Infrastruktur adalah salah satu program penting pemerintah pusat. Infrastruktur juga telah ditetapkan secara resmi sebagai program prioritas kedua dalam pemerintahan kedua Presiden Jokowi, setelah pengembangan sumber daya manusia. Oleh karena itu tentunya proyek konstruksi diharapkan akan tetap berjalan meski di tengah pandemi yang belum kunjung usai.
Tentu banyak peraturan terkait proyek infrastruktur untuk kepentingan umum. Namun yang paling mendasar adalah undang-undang pengadaan tanah bagi kepentingan umum (UU Pengadaan Tanah) yang diundangkan di tahun 2012. Melalui UU Cipta Kerja telah terjadi beberapa perubahan kunci terhadap UU Pengadaan Tanah.
Pertama, untuk membereskan persoalan status tanah yang terpengaruh dalam rencana pengadaan tanah, diatur bahwa ketika objek tanah berada dalam kawasan hutan, tanah kas desa, tanah wakaf, tanah ulayat/adat, dan/atau tanah aset pemerintah pusat, pemerintah daerah, BUMN/D, penyelesaian statusnya harus diselesaikan sampai dengan penetapan lokasi (penlok). Hanya mekanisme pemberesan kawasan hutan yang diatur, yaitu melalui pelepasan atau pinjam pakai kawasan hutan.
Kedua, terdapat penambahan 6 proyek pembangunan yang berkaitan dengan pengadaan tanah untuk kepentingan umum, yaitu kawasan industri hulu dan hilir minyak dan gas, kawasan ekonomi khusus, kawasan industri, kawasan pariwisata, kawasan ketahanan pangan, dan kawasan pengembangan teknologi, seluruhnya dengan syarat diprakarsai dan/atau dikuasai oleh pemerintah pusat, daerah, atau BUMN/D. Penambahan ini menunjukkan cakupan proyek pengadaan tanah menjadi lebih luas dari sebelumnya.
Ketiga, dalam rangka efisiensi dan efektivitas, pengadaan tanah yang luasnya tidak lebih dari 5 hektar dapat dilakukan langsung oleh instansi yang memerlukan tanah dengan pihak yang berhak (pemilik atau yang menguasai tanah). Ketentuan ini bukanlah ketentuan yang sepenuhnya baru karena sebelumnya sudah diatur di aturan pelaksanaan. Ketentuan ini adalah pilihan, pihak yang memerlukan tanah bisa memilih apakah akan menundukkan diri pada aturan pengadaan tanah atau hanya merujuk pada kesepakatan biasa sesuai hukum perdata. Jika pihak yang memerlukan tanah tetap menundukkan diri pada aturan pengadaan tanah, maka bupati/walikota akan menerbitkan penlok.
Keempat, setelah penlok dilakukan ada lima syarat yang tidak lagi diperlukan, yaitu kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang, pertimbangan teknis, analisis mengenai dampak lingkungan hidup, di luar kawasan hutan dan kawasan pertambangan, di luar kawasan gambut/sempadan pantai. Kelima syarat ini menunjukkan kokohnya ‘kekuatan’ penlok yang telah terbit. Penlok tersebut sudah dianggap meliputi 5 syarat tersebut sehingga tidak lagi diperlukan pemenuhan syarat terpisah selain penerbitan penlok. Salah satu pengecualian ini juga dapat dilihat pada ketentuan undang-undang perumahan yang mensyaratkan penlok atau kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang jika hendak mengadakan tanah untuk kepentingan umum.
Kelima, jangka waktu pengadaan tanah diubah menjadi 3 tahun dan dapat diperpanjang untuk 1 tahun. Sebelumnya jangka waktu yang diizinkan adalah 2 tahun dan dapat diperpanjang untuk 1 tahun. Permohonan perpanjangan waktu penlok disampaikan paling singkat 6 bulan sebelum masa berlaku penlok berakhir.
Keenam, pengumpulan data terhadap pihak-pihak yang berhak atas tanah tidak lagi merujuk pada kantor pertanahan tapi juga dapat dilakukan oleh penyurvei berlisensi. Ketentuan ini bisa positif bisa juga negatif mengingat peran kantor pertanahan besar sekali dalam proses pengadaan tanah. Peran penyurvei berlisensi harus dibatasi hanya untuk pengumpulan data (inventarisasi dan identifikasi) tapi peran pengolahan data sepatutnya tetap dilakukan oleh kantor pertanahan.
Ketujuh, pengaturan bahwa nilai ganti kerugian yang dinilai oleh penilai bersifat final dan mengikat. Ketentuan ini bersifat tegas agar proses pengadaan tanah bisa tetap dijalankan tanpa negosiasi atau keberatan terhadap nilai yang ditetapkan, tanpa meniadakan hak pihak yang berhak untuk mengajukan upaya hukum terhadap nilai ganti kerugian yang ditetapkan tersebut melalui peradilan umum.
Kedelapan, perubahan penjelasan norma hukum yang mengatur siapa yang dapat disebut sebagai ‘pihak yang berhak’, yaitu salah satunya ‘pihak yang menguasai tanah negara dengan iktikad baik’. Suatu pihak dikatakan menguasai tanah negara dengan iktikad baik jika (i) penguasaan tanah diakui oleh peraturan perundang-undangan (ii) tidak ada keberatan dari masyarakat hukum adat, kelurahan/desa atau yang disebut dengan nama lain, atau pihak lain atas penguasaan tanah baik sebelum maupun selama pengumuman berlangsung, dan (iii) penguasaan dibuktikan dengan kesaksian dari 2 orang saksi yang dapat dipercaya.
Kesembilan, pengaturan batasan maksimal ditetapkannya penitipan ganti kerugian (konsinyasi) oleh pengadilan negeri, yaitu 14 hari setelah diajukan, jika pihak yang berhak menolak bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian. Ketentuan ini memberikan kejelasan waktu terhadap kapan pelepasan hak atas tanah dianggap terjadi dan kembalinya status tanah yang dibebaskan menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh negara.
Perubahan dari UU Pengadaan Tanah tampaknya adalah hasil dari apa yang dipelajari oleh pemerintah dan berbagai permasalahan yang dihadapi selama 9 tahun terakhir terkait pengadaan tanah. Melalui UU Cipta Kerja, berbagai permasalahan yang ditemukan tersebut diterjemahkan dalam ketentuan-ketentuan yang mengubah norma hukum lama. Perubahan tersebut tentu dilakukan agar proses pengadaan tanah ke depan berjalan lebih mulu, cepat, dan tanpa banyak hambatan berarti. Amandemen UU Pengadaan Tanah juga menunjukkan secara gamblang bahwa pemerintah pusat fokus pada proyek-proyek infrastuktur, sebagai program prioritas kedua Presiden.
—oo00oo—
Eddy Leks