Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan HutanLatar Belakang

Keberadaan masyarakat yang menguasai tanah di kawasan hutan, memerlukan perhatian tersendiri mengenai kepastian hukum dari pemerintah. Dalam rangka menyelesaikan dan memberikan perlindungan hukum terhadap masyarakat yang menguasai tanah di kawasan hutan, Pemerintah Republik Indonesia mengundangkan Peraturan Presiden Nomor 88 Tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan (“Perpres 88/2017”).

Kawasan Hutan

Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Untuk melakukan penetapan kawasan hutan, menurut Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.44/MENHUT-II/2012 dan P.62/MENHUT-II/2013 tentang Pengukuhan Kawasan Hutan dan perubahannya (“Permenhut”), dilakukan dengan pengukuhan kawasan hutan.

Pengukuhan kawasan hutan adalah rangkaian kegiatan penunjukan, penataan batas dan penetapan kawasan hutan. Berdasarkan Permenhut, penunjukan kawasan hutan dilakukan dengan keputusan menteri kehutanan. Penunjukan kawasan hutan adalah dasar untuk melakukan penataan batas dan penetapan kawasan hutan.

Pemerintah melakukan penyelesaian penguasaan tanah dalam kawasan hutan yang dikuasai dan dimanfaatkan oleh para pihak-pihak. Kawasan hutan yang dimaksud adalah kawasan hutan pada tahap penunjukan kawasan hutan. Penunjukan kawasan hutan adalah penetapan awal peruntukan suatu wilayah tertentu sebagai kawasan hutan

Penyelesaian Penguasaan Tanah

Pemerintah melakukan penyelesaian tanah yang dikuasai dan dimaanfatkan oleh berbagai pihak dalam kawasan hutan. Namun, Perpres 88/2017 menegaskan bahwa kawasan hutan yang dilakukan penyelesaian adalah kawasan hutan yang masih dalam tahap penunjukan kawasan hutan.

Penyelesaian penguasaan tanah dalam Perpres 88/2017 dilakukan terhadap pihak-pihak, sebagai berikut (“Pihak”):

  1. perorangan;
  2. instansi;
  3. badan sosial/keagamaan;
  4. masyarakat hukum adat.

Pemerintah membentuk Tim Percepatan Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan (“Tim P3TKH”), untuk menyelesaikan penguasaan tanah dalam kawasan hutan.

Tim P3TKH berkedudukan di Kementrian Koordinator Bidang Perekonomian dan terdiri dari:

Ketua :

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian

Anggota :

  1. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (“Menteri LHK”);
  2. Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional;
  3. Menteri Dalam Negeri;
  4. Sekretaris Kabinet;
  5. Kepala Staf Kepresidenan.

Kriteria Tanah

Tanah harus memenuhi kriteria untuk dapat dilakukan penyelesaian penguasaan, yaitu jika penguasaan tanah tersebut:

  1. dikuasai secara fisik dengan itikad baik dan secara terbuka;
  2. tidak diganggu gugat; dan
  3. diakui dan dibenarkan oleh masyarakat hukum adat atau kepala desa/kelurahan yang bersangkutan serta diperkuat oleh kesaksian orang yang dapat dipercaya.

Tanah yang dilakukan penyelesaian adalah tanah dalam kawasan hutan yang dimanfaatkan oleh Pihak untuk:

  1. permukiman;
  2. fasilitas umum;
  3. fasilitas sosial;
  4. lahan garapan; dan/atau
  5. hutan adat.
Lihat Juga  Kewajiban Memiliki Izin Kawasan Keselamatan Operasional Penerbangan KKOP Dalam Pembangunan di Kawasan Sekitar Bandar Udara

Pola Penyelesaian Penguasaan Tanah Kawasan Hutan

Pola penyelesaiaan penguasaan tanah dalam kawasan hutan dibagi dalam dua kategori, yaitu (i) setelah tahap penunjukan kawasan hutan, atau (ii) sebelum tahap penunjukan kawasan hutan.

Pola Penyelesaian Sebelum Tahap Penunjukan

Pola penyelesaian penguasaan tanah sebelum tanah tersebut ditunjuk sebagai kawasan hutan, untuk:

  1. tanah yang dikuasai dan dimanfaatkan; dan/atau
  2. tanah yang telah diberikan hak atas tanah,

dilakukan dengan mengeluarkan bidang tanah tersebut dari dalam kawasan hutan melalui perubahan batas kawasan hutan.

Pola Penyelesaian Setelah Tahap Penunjukan Kawasan Hutan

Pola penyelesaian untuk penguasaan tanah setelah tahap penunjukan kawasan hutan, adalah:

  1. mengeluarkan bidang tanah dalam kawasan hutan melalui perubahan batas kawasan hutan;
  2. tukar menukar kawasan hutan;
  3. memberikan akses pengelolaan hutan melalui program perhutanan sosial; atau
  4. melakukan resettlement, yaitu dengan pemindahan penduduk dari kawasan hutan ke luar kawasan hutan.

Pola penyelesaian penguasaan tanah setelah tahap penunjukan kawasan hutan harus memperhitungkan:

  1. luas minimal kawasan hutan yang harus dipertahankan, yaitu 30% dari luas daerah aliran sungai, pulau dan/atau provinsi; dan
  2. fungsi pokok kawasan hutan.

Pola Penyelesaian Untuk Kawasan Hutan Fungsi Pokok Lindung pada Provinsi dengan Luas Kawasan Hutan Kurang atau Sama dari 30%

Berlaku ketentuan:

  1. dalam hal (a) bidang tanah tersebut digunakan untuk permukiman, fasilitas umum dan/atau fasilitas sosial; dan (b) kawasan hutan memenuhi kriteria sebagai hutan lindung, maka penyelesaiannya dilakukan melalui prosedur resettlement;
  2. dalam hal (a) bidang tanah tersebut digunakan untuk permukiman, fasilitas umum dan/atau fasilitas sosial; dan (b) tidak memenuhi kriteria sebagai hutan lindung, maka penyelesaiannya dilakukan melalui tukar menukar kawasan hutan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan;
  3. dalam hal bidang tanah tersebut digunakan untuk lahan garapan, maka penyelesaiannya dilakukan dengan memberikan akses pengelolaan hutan melalui program perhutanan sosial.

Pola Penyelesaian Untuk Kawasan Hutan Fungsi Pokok Lindung pada Provinsi dengan Luas Kawasan Hutan Lebih dari 30%

Berlaku ketentuan:

  1. untuk bidang tanah yang digunakan sebagai permukiman, fasilitas umum dan/atau fasilitas sosial, dan kawasan hutan tersebut memenuhi kriteria sebagai hutan lindung, maka penyelesaiannya dilakukan melalui resettlement;
  2. untuk bidang yang digunakan sebagai permukiman, fasilitas umum dan/atau fasilitas sosial, dan kawasan hutan tersebut tidak memenuhi kriteria sebagai hutan lindung, maka penyelesaiannya dilakukan dengan mengeluarkan bidang tanah dari dalam kawasan hutan melalui perubahan batas kawasan hutan;
  3. untuk bidang tanah yang digunakan sebagai lahan garapan, dan tanah telah dikuasai lebih dari 20 tahun secara berturut-turut, maka penyelesaiannya dilakukan dengan mengeluarkan bidang tanah dari dalam kawasan hutan melalui perubahan batas kawasan hutan;
  4. untuk bidang tanah yang digunakan sebagai lahan garapan, dan telah dikuasai kurang dari 20 tahun secara berturut-turut, maka penyelesaiannya dilakukan dengan memberikan akses pengelolaan hutan melalui program perhutanan sosial.
Lihat Juga  Aspek Hukum Perizinan Perwakilan Entitas Konstruksi Asing di Indonesia

Pola Penyelesaian Untuk Kawasan Hutan Fungsi Pokok Produksi pada Provinsi dengan Luas Kawasan Hutan Kurang atau Sama dari 30%

Berlaku ketentuan:

  1. untuk bidang tanah yang digunakan sebagai permukiman, fasilitas umum dan/atau fasilitas sosial dilakukan melalui tukar menukar kawasan hutan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan atau resettlement;
  2. untuk bidang tanah yang digunakan sebagai lahan garapan, maka penyelesaiannya dilakukan dengan memberikan akses pengelolaan hutan melalui program perhutanan sosial.

Pola Penyelesaian Untuk Kawasan Hutan Fungsi Pokok Produksi pada Provinsi dengan Luas Kawasan Hutan Lebih dari 30%

Berlaku ketentuan:

  1. untuk bidang tanah yang digunakan sebagai permukiman, fasilitas umum dan/atau fasilitas sosial, maka penyelesaiannya dilakukan dengan mengeluarkan bidang tanah dari dalam kawasan hutan melalui perubahan batas kawasan hutan;
  2. untuk bidang tanah yang digunakan sebagai lahan garapan dan telah dikuasai lebih dari 20 tahun secara berturut-turut, maka penyelesaiannya dilakukan dengan mengeluarkan bidang tanah dari dalam kawasan hutan melalui perubahan batas kawasan hutan;
  3. untuk bidang tanah yang digunakan sebagai lahan garapan dan telah dikuasai kurang dari 20 tahun secara berturut-turut, maka penyelesaiannya dilakukan dengan memberikan akses pengelolaan hutan melalui program perhutanan sosial.

Prosedur Penyelesaian Penguasaan Tanah Kawasan Hutan

Prosedur penyelesaian penguasaan tanah dalam kawasan hutan dilakukan berdasarkan tahapan, sebagai berikut:

  1. inventarisasi penguasaan tanah dalam kawasan hutan;
  2. verifikasi penguasaan tanah dan penyampaian rekomendasi;
  3. penetapan pola penyelesaian penguasaan dan pemanfaatan tanah dalam kawasan hutan;
  4. penerbitan keputusan penyelesaian penguasaan dan pemanfaatan tanah dalam kawasan hutan; dan
  5. penerbitan sertipikat hak atas tanah.

Selama prosedur penyelesaian penguasaan tanah berlangsung, maka terdapat larangan:

  1. bagi masyarakat untuk tidak melakukan pendudukan tanah baru dan/atau melakukan perbuatan yang dapat menganggu pelaksanaan penyelesaian penguasaan tanah di dalam kawasan hutan;
  2. bagi instansi pemerintah untuk tidak melakukan pengusiran, penangkapan, penutupan akses terhadap tanah, dan/atau perbuatan yang dapat menganggu pelaksanaan penyelesaian penguasaan tanah di dalam kawasan hutan.

Prosedur Penyelesaian Tanah Kawasan Hutan:

  1. Pihak yang menguasai tanah dalam kawasn hutan mengajukan permohonan inventarisasi dan verifikasi tanah melalui bupati/walikota (“Pemohon”);
  2. Dalam rangka melakukan inventarisasi dan verifikasi penguasaan tanah dalam kawasan hutan, gubernur membentuk Tim Invertarisasi dan Verifikasi (“Tim Inver”);
  3. Tim Inver melaksanakan verifikasi penguasaan tanah. Pelaksanaan inventarisasi dan verifikasi penguasaan tanah, diselesaikan dalam jangka waktu paling lama 6 bulan sejak permohonan dinyatakan lengkap;
  4. Tim Inver menyampaikan rekomendasi penyelesaian penguasaan tanah dalam kawasan hutan kepada gubernur (“Rekomendasi”);
  5. Paling lambat 7 hari setelah gubernur menerima Rekomendasi, gubernur menyampaikan Rekomendasi tersebut kepada Ketua Tim P3TKH, dengan tembusan kepada Menteri LHK;
  6. Ketua Tim P3KTH melakukan koordinasi dan sinkronisasi pelaksanaan Rekomendasi, yang kemudian menghasilkan pertimbangan penyelesaian penguasaan tanah yang berada di dalam kawasan hutan (“Pertimbangan”);
  7. Ketua Tim P3KTH menyerahkan Pertimbangan kepada Menteri LHK;
  8. Menteri LHK memutuskan pola penyelesaian atau penolakan, berdasarkan Pertimbangan, (“Keputusan”);
  9. Dalam hal Keputusan, yaitu dengan tukar menukar kawasan hutan atau resettlement, maka biaya pelaksanaanya menjadi tanggung jawab pemerintah daerah;
  10. Dalam hal Keputusan memutuskan untuk mengeluarkan bidang tanah dalam kawasan hutan dengan perubahan batas kawasan hutan, Menteri LHK menerbitkan surat keputusan perubahan batas kawasan hutan setelah dilakukan penataan batas kawasan hutan (“Keputusan Perubahan Batas”);
  11. Berdasarkan Keputusan, bupati/walikota mengumumkan kepada Pemohon, paling lambat 14 hari kerja sejak Keputusan atau Keputusan Perubahan Batas diterima oleh bupati/walikota (“Pengumuman”);
  12. Pemohon dapat mengajukan keberatan terhadap Keputusan atau Keputusan Perubahan Batas melalui bupati/walikota, paling lambat 30 hari sejak Pengumuman;
  13. Menteri LHK memutuskan apakah menerima atau menolak keberatan Pemohon;
  14. Dalam hal Menteri LHK menerima keberatan pemohon, maka Menteri LHK menyampaikan kepada gubernur untuk melakukan verifikasi ulang;
  15. Keputusan Perubahan Batas menjadi dasar penerbitan sertipikat hak atas tanah atas tanah Pemohon.
Lihat Juga  Sanksi atas Pelanggaran PSBB di DKI Jakarta

Ketentuan Penerima Hak Atas Tanah Dalam Kawasan Hutan

Pemohon yang menerima hak atas tanah dilarang untuk:

  1. menelantarkan tanah;
  2. mengalihkan hak atas tanahnya dalam jangka waktu 10 tahun; dan/atau
  3. mengalih fungsikan tanahnya.

Pengalihan tanah sebelum jangka waktu 10 tahun dan/atau mengalihkan fungsi tanah, hanya dapat dilakukan untuk pemanfaatan lahan bagi pembangunan startegis nasional di bidang:

  1. infrastruktur;
  2. energi;
  3. pangan; dan
  4. pertahanan keamanan.

Dalam hal penerima hak atas tanah meninggal dunia, tanah dapat beralih menjadi milik ahli warisnya dengan ketentuan bahwa tanah tersebut tidak dapat dipecah hak atas tanahnya.


Alam Setya Muchtar, S.H.