Ketentuan tentang pendaftaran tanah dalam hukum agraria menimbulkan permasalahan hukum bagi seluruh pembeli tanah atau real estat. Di satu sisi, ketentuan ini memberikan kesempatan bagi pemilik sesungguhnya untuk mengajukan klaim atau keberatan sehubungan dengan pendaftaran tanah dan sertipikat tanah. Di sisi lain, peluang tersebut mengakibatkan ketidakpastian hukum bagi semua pembeli, khususnya pembeli beritikad baik, yang membeli tanah atau real estat tersebut dari penjual atau pemilik sebelumnya.

Problem klasik antara keadilan, untuk melindungi pemilik sesungguhnya, dan kepastian hukum, untuk melindungi pembeli, adalah salah satu masalah yang selalu diperdebatkan antara ahli hukum dan praktisi. Untuk mengakomodir kedua perbedaan tersebut, peraturan pemerintah tahun 1997 memberikan pengaturan lebih lanjut tentang sertipikat tanah. Peraturan tersebut mengatur bahwa sertipikat tanah adalah bukti kuat terkait dengan data fisik dan yuridis yang diuraikan di dalamnya, sepanjang data tersebut sesuai dengan surat ukur dan buku tanah terkait. Selanjutnya, peraturan pemerintah mengatur bahwa jika sebidang tanah telah disertifikasi atas nama individu atau badan hukum, yang diperoleh dengan itikad baik dan secara aktual menguasainya, maka pihak lain yang merasa berhak atas hak atas tanah tersebut tidak dapat mengajukan klaim terhadap pelaksanaan haknya jika dalam waktu 5 tahun sejak penerbitan sertipikat hak atas tanah, pihak tersebut tidak mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang sertipikat dan kepada kepala kantor pertanahan atau tidak mengajukan gugatan melalui pengadilan sehubungan dengan penguasaan tanah atau penerbitan sertipikat tanah. Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum bagi pembeli jika 5 tahuntelah berlalu. Namun, ketentuan ini sayangnya sering tidak dipertimbangkan oleh hakim. Oleh karena itu, ketidakpastian di antara para pembeli, khususnya investor, masih terus terjadi. Lebih buruk lagi, banyak sengketa hukum antara penggugat, yang kemungkinan belum memegang sertipikat sebagai bukti mereka, dapat memenangkan gugatan terhadap pembeli atau pemilik tanah yang telah memperoleh sertipikat tanah atas namanya.

Lihat Juga  Pembatalan Penetapan Lokasi dalam Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum

Satu perkembangan positif adalah posisi hakim-hakim Mahkamah Agung sehubungan dengan pembelian tanah yang dibeli dengan itikad baik. Baru-baru ini di tahun 2015, ada dua putusan, yang telah menjadi yurisprudensi, yang mendukung dan melindungi pembeli beritikad baik. Kedua putusan ini berasal dari peradilan umum dan peradilan tata usaha negara.

Intisari dari kedua yurisprudensi ini adalah bahwa pembeli dianggap beritikad baik sepanjang sertipikat tanah telah terdaftar atas nama pembeli, peralihan (jual beli) dibuat di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah dan sesuai peraturan yang berlaku. Pembeli beritikad baik ini harus dilindungi secara hukum dari perspektif hukum perdata, hukum administrasi negara, dan hukum pidana. Hal ini sangat positif bagi semua pembeli/investor tanah atau real estat, dan khususnya sangat penting sehubungan dengan perkembangan peraturan pendaftaran tanah di Indonesia.

Salah satu latar belakang dari kedua putusan tersebut adalah surat edaran dari Mahkamah Agung yang ditujukan kepada semua ketua pengadilan tingkat pertama dan tingkat banding di Indonesia pada tahun 2012, dan kemudian dilanjutkan dengan surat edaran lain pada tahun 2014. Berdasarkan surat edaran tahun 2012, kamar perdata Mahkamah Agung menetapkan bahwa perlindungan harus diberikan bagi pembeli beritikad baik meski kemudian ditemukan bahwa penjual tidak berhak menjual tanah atau real estat tersebut. Pemilik sesungguhnya atau penggugat tanah tersebut hanya dapat mengajukan klaim ganti rugi terhadap penjual dengan dasar bahwa penjual tidak berhak menjual tanah atau real estat. Dengan demikian, pembeli beritikad baik dilindungi secara hukum.

Hal yang penting untuk dicatat, perlindungan tersebut hanya diberikan kepada pembeli beritikad baik. Untuk itu, sangat penting untuk mengerti apa yang dimaksud sebagai “itikad baik”. Kamus Black’s Law mendefinisikan itikad baik sebagai keadaan pikiran meliputi kejujuran dalam keyakinan dan tujuan, kesetiaan seseorang atas tugas dan kewajibannya, melaksanakan standar komersial yang wajar dalam perdagangan atau usaha, atau tidak adanya tujuan untuk mengelabui atau mencari keuntungan yang tidak wajar. Prof. Dr. Siti Ismijati Jeni SH., CH., menjelaskan bahwa itikad baik berasal dari istilah hukum Romawi, yaitu bona fides. Ia menjelaskan lebih lanjut bahwa itikad baik merujuk pada kejujuran dan kepatutan. Di kamus yang sama, bona fidesdiartikan sebagai standar perilaku yang diharapkan pada seseorang, khususnya dalam pembuatan kontrak dan perbuatan-perbuatan serupa, tanpa tujuan untuk menipu atau pembalasan.

Lihat Juga  Reklamasi Dalam Kegiatan Pertambangan Untuk Mencegah Kerusakan Lingkungan Lebih Lanjut

Singkatnya, unsur itikad baik adalah kejujuran, pengertian atas kewajiban sebagai seorang pembeli, adil dalam bisnis, dan tidak mempunyai tujuan amoral. Untuk menyingkatnya lebih jauh, sebagaimana disebutkan oleh Prof Siti, unsur itikad baik adalah kejujuran dan kepatutan.Kedua elemen ini harus dapat dibuktikan agar pembeli dapat dianggap sebagai pembeli beritikad baik.

Surat edaran dan kedua yurisprudensi ini adalah hal yang positif bagi proses peradilan di Indonesia, khususnya untuk memberikan kepastian hukum atas pembelian tanah atau real estat oleh pembeli atau investor. Kepastian ini sangat penting bagi semua pemilik tanah, yang telah memenuhi kedua elemen itikad baik pada saat pembelian dilakukan. Jika kepastian hukum dijaga, maka pertumbuhan ekonomi juga akan lebih mantap.