Tidak banyak yang sadar atau sadar namun tidak mengerti atau sulit menerima, mengenai konsep tanah telantar berdasarkan hukum pertanahan Indonesia. “Bagaimana tanah saya bisa dicabut oleh pemerintah?”; “Bagaimana mungkin pemerintah menegur saya untuk menggunakan tanah saya yang belum dimanfaatkan?”; “Mengapa pemerintah begitu keras tentang bagaimana saya menggunakan tanah saya? Pokoknya, tanah itu milik saya, saya adalah pemiliknya yang sah.” Itulah beberapa pertanyaan dan peryataan keberatan yang diajukan ketika kantor pertanahan mengirimkan surat-surat peringatan kepada pemilik tanah yang menyatakan bahwa pemilik tanah telah menelantarkan tanah dan meminta mereka untuk segera menggunakannya sesuai tujuannya.

Meskipun ada berbagai perbedaan dalam pelaksanaannya, bahwa hak atas tanah hapus ketika ditelantarkan telah ditetapkan sejak awal. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria mengatur bahwa hak atas tanah dimaksud termasuk hak milik, hak guna usaha, dan hak guna bangunan. Selanjutnya, hak guna usaha, hak pengelolaan (bukan hak atas tanah), dan tanah apa pun yang dikuasai meskipun tidak dimiliki, selama tanah tersebut sengaja tidak digunakan sesuai dengan tujuannya, ditambahkan sebagai bagian dari tanah (hak) yang dapat dianggap sebagai tanah telantar. Larangan tanah telantar erat kaitannya dengan prinsip fungsi sosial tanah. UU Pokok Agraria menganggap prinsip ini sebagai sesuatu yang penting.  Undang-undang menetapkan bahwa semua hak atas tanah memiliki fungsi sosial. Dengan demikian, adalah kewajiban setiap subjek yang memiliki tanah agar tanahnya tidak hanya digunakan (atau tidak digunakan) untuk kebaikan atau kepuasan subjek itu sendiri tetapi juga untuk kebaikan atau kepuasan rakyat. Fungsi sosial ini berasal dari komunalisme dibandingkan individualisme. Dalam konteks modern, di mana individualisme adalah aliran yang lebih kuat dari komunalisme, apa yang disebut prinsip fungsi sosial ini mungkin tampak aneh dan tidak pada tempatnya. Hukum pertanahan Indonesia merupakan keseimbangan dari dua kutub ini.

Lihat Juga  Leks&Co - Flowchart Pembentukan P3SRS

Pasca UU Cipta Kerja pada akhir 2020, fungsi sosial hak atas tanah diperluas. Tidak hanya tidak diizinkan untuk menelantarkan tanah, jika seseorang menelantarkan kawasan yang mereka miliki hal itu juga secara hukum (dan sosial) dianggap salah. Kawasan telantar didefinisikan sebagai kawasan non-hutan yang belum dilekati dengan hak atas tanah tapi sudah mendapatkan izin atau konsesi atau izin usaha, yang sengaja tidak diusahakan, tidak digunakan, dan/atau tidak dimanfaatkan. Sebelum UU Cipta Kerja, Undang-Undang Pokok Agraria hanya berfokus pada tanah telantar. Sekarang, ditambahkan kawasan telantar sebagai bagian dari ketentuan yang diatur. UU Cipta Kerja menetapkan bahwa hak, izin, atau konsesi atas tanah dan/atau kawasan yang dengan sengaja tidak dimanfaatkan atau ditelantarkan dalam jangka waktu 2 tahun paling lama sejak diberikan, dicabut, dan dikembalikan kepada negara. Pemerintah pusat dapat menetapkan bahwa (dicabut dan dikembalikan) hak, izin, atau konsesi sebagai aset Bank Tanah. Ini juga merupakan lembaga baru yang dibuat berdasarkan UU Cipta Kerja. Peraturan tersebut menetapkan bahwa objek kawasan telantar adalah pertambangan, perkebunan, industri, pariwisata, hunian skala besar atau daerah lainnya. Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa peraturan tersebut memiliki yurisdiksi yang luas dalam hal kawasan telantar.

Mengapa pemerintah memperluas tanah telantar ke kawasan telantar? Ketika yang dahulu (pengaturan tanah telantar) belum efektif dilaksanakan, seperti yang diakui pemerintah, mengapa menetapkan langkah-langkah yang lebih ketat? Alasan itu dapat ditemukan dalam penjelasan Peraturan Pemerintah mengenai masalah tersebut. Adalah fakta, jelas pemerintah, bahwa ada cukup banyak kawasan telantar. Pemerintah menilai, jika kawasan-kawasan telantar ini tidak diurus, kesenjangan sosial dan ekonomi serta menurunnya kualitas lingkungan akan menjadi lebih tinggi. Penjelasan yang sangat singkat, meskipun efeknya kuat bagi pemilik tanah dan pengusaha. Seseorang harus menyadari bahwa ketentuan singkat ini diatur berdasarkan norma hukum dalam UU Cipta Kerja. Oleh karena itu, ketentuan tersebut setara dengan UU Pokok Agraria. Dengan demikian, mulai dari 2020, ketika seseorang membahas mengenai tanah telantarpembahasan tersebut akan meliputi kawasan telantar.

Lihat Juga  Pemanfaatan Tanah Kas Desa Melalui Skema Bangun Guna Serah

Pasca UU Cipta Kerja, pengusaha mau tidak mau perlu mengubah pendekatan terhadap rencana bisnis mereka. Memperoleh tanah sangat luas atau mendapatkan perizinan penting, memperoleh konsesi untuk memiliki atau mendapatkan tanah, dan kemudian perlahan-lahan secara bertahap mengembangkannya, menempatkan jumlah tertentu sebagai cadangan, mungkin tidak dapat dilakukan lagi. Setiap pengembangan harus direncanakan secara rinci dengan kerangka waktu yang pasti. Mungkin lebih bijaksana tidak berfokus pada cadangan (tanah) tetapi lebih pada aktivitas aktual. Dua tahun adalah aturan utama yang harus diingat seorang pengusaha karena dalam waktu dua tahun setelah hak atau lisensi atau konsesi diperoleh, kegiatan pengusahaan di atas tanah atau yang berkenaan dengan perizinan suatu kawasan harus dimulai.

Eddy Leks