Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (“UU Cipta Kerja”) diundangkan pada tanggal 2 November 2020, dan mulai berlaku sejak tanggal diundangkan. UU Cipta Kerja adalah terobosan hukum yang diharapkan dapat menyelesaikan berbagai permasalahan dalam beberapa undang-undang ke dalam satu undang-undang secara komperehensif.

Dalam di bidang real estat, UU Cipta Kerja mengubah sejumlah undang-undang yang ada, antara lain Undang-Undang No. 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun (“UU Rumah Susun”). Di bawah ini adalah beberapa perubahan penting UU Rumah Susun dalam UU Cipta Kerja.

Penyediaan Rumah Susun Umum oleh Pelaku Pembangunan Rumah Susun Komersial

Kewajiban penyediaan rumah susun umum minimal 20% dari total luas lantai rumah susun komersil yang dibangun sebagaimana diatur dalam UU Rumah Susun sebelumnya tetap ada. Namun, kewajiban tersebut dapat dikonversi dalam bentuk dana untuk pembangunan rumah susun umum. Dana tersebut akan dikelola oleh Badan Percepatan Penyelenggaraan Perumahan.

Sebagai catatan, UU Rumah Susun sebelumnya mengatur mengenai Badan Pelaksana yang bertugas untuk mewujudkan penyediaan rumah susun yang layak dan terjangkau bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Berdasarkan UU Cipta Kerja Badan Pelaksana tersebut diubah menjadi Badan Percepatan Penyelenggaraan Perumahan.

Kewajiban Pengesahan Pertelaan

Sebelumnya, UU Rumah Susun mengatur bahwa pelaku pembangunan wajib meminta pengesahan pertelaan dari pemerintah daerah setelah diperolehnya izin rencana fungsi dan pemanfaatan. Namun, di dalam UU Cipta Kerja ketentuan tersebut dihapus. Sehingga, tidak jelas kapan pengembang wajib mengajukan pengesahan pertelaan.

Namun, UU Cipta Kerja tidak mengubah ketentuan dalam UU Rumah Susun yang mengatur bahwa kewajiban pelaku pembangunan untuk memperoleh pengesahan pertelaan oleh pemerintah daerah apabila apabila pelaku pembangunan memasarkan rumah susun sebelum pembangunan rumah susun.

Lihat Juga  Podcast on Real Estate Law – Permodalan

Persetujuan Pembangunan dan Standar Pembangunan Rumah Susun

Standar pembangunan rumah susun adalah persyaratan administratif, teknis dan ekologis. Standar pembangunan rumah susun akan diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah.

Salah satu persyaratan administratif berupa Izin Mendirikan Bangunan diganti dengan Persetujuan Bangunan Gedung. Hal ini merujuk pada perubahan yang dilakukan oleh UU Cipta Kerja terhadap Undang-Undang No. 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung yang juga diubah dalam UU Cipta Kerja.

Gambar dan Uraian Rumah Susun

Gambar dan uraian rumah susun tetap wajib dibuat sebelum pelaksanaan pembangunan rumah susun. Namun, UU Cipta Kerja menghapus ketentuan dalam UU Rumah Susun yang mengatur bahwa gambar dan uraian sebagai dasar untuk menetapkan nilai perbandingan proporsional (NPP), sertifikat hak milik sarusun (“SHM Sarusun”) sertifikat kepemilikan bangunang gedung sarusun, dan perjanjian pengikatan jual beli.

Penerbitan Perizinan oleh Pemerintah Daerah

Berbeda dengan pengaturan UU Rumah Susun sebelumnya, di dalam UU Cipta Kerja diatur bahwa penerbitan perizinan terkait dengan rumah susun oleh pemerintah daerah, seperti (i) pengesahan gambar dan uraian, (ii) sertifikat laik fungsi, (iii) rencana fungsi dan pemanfaatan maupun perubahannya, dan (iv) perizinan berusaha pengelola rumah susun, wajib dilakukan sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh pemerintah pusat.

Satuan Rumah Susun untuk Orang Asing

UU Rumah Susun mengatur bahwa rumah susun dapat dibangun di atas tanah (a) hak milik, (b) hak guna bangunan atau hak pakai atas tanah negara, dan (c) hak guna bangunan atau hak pakai di atas hak pengelolaan. Selain itu, UU Rumah Susun juga mengatur bahwa SHM Sarusun diterbitkan bagi setiap orang yang memenuhi syarat sebagai pemegang hak atas tanah. Ketentuan-ketentuan tersebut tidak diubah dalam UU Cipta Kerja.

Lihat Juga  Hukum Agraria - Penolakan PPAT & Kepala Kantor Pertanahan

Namun, di luar perubahan UU Rumah Susun dalam UU Cipta Kerja, UU Cipta Kerja mengatur ketentuan mengenai satuan rumah susun untuk orang asing, dimana hak milik atas satuan rumah susun dapat diberikan kepada:

  1. warga negara Indonesia;
  2. badan hukum Indonesia;
  3. warga negara asing yang mempunyai izin sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan;
  4. badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia; atau
  5. perwakilan negara asing dan lembaga internasional yang berada atau mempunyai perwakilan di Indonesia.

Selain itu, UU Cipta Kerja juga mengatur bahwa rumah susun dapat dibangun di atas tanah (a) hak guna bangunan atau hak pakai di atas tanah negara; atau (b) hak guna bangunan atau hak pakai di atas tanah hak pengelolaan.

Jika membaca ketentuan-ketentuan UU Rumah Susun dan UU Cipta Kerja sebagaimana diuraikan di atas, dapat dipahami bahwa pada prinsipnya pengaturan mengenai hak milik atas satuan rumah susun untuk orang asing tetap saja sama. Artinya, jika orang asing ingin memiliki hak milik atas satuan rumah susun, maka rumah susun tersebut harus dibangun di atas tanah dengan hak pakai.

Sanksi

Terdapat perubahan mengenai sanksi pidana, dimana pelanggaran oleh (i) pelaku pembangunan dalam membuat perjanjian pengikatan jual beli yang tidak sesuai dengan yang dipasarkan atau sebelum memenuhi persyaratan kepastian dalam UU Rumah Susun, (ii) setiap orang yang membangun rumah susun di luar lokasi yang ditetapkan, dan (iii) setiap orang yang mengubah peruntukan lokasi rumah susun yang sudah ditetapkan atau mengubah fungsi dan pemanfaatan rumah susun, tidak lagi dikenakan sanksi pidana, melainkan hanya sanksi administratif.

Namun, jika pelanggaran pada poin (iii) di atas menimbulkan korban manusia atau kerusakan barang, maka pelaku dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun atau denda paling banyak Rp250.000.000. Lebih lanjut, UU Cipta Kerja juga menghapus ketentuan dalam UU Rumah Susun yang sebelumnya mengatur bahwa pengenaan sanksi administratif tidak menghilangkan tanggung jawab pidana.

Aditya Putera John Muchtar