PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2021
TENTANG
PENERTIBAN KAWASAN DAN TANAH TELANTAR

UMUM

Tanah adalah modal dasar dalam pembangunan guna meningkatkan kesejahteraan bagi rakyat, bangsa, dan negara Indonesia. Oleh karena itu, tanah harus diusahakan, dimanfaatkan, dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Tanah yang telah dikuasai dan/atau dimiliki baik yang sudah ada Hak Atas Tanah-nya maupun yang baru berdasarkan perolehan tanah masih banyak dalam keadaan telantar, sehingga cita-cita luhur untuk meningkatkan kemakmuran rakyat tidak optimal. Mencermati kondisi tersebut, perlu dilakukan penataan kembali untuk mewujudkan tanah sebagai sumber kesejahteraan rakyat dan untuk mewujudkan kehidupan yang lebih berkeadilan, menjamin keberlanjutan sistem kemasyarakatan dan kebangsaan Indonesia serta memperkuat harmoni sosial. Selain itu, optimalisasi pengusahaan, penggunaan, pemanfaatan, dan pemeliharaan semua tanah di wilayah Indonesia diperlukan untuk meningkatkan kualitas lingkungan hidup, mengurangi kemiskinan, dan menciptakan lapangan kerja serta untuk meningkatkan ketahanan pangan dan energi.

Dalam rangka mempertahankan kualitas tanah dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, para Pemegang Hak, Pemegang Hak Pengelolaan, dan Pemegang Dasar Penguasaan Atas Tanah, diharapkan dapat menjaga dan memelihara tanahnya serta tidak melakukan penelantaran. Oleh karena itu, perlu adanya pengaturan mengenai penertiban dan pendayagunaan Tanah Telantar. Dalam kenyataan dewasa ini, penelantaran tanah semakin menimbulkan kesenjangan sosial, ekonomi, dan kesejahteraan rakyat serta menurunkan kualitas lingkungan. Penelantaran tanah juga berdampak pada terhambatnya pencapaian berbagai tujuan program pembangunan, rentannya ketahanan pangan dan ketahanan ekonomi nasional serta tertutupnya akses sosial-ekonomi masyarakat khususnya petani pada tanah.

Negara memberikan Hak Atas Tanah kepada Pemegang Hak untuk diusahakan, dipergunakan, dan dimanfaatkan serta dipelihara dengan baik. Hal ini selain bertujuan untuk kesejahteraan bagi Pemegang Hak-nya juga ditujukan untuk kesejahteraan masyarakat, bangsa, dan negara. Pada saat negara memberikan hak kepada seseorang atau badan hukum, selalu diiringi kewajiban-kewajiban yang ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) dan surat keputusan pemberian haknya. Dengan demikian, Pemegang Hak dilarang menelantarkan tanahnya. Dalam hal Pemegang Hak menelantarkan tanahnya, UUPA telah mengatur akibat hukumnya, yaitu hapusnya Hak Atas Tanah yang bersangkutan dan pemutusan hubungan hukum serta ditegaskan sebagai tanah yang dikuasai langsung oleh negara. Bagi tanah yang belum ada Hak Atas Tanah-nya, tetapi sudah ada dasar penguasaannya, penggunaan atas tanah tersebut harus dilandasi dengan sesuatu Hak Atas Tanah sesuai ketentuan Pasal 4 juncto Pasal 16 UUPA. Oleh karena itu, orang atau badan hukum yang telah memperoleh dasar penguasaan atas tanah, baik dengan pelepasan tanah itu dari hak orang lain, karena memperoleh Izin lokasi, atau memperoleh keputusan pelepasan kawasan hutan, berkewajiban untuk memelihara tanahnya, mengusahakannya dengan baik, tidak menelantarkannya serta mengajukan permohonan untuk mendapatkan Hak Atas Tanah. Meskipun yang bersangkutan belum mendapat Hak Atas Tanah, apabila menelantarkan tanahnya maka hubungan hukum yang bersangkutan dengan tanahnya akan dihapuskan dan ditegaskan sebagai tanah yang dikuasai langsung oleh negara.

Lihat Juga  Pengalihan Apartment

Berdasarkan penjelasan di atas, penelantaran tanah harus dicegah dan ditertibkan untuk mengurangi atau menghapus dampak negatifnya. Dengan demikian, pencegahan, penertiban, dan pendayagunaan Tanah Telantar merupakan langkah dan prasyarat penting untuk menjalankan program-program pembangunan nasional, terutama di bidang agraria yang telah diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, UUPA, serta Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional.

Dalam rangka untuk menertibkan Tanah Telantar, pada masa awal reformasi telah diterbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998 tentang Penerbitan dan Pendayagunaan Tanah Telantar, yang ditindaklanjuti dengan Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 24 Tahun 2002 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Telantar.

Namun demikian, dalam pelaksanaannya, peraturan-peraturan tersebut belum dapat dijalankan dengan efektif karena banyak hal yang tidak dapat lagi dijadikan sebagai acuan dalam penyelesaian penertiban dan pendayagunaan Tanah Telantar sehingga kemudian digantikan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Telantar.

Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Telantar terbit pada tanggal 22 Januari 2010 dan telah ditindaklanjuti dengan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penertiban Tanah Telantar juncto Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penertiban Tanah Telantar, dan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pendayagunaan Tanah Negara Bekas Tanah Telantar.

Dalam perjalanannya, Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Telantar dinilai belum efektif dalam mengakomodasi permasalahan-permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan penertiban dan pendayagunaan Tanah Telantar. Permasalahan-permasalahan tersebut di antaranya berkaitan dengan objek, jangka waktu peringatan, tata cara untuk mengeluarkan tanah-tanah yang sudah dimanfaatkan dari basis data tanah terindikasi telantar, dan sebagainya.

Lihat Juga  UUPA - Hak Pengelolaan

Seiring dengan dinamika pembangunan nasional, selain Tanah Telantar, saat ini berdasarkan fakta di lapangan juga terdapat cukup banyak Kawasan Telantar. Kawasan Telantar tersebut yaitu kawasan nonkawasan hutan yang belum dilekati Hak Atas Tanah yang telah memiliki Izin/Konsesi/Perizinan Berusaha, yang sengaja tidak diusahakan, tidak dipergunakan, dan/atau tidak dimanfaatkan.

Apabila tidak segera ditangani, penelantaran kawasan dapat mengakibatkan semakin tingginya kesenjangan sosial dan ekonomi serta semakin menurunnya kualitas lingkungan. Oleh karena itu, diperlukan adanya suatu pengaturan untuk mengantisipasi atau meminimalisasi dampak negatif dari penelantaran kawasan.

Selain didasarkan pada kondisi sebagaimana dijelaskan di atas, pengaturan terhadap Kawasan Telantar dan Tanah Telantar dimaksudkan pula untuk melaksanakan amanat dari Pasal 180 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.