Pendahuluan
Istilah Rechtsverwerking merupakan suatu pernyataan bahwa yang bersangkutan tidak mau lagi menggunakan hak yang dipunyainya. Suatu pernyataan tersebut bisa diberikan secara tegas maupun diam-diam. Jika tindakan rechtsverwerking diberikan secara tegas, maka orang-orang lebih cenderung untuk menyebutnya dengan istilah melepaskan hak atau pembebasan hutang. Jika sikap rechtsverwerking dilakukan dengan pernyataan secara diam-diam, maka tindakan rechtsverwerking disimpulkan dari sikap, perkataan atau perbuatan – biasanya juga disertai dengan keadaan tertentu – yang mungkin tidak dimaksudkan untuk menyatakan rechtsverwerking, akan tetapi patut ditafsirkan seperti itu oleh pihak ketiga, sebagaimana disampaikan oleh J. Satrio dalam bukunya berjudul Pelepasan Hak, Pembebasan Hutang dan Merelakan Hak (Rechtsverwerking).1

Satrio di buku yang sama menjelaskan bahwa terhadap sikap tinggal diam bisa memberikan akibat hukum. Sikap tinggal diam, disertai dengan atau dalam keadaan tertentu dapat ditafsirkan sebagai suatu pernyataan, termasuk sebagai pernyataan merelakan hak.2 Lebih lanjut lagi terdapat penegasan dari Yurisprudensi Mahkamah Agung RI No. 329 K/Sip/1957 yang menyatakan: “orang yang membiarkan saja tanah yang menjadi haknya selama 18 (delapan belas) tahun dikuasai oleh orang lain dianggap telah melepaskan hak atas tanah tersebut (rechtsverwerking).”

Dalam yurisprudensi yang akan dibahas kali ini, terdapat pandangan majelis hakim yang secara tidak langsung mengaitkan hilangnya hak dalam rechtsverwerking sebagai salah satu alasan hilangnya kepentingan untuk menggugat (point d’interet, point d’action)

Kasus Posisi

Putusan Nomor 26/G/2020/PTUN.Mtr. – PTUN Mataram
Dalam kasus ini, Para Penggugat menggugat Kepala Kantor Pertanahan Lombok Timur (Tergugat) dan Sahdan (Tergugat II Intervensi) atas objek gugatan Sertipikat Hak Milik (SHM) atas nama Sahdan dengan luas 3709m2. Para Penggugat mendalilkan SHM tersebut telah merugikan Para Penggugat serta Para Penggugat memiliki kepentingan atas objek sengketa tersebut berdasarkan warisan dari atas nama Amaq Nurisah. Dalam petitum gugatan, Para Penggugat memohonkan untuk mencabut SHM atas objek sengketa dan menyatakan SHM tersebut tidak sah.

Lihat Juga  Macam-macam Kategori Pengembang (Developer) Secara Umum

Dalam eksepsi Tergugat dan Tergugat II Intervensi, ditemukan fakta bahwa objek sengketa tersebut telah berada di luar penguasaan Para Penggugat selama 36 tahun dan sama sekali tidak dipermasalahkan oleh Para Penggugat. Selanjutnya Tergugat II Intervensi mendalilkan bahwa dengan fakta tersebut telah terjadi rechtsverwerking yang dilakukan oleh Para Penggugat dengan menyertakan beberapa Yurisprudensi sebagai penguatan, di antaranya:

  • “Dengan selama 24 tahun tidak mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri tentang barang warisan dari ibunya, penggugat yang kemudian mengajukan gugatan, dianggap telah melepaskan haknya” (PT Surabaya, 24 November 1952)
  • Pertimbangan Pengadilan Tinggi yang dibenarkan MA. Karena para penggugat terbanding telah selama 30 tahun lebih membiarkan tanah sengketa dikuasi oleh almarhum Ny. Ratiem dan kemudian oleh anak-anaknya, hak mereka sebagai ahli waris yang lain dari almarhum Atma untuk menuntut tanah tersebut telah sangat lewat waktu (rechtsverwerking)
  • Keberatan yang diajukan penggugat untuk kasasi bahwa hukum adat tidak mengenal daluwarsa dalam hal warisan tidak dapat dibenarkan, karena gugatan telah ditolak bukan atas alasan daluwarsanya gugatan, tetapi karena dengan berdiam diri selama 30 tahun lebih penggugat asal dianggap telah melepaskan haknya (rechtsverwerking). (MA11-12-1975 No.200K/Sip/1974)

Berangkat dari hal tersebut, Tergugat II Intervensi mendalilkan bahwa Para Penggugat tidak memiliki Legal Standing untuk melakukan gugatan atas objek sengketa.

Pertimbangan Hukum
Dalam pertimbangan hukum, majelis hakim terlebih dahulu mempertimbangkan kepentingan Para Penggugat untuk melakukan gugatan sebagaimana prinsip point de’interet, point de’action atau no interest, no action dengan dasar Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara (UU PTUN) yang mengatur bahwa orang atau badan hukum yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada Pengadilan yang berwenang yang berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau direhabilitasi.

Lihat Juga  Podcast on Real Estate Law – Uji Tuntas Hukum : Izin Mendirikan Bangunan

Kemudian Majelis Hakim menggunakan doktrin yang disampaikan oleh Indroharto dalam bukunya berjudul Usaha Memahami UndangUndang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku II Beracara di Pengadilan Tata Usaha Negara, yang menjelaskan bahwa kepentingan dalam kaitannya dengan pengajuan Gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara mengandung dua arti, yakni:

  1. Menunjuk kepada nilai yang harus dilindungi oleh hukum; dan
  2. Kepentingan berproses, artinya apa yang hendak dicapai dengan melakukan suatu proses gugatan yang bersangkutan.

Lebih lanjut lagi, maksud dari nilai yang harus dilindungi oleh hukum adalah suatu nilai yang mendapat pengaruh atau dinilai secara layak dapat diperkirakan menguntungkan atau merugikan yang timbul akibat dikeluarkan atau ditolaknya suatu Keputusan Tata Usaha Negara, serta yang dimaksud kepentingan proses adalah tujuan yang hendak dicapai dengan gugatan atau dengan kata lain maksud diselenggarakannya proses oleh pengambil inisiatif perkara.

Majelis hakim menjabarkan Eksepsi Tergugat II Intervensi mengenai Para Penggugat tidak memiliki legal standing untuk mengajukan Gugatan pada Pengadilan Tata Usaha Negara Mataram beralasan hukum untuk diterima, dengan pertimbangan bahwa Para Penggugat tidak memiliki kepentingan yang dirugikan sebagai akibat diterbitkannya objek sengketa a quo, baik dari segi nilai-nilai yang harus dilindungi oleh hukum maupun dari segi kepentingan berproses dengan dasar bahwa Para Penggugat tidak memiliki hubungan hukum dengan objek sengketa. Artinya, Majelis Hakim dengan sendirinya memeriksa dan menyimpulkan bahwa rechtsverwerking memang terjadi dan akibatnya, tidak ada kepemilikan atas tanah tersebut, dan oleh karena itu, tidak ada hubungan hukum. Hal ini secara filosofis berbeda dengan apa yang dijelaskan oleh Indroharto. Indroharto mengacu pada nilai-nilai yang harus dilindungi secara hukum. Nilai-nilai ini tidak hanya mengacu pada bukti tertulis atau dokumen tetapi juga mencakup keadilan dan moralitas. Sementara para hakim menafsirkan bahwa kepemilikan yang tidak sah, misalnya, tidak dikuasainya tanah sengketa dalam jangka waktu yang lama yang menyebabkan rechtsverwerking (tidak ada kepemilikan yang sah), sebagai bagian dari nilai-nilai hukum.

Lihat Juga  Fungsi Sosial Hak Milik: Sebuah Tanggapan

Berkenaan dengan diterimanya eksepsi Tergugat II Intervensi bahwa Para Penggugat tidak memiliki legal standing dalam pengajuan gugatan, maka pokok perkara tidak perlu lagi dipertimbangkan, dan gugatan Para Penggugat dinyatakan tidak dapat diterima.

Penutup
Dalam hal ini, rechtsverwerking yang dilakukan Para Penggugat berimplikasi kepada hilangnya hak atas objek gugatan dan berlanjut kepada tidak terpenuhinya salah satu unsur kepentingan, yakni tidak menunjukkan nilai yang harus dilindungi oleh hukum, hal ini berasal dari Para Penggugat tidak memiliki hak terhadap objek gugatan (bidang tanah sengketa) yang berimplikasi kepada Penggarap tidak memiliki hubungan kausalitas dengan objek gugatan. Sehingga Para Penggugat tidak memiliki kepentingan terhadap objek gugatan. Ketika tidak ada kepemilikan yang sah/legal, maka tidak ada hubungan hukum, dan oleh karenanya tidak ada kepentingan hukum.

Irwansyah Dhiaulhaq

Sources

  1. J. Satrio, “Pelepasan Hak, Pembebasan Hutang dan Merelakan Hak (Rechtsverwerking)”, 2016, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, Page 14 and 54.
  2. Ibid, Page 54.