Hak Servituut dalam Hukum Pertanahan di IndonesiaSebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (“UU No.5/1960”), pengaturan hukum tanah di Indonesia tunduk pada ketentuan Buku II KUH Perdata. Salah satu aturan pada Buku II KUH Perdata tersebut adalah mengenai Hak Servituut atau Pengabdian Pekarangan. Dalam Pasal 674 KUH Perdata, Hak Servituut didefinisikan sebagai suatu beban yang diberikan kepada pekarangan milik orang yang satu, untuk digunakan bagi dan demi kemanfaatan pekarangan milik orang yang lain.

Jenis Hak Servituut

Menurut Prof. Subekti, hak servituut ini dibagi menjadi beberapa macam, yaitu :[1]

  1. Yang abadi
    Hak pekarangan yang abadi maksudnya ialah agar hak tersebut terus-menerus dilaksanakan, tanpa memerlukan suatu perbuatan manusia, misalnya aliran air, pemandangan dan sebagainya. Pengaturan mengenai jenis hak servituut yang abadi dapat dilihat dalam Pasal 677 KUH Perdata.
  2. Yang tidak abadi
    Hak pekarangan yang tidak abadi maksudnya ialah agar dalam mempergunakannya hak itu harus memerlukan suatu perbuatan manusia, misalnya hak melintas pekarangan, hak mengambil air, hak menggembala ternak dan sebagainya. Pengaturan mengenai jenis hak servituut yang tidak abadi dapat dilihat dalam Pasal 677 KUH Perdata
  3. Yang nampak; dan
    Hak pekarangan yang nampak maksudnya ialah suatu hak pekarangan terhadap suatu benda yang mempunyai tanda-tanda yang nampak, misalnya larangan-larangan untuk mendirikan sesuatu diatas pekarangan dan sebagainya. Pengaturan mengenai jenis hak servituut yang nampak dapat dilihat dalam Pasal 678 KUH Perdata.Hak pekarangan yang tidak nampak maksudnya ialah pada kenyataannya tidak mempunyai tanda-tanda yang nampak, misalnya larangan-larangan untuk mendirikan sesuatu di atas pekarangan dan sebagainya. Pengaturan mengenai jenis hak servituut yang tidak nampak dapat dilihat dalam Pasal 678 KUH Perdata.
  4. Yang tidak nampak
    Hak pekarangan yang tidak nampak maksudnya ialah pada kenyataannya tidak mempunyai tanda-tanda yang nampak, misalnya larangan-larangan untuk mendirikan sesuatu di atas pekarangan dan sebagainya. Pengaturan mengenai jenis hak servituut yang tidak nampak dapat dilihat dalam Pasal 678 KUH Perdata.
Lihat Juga  Peningkatan Hak untuk Kepemilikan Rumah

Syarat Hak Servituut

Menurut C.S.T. Kansil, suatu hak servituut sah apabila telah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :[2]

  1. Harus ada dua halaman yang letaknya saling berdekatan, dibangun atau tidak dibangun dan yang dimiliki oleh berbagai pihak;
  2. Kemanfaatan dari hak pekarangan itu harus dapat dinikmati atau dapat berguna bagi berbagai pihak yang memiliki halaman tadi;
  3. Hak pekarangan harus bertujuan untuk meninggalkan kemanfaatan dari halaman penguasa;
  4. Beban yang diberatkan itu harus senantiasa bersifat menanggung sesuatu;
  5. Kewajiban-kewajiban yang timbul dalam hak pekarangan itu hanya dapat dalam hal membolehkan sesuatu, atau tidak membolehkan sesuatu.

Hak Servituut dalam Peraturan Pertanahan di Indonesia

Pengaturan mengenai hak servituut secara tidak langsung dapat ditemukan dalam Pasal 6 UU No. 5/1960 yang berisi :

Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial.

Kemudian, dalam Penjelasan Umum Bagian II Paragraf 4 UU No.5/1960, fungsi sosial atas tanah berarti bahwa hak atas tanah apa pun yang ada pada seseorang, tidaklah dapat dibenarkan, bahwa tanahnya itu akan digunakan (atau tidak digunakan) semata-mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau hal itu menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaannya dan sifat daripada haknya, hingga bermanfaat baik bagi kesejahteraan dan kebahagiaan yang mempunyainya maupun bermanfaat juga bagi masyarakat dan negara.

Lalu, hak servituut juga diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha dan Hak Pakai Atas Tanah (“PP No.40/1996”), yang menyatakan bahwa Jika tanah Hak Guna Usaha atau tanah Hak Guna Bangunan atau tanah Hak Pakai karena keadaan geografis atau lingkungan atau sebab-sebab lain letaknya sedemikian rupa sehingga mengurung atau menutup pekarangan atau bidang tanah lain dari lalu lintas umum atau jalan air, maka pemegang Hak Guna Usaha atau tanah Hak Guna Bangunan atau tanah Hak Pakai wajib memberikan jalan keluar atau jalan air atau kemudahan lain bagi pekarangan atau bidang tanah yang terkurung itu.

Lihat Juga  Kepemilikan Satuan Rumah Susun oleh Orang Asing di Indonesia

Namun, sejak diberlakukannya Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah (“PP No. 18/2021”), PP No. 40/1996 dicabut. Dalam PP No. 18/2021 ditemukan pula pengaturan seperti hak servituut, yaitu adanya larangan bagi pemegang hak guna bangunan dan hak pakai untuk mengurung atau menutup pekarangan atau bidang Tanah lain dari lalu lintas umum, akses publik, dan/atau jalan air. Mirip dengan hal tersebut, bagi pemegang hak guna usaha diwajibkan untuk memberikan jalan keluar atau jalan air atau kemudahan lain bagi pekarangan atau bidang Tanah yang terkurung.

Yurisprudensi Perihal Hak Servituut

Selain dapat ditemukan dalam peraturan perundang-undangan, Hak Servituut juga dapat ditemukan dalam beberapa pertimbangan Majelis Hakim. Seperti dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 1729 K/Sip/1976. Dalam putusan tersebut, majelis hakim mempertimbangkan bahwa pengabdian tanah pekarangan (erfdienstbaarheid atau hak servituut) tidaklah berakhir dengan bergantinya pemilik-pemilik tanah yang bersangkutan.

Kemudian, dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 1966 K/Pdt/2018, Majelis Hakim mempertimbangkan pada intinya bahwa apabila seseorang melarang pihak yang memiliki hak servituut untuk memanfaaatkan lahan, maka perbuatan tersebut adalah Perbuatan Melawan Hukum.

Lalu, dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 182 PK/Pdt/2017, Majelis Hakim mempertimbangkan pada intinya apabila Tergugat menutup jalan yang terdapat hak servituut, maka Tergugat harus membuatkan jalan penggantinya.

Dengan demikian, walaupun Buku II KUH Perdata telah dicabut oleh UU No. 5/1960, keberlakuan hak servituut masih ditemukan dalam hukum pertanahan di Indonesia sampai saat ini.

[1] Prof. Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata (Jakarta : PT.Intermasa, 2001) hlm. 75

[2] P.N.H. Simanjuntak, Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia (Jakarta: Djambatan, 2009) Hlm. 222.

Alya Batrisiya