PP 40 jangka waktu bagi hak pakai atas tanah Negara adalah 25 (dua puluh lima) tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu 20 (dua puluh) tahun. PP 40 mengatur beberapa persyaratan sebelum jangka waktu Hak Pakai dapat diperpanjang, yaitu:

Tanah masih dipergunakan sesuai dengan penggunaan tanah;
Syarat-syarat pemberian hak tersebut masih dipenuhi dengan baik oleh pemegang hak;
Pemegang hak masih memenuhi persyaratan sebagai pemegang hak yang diatur dalam PP 40.
Lebih lanjut, untuk perpanjangan jangka waktu Hak Pakai, Pasal 47 PP 40 mengatur bahwa permohonan atas perpanjangan jangka waktu harus diajukan selambat-lambatnya dua tahun sebelum berakhirnya jangka waktu Hak Pakai tersebut.

Selain itu, PP 41 mengatur jangka waktu yang berbeda untuk Hak Pakai atas rumah yang dibangun berdasarkan perjanjian dengan pemegang Hak Milik, jangka waktu perjanjian tersebut tidak boleh lebih dari 25 (dua puluh lima) tahun dimana perjanjian tersebut dapat diperpanjang selama 25 (dua puluh lima) tahun. Walaupun demikian, perpanjangan selama 25 (dua puluh lima) tahun harus dibuat dalam perjanjian terpisah antara orang asing dan pemegang hak milik. Selanjutnya, perpanjangan dapat dibuat dengan ketentuan bahwa orang asing yang berdomisili di Indonesia atau untuk perusahaan asing, mempunyai perwakilan di Indonesia.

Apabila orang asing yang memiliki rumah yang dibangun atas Hak Pakai tanah negara atau berdasarkan perjanjian dengan pemegang hak tidak lagi berdomisili di Indonesia, dalam jangka waktu 1 (satu) tahun, orang asing harus mengalihkan haknya kepada pihak lain yang memenuhi syarat untuk memiliki hak atas tanah. Dalam hal orang asing tersebut menolak untuk mengalihkan haknya kepada pihak lain, rumah yang dibangun atas tanah negara akan dikuasai oleh negara untuk dilelang. Adapun rumah yang dibangun berdasarkan perjanjian dengan pemegang hak, rumah akan dimiliki oleh pemegang hak.

Jerry Shalmont

read more

Izin Lokasi

Latar Belakang
Izin lokasi diperlukan oleh suatu perusahaan untuk memperoleh tanah dalam rangka melaksanakan rencana penanaman modal yang dimilikinya. Izin lokasi ini diatur di dalam Peraturan Menteri Agraria Kepala Badan Pertanahan Nomor 2 Tahun 1999 tentang Izin Lokasi (“Permenag No. 2/1999”).

Izin Lokasi
Izin Lokasi adalah izin yang diberikan kepada perusahaan untuk memperoleh tanah yang diperlukan dalam rangka penanaman modal yang berlaku pula sebagai izin pemindahan hak, dan untuk menggunakan tanah tersebut guna keperluan usaha penanaman modalnya.

Setiap perusahaan yang telah memperoleh persetujuan penanaman modal wajib mempunyai izin lokasi untuk memperoleh tanah yang diperlukan untuk melaksanakan rencana penanaman modal yang bersangkutan. Namun, Izin Lokasi tidak diperlukan dan dianggap sudah dimiliki oleh perusahaan yang bersangkutan dalam hal:

tanah yang akan diperoleh merupakan pemasukan (inbreng) dari para pemegang saham;
tanah yang akan diperoleh merupakan tanah yang sudah dikuasai oleh perusahaan lain dalam rangka melanjutkan pelaksanaan sebagai atau seluruh rencana penanaman modal perusahaan lain tersebut, dan untuk itu telah diperoleh persetujuan dari instansi yang berwenang;
tanah yang akan diperoleh diperlukan dalam rangka melajaksanakan usaha industri dalam suatu kawasan industri;
tanah yang akan diperoleh berasal dari otorita atau badan rencana pengembangan suatu kawasan sesuai dengan rencana tata ruang kawasan pengembangan tersebut;
tanah yang akan diperoleh diperlukan untuk perluasan usaha yang sudah berjalan dan untuk perluasan itu telah diperoleh izin tanah tersebut berbatasan dengan lokasi usaha yang bersangkutan;
tanah yang diperlukan untuk melaksanakan rencana penanaman modal tidak lebih dari 25 Ha (dua puluh lima hektar) untuk usaha pertanian atau tidak lebih dari 10.000 m2 (sepuluh ribu meter persegi ) untuk usaha bukan pertanian; atau
tanah yang akan dipergunakan untuk melaksanakan rencana penanaman modal adalah tanah yang sudah dipunyai oleh perusahaan uyang bersangkutan, dengan ketentuan bahwa tanah-tanah tersebut terletak di lokasi yang menurut Rencana Tata Ruang Wilayah yang berlaku diperuntukkan bagi penggunaan yang sesuai dengan rencana penanaman modal yang bersangkutan.

Jangka Waktu Pemberian Izin Lokasi
Izin Lokasi diberikan untuk jangka waktu sebagai berikut:

a. Izin Lokasi seluas sampai dengan 25 Ha, 1 (satu) tahun;

b. Izin Lokasi seluas lebih dari 25 Ha s/d 50 Ha, 2 (dua) tahun;

c. Izin Lokasi seluas lebih dari 50 Ha, 3 (tiga) tahun.

Dalam hal perolehan tanah belum selesai dalam jangka waktu Izin Lokasi sebagaimana tersebut di atas, maka Izin Lokasi dapat diperpanjang jangka waktunya selama 1 (satu) tahun apabila tanah yang sudah diperoleh mencapai lebih dari 50% (lima puluh persen) dari luas tanah yang ditunjuk dalam Izin Lokasi.

Tata Cara Pemberian Izin Lokasi
Sebelum Izin Lokasi diberikan, penting untuk diketahui bahwa tanah yang dapat ditunjuk dalam Izin Lokasi adalah tanah yang menurut Rencana Tata Ruang Wilayah yang berlaku diperuntukkan bagi penggunaan yang sesuai dengan rencana penanaman modal yang akan dilaksanakan oleh perusahaan menurut persetujuan penanaman modal yang dimilikinya.

Izin Lokasi ini diberikan berdasarkan pertimbangan mengenai aspek penguasaan tanah dan teknis tata guna tanah yang meliputi keadaan hak serta penguasaan tanah yang bersangkutan, penilaian fisik wilayah, penggunaan tanah, serta kemampuan tanah. Izin Lokasi diberikan dalam surat keputusan pemberian Izin Lokasi yang ditandatangani oleh Bupati/Walikotamadya atau, untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta, oleh Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta setelah diadakan rapat koordinasi antar instansi terkait, yang dipimpin oleh Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta, atau oleh pejabat yang ditunjuk secara tetap olehnya.

Hak dan Kewajiban Pemegang Izin Lokasi

Hak Pemegang Izin Lokasi adalah sebagai berikut:
membebaskan tanah dalam areal Izin Lokasi dari hak dan kepentingan pihak lain berdasarkan kesepakatan dengan pemegang hak atau pihak yang memiliki kepentingan tersebut dengan cara jual beli, pemberian ganti kerugian, konsolidasi tanah atau cara lain sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
pemegang Izin Lokasi dapat diberikan hak atas tanah yang memberikan kewenangan kepadanya untuk menggunakan tanah tersebut sesuai dengan keperluan untuk melaksanakan rencana penanaman modalnya.
Pemegang Izin Lokasi berkewajiban untuk:
menghormati kepentingan pihak-pihak lain atas tanah yang belum dibebaskan;
tidak menutup atau mengurangi aksessibilitas yang dimiliki masyarakat di sekitar lokasi;
menjaga serta melindungi kepentingan umum;
melaporkan secara berkala setiap 3 (tiga) bulan kepada Kepala Kantor Pertanahan mengenai perolehan tanah yang sudah dilaksanakannya berdasarkan Izin Lokasi dan pelaksanaan penggunaan tanah tersebut.

read more

Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan

Latar Belakang

Seperti yang telah kita ketahui bersama, bumi, air, dan kekayaan alam yang terkadung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Tanah dan bangunan yang berdiri di atasnya, di samping memenuhi kebutuhan dasar, juga merupakan alat investasi yang menguntungkan. Dengan kata lain, tanah dan bangunan memiliki nilai ekonomis. Oleh karena itu, wajar apabila pihak yang memperoleh hak atas tanah dan bangunan menyerahkan sebagian nilai ekonomi yang diperolehnya kepada Negara melalui pembayaran pajak, terutama Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (“BPHTB”). BPHTB diatur di dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang BPHTB (“UU No. 21/1997”), yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perubahan UU No. 21/1997 (“UU No. 20/2000”).

BPHTB

Berdasarkan UU No. 20/2000, dinyatakan bahwa BPHTB adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan. Subjek pajak BPHTB yaitu orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan. Objek pajak BPHTB adalah perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan, di mana perolehan hak atas tanah dan atau bangunan tersebut meliputi:

pemindahan hak karena: jual beli, tukar-menukar, hibah, hibah wasiat, waris, pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, penunjukan pembeli dalam lelang, pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha, dan hadiah;
pemberian hak baru karena: kelanjutan pelepasan hak, dan di luar pelepasan hak.
Hak atas tanah yang dapat menjadi objek dari BPHTB yaitu hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak milik atas satuan rumah susun, dan hak pengelolaan.

Objek pajak yang dikecualikan dari pengenaan BPHTB, yaitu objek pajak yang diperoleh oleh:
perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum;
badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain di luar fungsi dan tugas badan atau perwakilan organisasi tersebut;
orang pribadi atau badan karena konversi hak atau karena perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama;
orang pribadi atau badan karena wakaf; dan
orang pribadi atau badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah.

Tarif BPHTB

Sesuai dengan Pasal 5 UU No. 21/1997, tarif pajak BPHTB adalah sebesar 5% (lima persen) dari Nilai Perolehan Objek Kena Pajak (“NPOPKP”). NPOPKP adalah nilai perolehan objek pajak (“NPOP”) dikurangi dengan Nilai Perolehan Tidak Kena Pajak (“NPOPTKP”).

Dasar pengenaan BPHTB adalah NPOP. BPHTB dikenakan atas transaksi yang melebihi NPOPTKP yang ditetapkan secara regional paling banyak Rp 60.000.000.- (enam puluh juta Rupiah), kecuali dalam hal perolehan hak tersebut adalah melalui pewarisan, hadiah, wasiat yang diterima oleh orang/individu yang masih memiliki hubungan darah dalam garis lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan si pemberi, termasuk suami atau istri, dimana NPOPTKP ini ditetapkan secara regional dengan jumlah maksimum sebesar Rp 300.000.000,- (tiga ratus juta Rupiah).

Jumlah terhutang BPHTB dihitung dengan mengalikan tarif pajak BPHTB dengan NPOPKP.

read more