Artikel

Rangkuman Peraturan Menteri Perumahan Rakyat Nomor 06/PERMEN/M/2009 Tentang Pendelegasian Wewenang Pemberian Izin Usaha Di Bidang Perumahan Dalam Rangka Pelaksanaan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Di Bidang Penanaman Modal Kepada Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal

Latar Belakang

Tujuan ditetapkannya Permenpera No. 06 adalah untuk melaksanakan ketentuan Pasal 7 ayat (2) dan ayat (3) Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009 tentang Pelayanan Terpadu Satu Pintu Di Bidang Penanaman Modal.

Isi Permenpera No.06

Pemerintah mendelegasikan kewenangan pemberian izin usaha di bidang perumahan dalam rangka penanaman modal kepada Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal dengan hak substitusi (Pasal 1 ayat (1) Permenpera No. 06). Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal memberikan izin usaha bertindak untuk dan atas nama Menteri yang membidangi perumahan rakyat (Pasal 2 Permenpera No. 06).

Kewenangan yang didelegasikan kepada Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal disebutkan pada Pasal 1 ayat (2) Permenpera No. 06 ini adalah sebagai berikut:

Usaha di bidang perumahan yang di dalamnya terdapat modal asing;
Usaha di bidang perumahan yang menjadi kewenangan Pemerintah.
Pada Pasal 3 Permenpera No. 06 diatur mengenai tugas Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 1 dan Pasal 2 Permenpera No. 06 ini:

Berpedoman pada Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup dan Bidang Usaha Yang Terbuka dengan persyaratan di bidang penanaman modal serta tata cara perizinan yang dikeluarkan oleh Menteri yang membidangi perumahan rakyat;
Dalam pelaksanaan pemberian izin usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dan Pasal 2 bilamana diperlukan penjelasan teknis lebih lanjut dapat menghubungi eselon I Kementerian Perumahan Rakyat yang terkait dengan bidangnya;
Menyampaikan tembusan izin usaha yang dikeluarkan kepada Menteri yang membidangi perumahan rakyat;
Menyampaikan laporan sekurang-kurangnya sekali dalam setahun kepada Menteri yang membidangi perumahan rakyat.

read more

Pembuktian Hak Lama pada Pendaftaran Tanah

Pasal 24 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (“PP No. 24/1997”) mengatur bahwa, untuk keperluan pendaftaran hak atas tanah yang berasal dari konversi hak-hak lama, dibuktikan dengan alat-alat bukti mengenai adanya hak tersebut berupa bukti-bukti tertulis, keterangan saksi dan atau pernyataan yang bersangkutan yang kadar kebenarannya oleh Panitia Ajudikasi dalam pendaftaran tanah secara sistematik atau oleh Kepala Kantor Pertanahan dalam pendaftaran tanah secara sporadik, dianggap cukup untuk memenuhi syarat mendaftar hak, pemegang hak dan hak-hak pihak lain yang membebaninya.

Permohonan tersebut harus disertai bukti kepemilikan/ dokumen asli yang membuktikan adanya hak yang bersangkutan. Alat-alat bukti yang dimaksudkan tersebut dapat berupa:

1. grosse akta hak eigendom yang diterbitkan berdasarkan Overschrijvings Ordonatie (S.1834-27), yang telah dibubuhi cacatan, bahwa hak eigendom yang bersangkutan dikonversi menjadi hak milik; atau

2. grosse akta hak eigendom yang diterbitkan berdasarkan Overschrijvings Ordonatie (S.1834-27) sejak berlakunya UUPA sampai tanggal pendaftaran tanah dilaksanakan menurut Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 di daerah yang bersangkutan; atau

3. surat bukti hak milik yang diterbitkan berdasarkan Peraturan Swapraja yang bersangkutan; atau

4. sertifikat hak milik yang diterbitkan berdasarkan Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 1959; atau

5. sertifikat hak milik dari Pejabat yang berwenang, baik sebelum ataupun sejak berlakunya UUPA, yang tidak disertai kewajiban untuk mendaftarkan hak yang diberikan, tetapi telah dipenuhi semua kewajiban yang disebut di dalamnya; atau

6. akta pemindahan hak yang dibuat di bawah tangan yang dibubuhi tanda kesaksian oleh Kepala Adat/Kepala Desa/Kelurahan yang dibuat sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini; atau

7. akta pemindahan hak atas tanah yang dibuat oleh PPAT, yang tanah-nya belum dibukukan; atau

8. akta ikrar wakaf/surat ikrar wakaf yang dibuat sebelum atau sejak mulai dilaksanakan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977; atau

9. risalah lelang yang dibuat oleh Pejabat Lelang yang berwenang, yang tanahnya belum dibukukan; atau

10. surat penunjukan atau pembelian kaveling tanah pengganti tanah yang diambil oleh Pemerintah atu Pemerintah Daerah; atau

11. petuk Pajak Bumi/Landrete, girik, pipil, kekitir dan Verponding Indonesia sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961; atau

12. surat keterangan riwayat tanah yang pernah dibuat oleh Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan; atau

13. lain-lain bentuk alat pembuktian tertulis dengan nama apapun juga sebagaimana dimaksud dalam Pasal II, VI dan VII Ketentuan-ketentuan Konversi UUPA.

Jika, bukti tertulis kepemilikan sebidang tanah tersebut tidak lengkap atau tidak ada lagi, pembuktian kepemilikan itu dapat dilakukan dengan keterangan saksi atau pernyataan yang bersangkutan yang dapat dipercaya kebenarannya menurut pendapat Panitia Adjudikasi atau oleh Kepala Kantor Pertanahan. Yang dimaksud dengan saksi adalah orang yang cakap memberi kesaksian dan mengetahui kepemilikan tersebut.

Dalam hal tidak atau tidak tersedianya secara lengkap alat-alat pembuktian di atas, maka Pasal 24 ayat (2) PP No. 24/1997, memberi jalan keluar dengan mengganti ketidaksediaan bukti kepemilikan sebidang tanah tersebut dengan bukti penguasaan fisik atas tanah yang bersangkutan selama 20 (dua puluh) tahun atau lebih secara berturut-turut oleh pemohon pendaftaran dan pendahulu-pendahulunya, dengan syarat:

a. bahwa penguasaan dan penggunaan tanah yang bersangkutan dilakukan secara nyata dan dengan itikad baik selama 20 tahun atau lebih secara berturut-turut;

b. bahwa kenyataan penguasaan dan penggunaan tanah tersebut selama itu tidak digangu gugat dan karena itu dianggap diakui dan dibenarkan oleh masyarakat hukum adat atau desa/kelurahan yang bersangkutan;

c. bahwa hal-hal tersebut diperkuat oleh kesaksian orang-orang yang dapat dipercaya;

d. bahwa telah diberikan kesempatan kepada pihak lain untuk mengajukan keberatan melalui pengumuman;

e. bahwa telah diadakan penelitian juga mengenai kebenaran hal-hal yang disebutkan di atas;

f. bahwa akhirnya kesimpulan mengenai status tanah dan pemegang haknya dituangkan dalam keputusan berupa pengakuan hak yang bersangkutan oleh Panitia Ajudikasi dalam pendaftaran tanah secara sistematik dan oleh Kepala Kantor Pertanahan dalam pendaftaran tanah secara sporadik;

Ketentuan Pasal 76 ayat (3) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (“Permenag/Ka.BPN No. 3/1997”) mengatur lebih lanjut mengenai bukti-bukti mengenai kepemilikan tanah yang tidak tersedia tersebut, sesuai yang tercantum pada Pasal 24 ayat (2) PP No. 24/1997. Permohonan yang diajukan tersebut harus disertai:

1.) surat pernyataan dari pemohon yang menyatakan hal-hal sebagai berikut:

a. bahwa pemohon telah menguasai secara nyata tanah yang bersangkutan selama 20 tahun atau lebih secara berturut-turut, atau telah memperoleh penguasaan itu dari pihak atau pihak-pihak lain yang telah menguasainya, sehingga waktu penguasaan pemohon dan pendahulunya tersebut berjumlah 20 tahun atau lebih.

b. bahwa penguasaan tanah itu telah dilakukan dengan itikad baik;

c. bahwa penguasaan itu tidak pernah digangu gugat dan karena itu dianggap diakui dan dibenarkan oleh masyarakat hukum adat atau desa/kelurahan yang bersangkutan;

d. bahwa tanah tersebut sekarang tidak memuat hal-hal yang tidak sesuai dengan kenyataan, penandatangan bersedia dituntut di muka Hakim secara pidana maupun perdata jika memberikan keterangan palsu;

2.) Keterangan dari Kepala Desa/Lurah yang biasanya disebut Surat Keterangan Tanah (“SKT”) dan sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi yang kesaksiannya dapat dipercaya, karena fungsinya sebagai tetua adat setempat dan/atau penduduk yang sudah lama bertinggal di desa/kelurahan letak tanah yang bersangkutan dan tidak mempunyai hubungan keluarga pemohon sampai derajat kedua baik dalam kekerabatan vertikal maupun horizontal, yang membenarkan apa yang dinyatakan oleh pemohon dalam surat pernyataan di atas.

Pembuktian hak-hak lama ini biasanya dilakukan oleh kelompok-kelompok masyarakat yang belum pernah tersentuh administrasi dan hukum pertanahan yang modern. Setelah bukti penguasaan fisik tersebut dilampirkan dalam permohonan hak atas tanah, lalu dilakukan pemeriksaan terhadap tanah sebagai bagian dari proses pendaftaran tanah, maka akan jelas bahwa pemegang hak maupun tanahnya telah terdaftar dan pemegang hak tersebut mempunyai hubungan hukum dengan tanahnya. Bukti bahwa pemegang hak berhak atas tanahnya adalah pemberian tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat yang dinamakan sertifikat tanah. Dengan adanya pendaftaran tanah dan penerbitan sertifikat tersebut, maka tercapailah kepastian hukum.

Sofie Widyana P.

read more

Ajudikasi Pendaftaran Tanah

Pengertian ajudikasi menurut Pasal 1 angka 8 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (“PP No 24/1997”) adalah “kegiatan yang dilaksanakan dalam rangka proses pendaftaran tanah untuk pertama kali, meliputi pengumpulan dan penetapan kebenaran data fisik dan data yuridis mengenai satu atau beberapa obyek pendaftaran tanah untuk keperluan pendaftarannya”. Kegiatan ajudikasi pendaftaran tanah tersebut merupakan prosedur khusus yang dilakukan untuk pemberian status hukum atas bagian-bagian tanah kepada pemilik yang benar-benar berwenang.

Pada pelaksanaan pendaftaran tanah secara sistematik, yang pada umumnya bersifat masal dan besar-besaran, maka untuk melaksanakannya Kepala Kantor Pertanahan dibantu oleh Panitia Ajudikasi yang dibentuk khusus untuk itu oleh Menteri atau Pejabat yang ditunjuk, sehingga dengan demikian tugas rutin Kantor Pertanahan tidak terganggu.

Dalam melaksanakan tugasnya, Panitia Ajudikasi dibantu oleh satuan tugas pengukuran dan pemetaan, satuan tugas pengumpul data yuridis dan satuan tugas administrasi yang tugas, susunan dan kegiatannya diatur Menteri.

Pada intinya tugas ajudikasi ini adalah tugas investigasi yang meneliti dan mencari kebenaran formal bukti, yakni data-data yuridis awal yang dimiliki pemegang hak atas tanah, dan tugas justifikasi, yaitu membuat penetapan dan pengesahan bukti yang sudah diteliti tersebut.

Walaupun tugas ajudikasi ini sebenarnya adalah tugas lembaga peradilan yaitu memberikan keputusan atau putusan, akan tetapi, dalam pendaftaran tanah tugas ajudikasi tersebut diberikan kepada pemerintah selaku eksekutif.

Kegiatan ajudikasi pendaftaran tanah ini, jika dilakukan dengan sungguh-sungguh akan sangat mendukung dalam percepatan pendaftaran tanah dan dapat menjamin kepastian hukum.

Sofie Widyana P.

read more

Aspek Hukum Kepemilikan Kios Pada Pertokoan dan Mal Berdasarkan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2011 Tentang Rumah Susun

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (“KBBI”), kios berasal dari kata ki dan os yang berarti toko kecil (tempat berjualan buku, koran dan lain-lain). Kios adalah salah satu bentuk usaha yang sederhana dan dapat ditemukan dengan mudah disegala pelosok kota maupun desa. Pada perkotaan seperti Jakarta, kios-kios banyak kita jumpai pada pertokoan moderen seperti Mangga Dua dan juga pada Mal (pusat perbelanjaan) seperti Ambassador.

Kios pada pertokoan dan mal (pusat perbelanjaan) seperti yang dijelaskan di atas, ada yang berstatus strata title atau di Indonesia lebih dikenal dengan istilah “Rumah susun” yaitu kios yang dibeli atau dimiliki secara pribadi, dan ada juga yang tidak berstatus strata title atau Rumah susun yaitu kios yang hanya disewa. Bagi kios yang berstatus Rumah susun diatur dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun (“UU No. 20/2011”) dengan memenuhi kriteria yaitu bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional, baik dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, terutama untuk tempat hunian yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama (Pasal 1 Angka 1 UU No. 20/2011). Maka kios pada pertokoan dan mal (pusat perbelanjaan) yang memenuhi kriteria tersebut di atas, tunduk pada UU No. 20/2011.

Proses kepemilikan Kios pada Pertokoan dan Mal (pusat perbelanjaan) diawali dengan jual beli yang dilakukan melalui akta jual beli (“AJB”), yang dibuat di hadapan Notaris/PPAT untuk mendapatkan sertifikat hak milik satuan rumah susun (“SHM Sarusun”) dan di hadapan notaris apabila untuk mendapatkan sertifikat kepemilikan gedung bangunan (“SKGB Sarusun”) sebagai bukti peralihan hak (Pasal 44 ayat (1) UU No. 20/2011 beserta Penjelasannya). Sebagai tanda bukti kepemilikan atas satuan rumah susun di atas tanah hak milik, hak guna bangunan, atau hak pakai di atas tanah negara, hak guna bangunan atau hak pakai di atas tanah hak pengelolaan diterbitkan SHM Sarusun oleh kantor pertanahan kabupaten/kota (Pasal 47 ayat (1) dan (4) UU No. 20/2011).

Sartika DY Darwis

read more

Status Kepemilikan Parkir dalam Strata Title

Strata title di Indonesia dapat disebut dengan rumah susun, apartemen, flat, condominium. Akan tetapi dalam bahasa hukum lebih dikenal dengan istilah rumah susun. Rumah susun adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional, baik dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, terutama untuk tempat hunian yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama. Rumah susun diatur dalam Undang-undang Nomor 20 tahun 2011 tentang Rumah Susun (“UU No. 20/2011”).

Menurut Pasal 1 angka 5 dan 6 UU No. 20/2011 yang dimaksud bagian bersama adalah bagian rumah susun yang dimiliki secara tidak terpisah untuk pemakaian bersama dalam kesatuan fungsi dengan satuan-satuan rumah susun. Contohnya: fondasi, kolom, balok, dinding, lantai, atap, talang air, tangga, lift, selasar, saluran, pipa, jaringan listrik, gas, dan telekomunikasi. Sedangkan yang dimaksud benda bersama adalah benda yang bukan merupakan bagian rumah susun melainkan bagian yang dimiliki bersama secara tidak terpisah untuk pemakaian bersama. Contohnya: ruang pertemuan, tanaman, bangunan pertamanan, bangunan sarana sosial, tempat ibadah, tempat bermain, dan tempat parkir yang terpisah atau menyatu dengan struktur bangunan rumah susun. Sehingga berdasarkan ketentuan di atas, status kepemilikan parkir dalam Strata Title ialah merupakan benda bersama yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan.

Sartika DY Darwis

read more

Hapusnya Hak atas Tanah

Ketentuan mengenai hapusnya hak atas tanah di atur dalam Pasal 27 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (“UUPA”) yang menyebutkan bahwa, hak kepemilikan atas tanah hapus apabila:
A. Tanahnya Jatuh kepada Negara
1. Karena pencabutan hak
Menurut ketentuan Pasal 18 UUPA bahwa untuk kepentingan umum termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan undang-undang. Ketentuan Pasal 18 UUPA ini selanjutnya dilaksanakan dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-hak atas Tanah dan Benda-benda yang Ada di Atasnya.
2. Karena penyerahan dengan sukarela oleh pemiliknya
Hapusnya hak atas tanah karena penyerahan dengan sukarela oleh pemiliknya ini berhubungan dengan Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 Tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum (“Kepres No. 55/1993”), yang dilaksanakan lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 1994 tentang Ketentuan Pelaksanaan Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum (“Permen No. 1/1994”), penyerahan sukarela ini menurut Kepres No. 55/1993 sengaja dibuat untuk kepentingan negara, yang dalam hal ini dilaksanakan oleh pemerintah.
3. Karena ditelantarkan
Pengaturan mengenai tanah yang terlantar diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar (“PP No. 36/1998”). Pasal 3 dan 4 PP No. 36/1998 mengatur mengenai kriteria tanah terlantar yaitu; (i) tanah yang tidak dimanfaatkan dan/atau dipelihara dengan baik. (ii) tanah yang tidak dipergunakan sesuai dengan keadaan, sifat atau tujuan dari pemberian haknya tersebut.
4. Karena ketentuan Pasal 21 ayat (3) dan Pasal 26 ayat (2) UUPA
Pasal 21 ayat (3) UUPA mengatur bahwa orang asing yang memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa wasiat atau pencampuran harta perkawinan, demikian pula warganegara Indonesia yang mempunyai hak milik dan setelah berlakunya UUPA ini kehilangan kewarganegaraannya, wajib melepaskan hak itu dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau hilangnya kewarganegaraan itu. Jika sesudah jangka waktu tersebut lampau hak milik itu tidak dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena hukum dan tanahnya jatuh kepada negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung.
Kemudian Pasal 26 ayat (2) UUPA menyatakan bahwa setiap jual-beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk langsung atau tidak langsung memindahkan hak milik kepada orang asing, kepada seorang warga negara yang di samping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing atau kepada suatu badan hukum, kecuali yang ditetapkan oleh Pemerintah yaitu badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik dan syarat-syaratnya, adalah batal karena hukum dan tanahnya jatuh kepada Negara, dengan ketentuan, bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung serta semua pembayaran yang telah diterima oleh pemilik tidak dapat dituntut kembali.
B. Tanahnya musnah
Sebagaimana pemberian, peralihan dan pembebanan Hak Milik yang wajib di daftar dalam buku tanah, pendaftaran hapusnya hak kepemilikan atas tanah juga wajib untuk dilakukan. Hal ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

Sofie Widyana P.

read more

Pengalihan, Pembebanan, dan Pendaftaran Hak atas Satuan Rumah Susun

Pengalihan

Menurut penjelasan Pasal 54 ayat (3) Undang-undang Nomor 20 tahun 2011 tentang Rumah Susun (“UU No.20/2011”), yang dimaksud dengan “pengalihan” adalah pengalihan pemilikan yang dibuktikan dengan akta yang dibuat:

Oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (“PPAT”) untuk Sertifikat Hak Milik (“SHM”) satuan rumah susun (“sarusun”); dan
Oleh notaris untuk Sertifikat Kepemilikan Bangunan Gedung (“SKBG”) sarusun.
Dalam hal pengalihan hak atas sarusun melalui jual beli, diatur dalam Pasal 44 ayat (1) UU No.20/2011. Proses jual beli, yang dilakukan sesudah pembangunan rumah susun selesai, harus dilakukan melalui akta jual beli (“AJB”). AJB dibuat di hadapan PPAT untuk SHM sarusun dan notaris untuk SKBG sarusun sebagai bukti peralihan hak.

Pengalihan sarusun umum, yaitu sarusun yang diperuntukan untuk Masyarakat Berpenghasilan Rendah (“MBR”) sehingga mendapat dukungan/subsidi dari pemerintah, secara khusus diatur dalam Pasal 54 ayat (2) UU No.20/2011. Pengalihan atas sarusun umum, hanya dapat dilakukan dengan:

a. Pewarisan

b. Perikatan kepemilikan rumah susun setelah jangka waktu 20 (dua puluh) tahun; atau

c. Pindah tempat tinggal yang dibuktikan dengan surat keterangan pindah dari yang berwenang.

Untuk pengalihan sarusun umum dengan cara seperti dalam poin (b) dan (c) di atas, hanya dapat dilakukan melalui badan pelaksana, yaitu suatu badan yang dibentuk oleh Pemerintah yang mempunyai fungsi untuk melakukan pelaksanaan pembangunan, pengalihan kepemilikan, dan distribusi rumah susun umum dan rumah susun khusus secara terkoordinasi dan terintegrasi.

Menurut Pasal 103 UU No.20/2011, setiap orang dilarang menyewakan atau mengalihkan kepemilikan sarusun umum kepada pihak lain, kecuali dengan cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (2) yang telah dijelaskan diatas. Ketentuan pidananya diatur dalam Pasal 115 UU No.20/2011, yang menyatakan bahwa setiap orang yang menyewakan atau mengalihkan kepemilikan sarusun umum kepada pihak lain, dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta Rupiah).

Pembebanan

UU No.20/2011 mengatur mengenai pembebanan hak atas sarusun sebagai berikut:

SHM sarusun dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan (Pasal 47 ayat 5 UU No.20/2011);
SKBG sarusun dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani fidusia sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan (Pasal 48 ayat 4 UU No.20/2011). SKBG sarusun yang dijadikan jaminan utang secara fidusia harus didaftarkan ke kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum (Pasal 48 ayat 5 UU No.20/2011).

Pendaftaran

Sebagai tanda bukti kepemilikan atas sarusun di atas tanah hak milik, hak guna bangunan, atau hak pakai di atas tanah negara, hak guna bangunan atau hak pakai di atas tanah hak pengelolaan diterbitkan SHM sarusun. (Pasal 47 ayat 1 UU No.20/2011). Untuk bisa memiliki SHM sarusun, harus dipenuhi syarat sebagai pemegang hak atas tanah (Pasal 47 ayat 2 UU No.20/2011). SHM sarusun diterbitkan oleh kantor pertanahan kabupaten/kota (Pasal 47 ayat 4 UU No.20/2011).

Pelaku pembangunan (developer) wajib memisahkan rumah susun atas sarusun, bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama dalam bentuk gambar dan uraian. Dan selanjutnya gambar dan uraian tersebut dituangkan dalam bentuk akta pemisahan yang disahkan oleh bupati/walikota, khusus untuk Provinsi DKI Jakarta, akta pemisahan disahkan oleh Gubernur. Untuk mendapatkan SHM sarusun, perlu dibuat akta pemisahan, lalu dibuat Buku Tanah, dan setelah itu dilakukan penerbitan SHM Sarusun tersebut. SHM sarusun terjadi sejak didaftarkannya akta pemisahan dengan dibuatnya Buku Tanah untuk setiap satuan rumah susun yang bersangkutan (Pasal 39 Ayat 5 PP No. 4 Tahun 1988). Jadi Pendaftaran Hak atas Satuan Rumah Susun bertujuan untuk memiliki SHM Sarusun.

SHM Sarusun di buat dengan cara:

Membuat salinan dari Buku Tanah yang bersangkutan;
Membuat salinan surat ukur atas tanah bersama;
Membuat gambar denah satuan rumah susun yang bersangkutan. (Pasal 7 ayat 2 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 4 Tahun 1989).

Rama Mahendra

read more

Kegiatan Pendaftaran Tanah

Latar Belakang

Definisi pendaftaran tanah dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (“PP 24/1997”) merupakan penyempurnaan dari ruang lingkup kegiatan pendaftaran tanah berdasarkan Pasal 19 ayat (2) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (“UUPA”) yang meliputi: pengukuran, perpetaan dan pembukuan tanah, pendaftaran dan peralihan hak atas tanah serta pemberian tanda bukti hak sebagai alat pembuktian yang kuat.

Kegiatan pendaftaran tanah lebih lanjut diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, yaitu meliputi:

1. Kegiatan Pendaftaran Tanah untuk Pertama Kali (Opzet atau Initial Registration)

Pendaftaran tanah pertama kali adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk objek tanah yang belum didaftarkan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah (“PP 10/1961”) atau PP 24/1997. Pendaftaran tanah untuk pertama kali dilaksanakan melalui pendaftaran tanah secara sistematik dan pendaftaran tanah secara sporadik. Yang dimaksud dengan pendaftaran tanah secara sistematik adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali secara serentak yang meliputi semua objek pendaftaran tanah yang belum didaftar dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa/kelurahan (Pasal 1 angka 10 PP 24/1997). Sedangkan pendaftaran tanah secara sporadik adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kalinya mengenai satu beberapa objek pendaftaran tanah dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa/kelurahan secara individual atau massal (Pasal 1 angka 11 PP 24/1997).

Kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kalinya, meliputi:
a. Pengumpulan dan pengolahan data fisik

1. Pembuatan peta dasar pendaftaran

2. Pendaftaran batas bidang-bidang tanah

3. Pengukuran dan pemetaan bidang-bidang tanah dan pembuatan peta pendaftaran

4. Pembuatan daftar tanah

5. Pembuatan surat ukur

b. Pembuktian hak dan pembukuannya, meliputi;

1. Pembuktian hak baru

2. Pembuktian hak lama

c. Kegiatan pemeliharaan data pendaftaran tanah

d. Penyajian daftar umum dan dokumen

e. Kegiatan pemeliharan data pendaftaran tanah

2. Kegiatan Pemeliharaan Data Pendaftaran Tanah (Bijhouding atau Maintenance)

Kegiatan ini adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk menyesuaikan data fisik dan data yuridis dalam peta pendaftaran, daftar tanah, daftar nama, daftar surat ukur, buku tanah, dan sertifikat dengan perubahan-perubahan yang terjadi kemudian (Pasal 1 angka 12 PP 24/1997).

Berdasarkan Pasal 36 PP 24/1997, pemeliharaan data pendaftaran tanah dilakukan apabila terjadi perubahan pada data fisik atau data yuridis obyek pendaftaran tanah yang telah terdaftar. Perubahan fisik terjadi kalau diadakan pemisahan, pemecahan, atau penggabungan bidang-bidang tanah yang sudah didaftar. Perubahan data yuridis terjadi misalnya jika diadakan pembebanan atau pemindahan hak atas bidang tanah yang sudah didaftar.

Pemegang hak yang bersangkutan wajib mendaftarkan perubahan data fisik atau data yuridis tersebut kepada Kantor Pertanahan dan Kabupaten/Kota setempat untuk dicatat dalam buku tanah.

Kegiatan pemeliharaan data pendaftaran tanah, terdiri atas:

a. pendaftaran peralihan dan pembebanan hak.

1. pemindahan hak dengan lelang

2. peralihan hak karena pewarisan

3. peralihan hak karena penggabungan atau peleburan perseroan atau koperasi

4. pembebanan hak

5. penolakan pendaftaran peralihan dan pembebanan hak

b. pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah lainnya, meliputi:

1. perpanjangan jangka waktu hak atas tanah;

2. pemecahan, pemisahan, dan penggabungan bidang tanah

3. pembagian hak bersama;

4. hapusnya hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun

5. peralihan dan hapusnya hak tanggungan;

6. perubahan data pendaftaran tanah berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan;

7. perubahan nama.

Sofie Widyana P.

read more

Kewajiban Membayar Service Charge oleh Pemilik Satuan Rumah Susun

Setiap anggota perhimpunan pemilik dan penghuni satuan rumah susun (“PPPSRS”) mempunyai hak dan kewajiban dalam rangka pengelolaan satuan rumah susun. Keanggotaan ini diwakili oleh kepala keluarga dan mulai berlaku sejak tercatat dalam daftar penghuni dan/atau telah berdomisili di satuan rumah susun (“sarusun”) yang dikuasainya sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Pasal 16 ayat 2 butir b Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1988 tentang Rumah Susun (“PP 4/1988”) mengatur bahwa, setiap penghuni sarusun berkewajiban membayar iuran pengelolaan (Service Charge). Iuran pengelolaan (Service Charge) tersebut berasal dari anggota PPPSRS yang dipungut oleh perhimpunan atau badan pengelola sesuai dengan syarat-syarat yang telah diperjanjikan antara pengurus dan badan pengelola ataupun berdasarkan Anggaran Dasar atau Anggaran Rumah Tangga Perhimpunan Penghuni.

Iuran pengelolaan (Service Charge) ini adalah tanggung jawab pemilik, kecuali Pemilik mengalihkan kepada penghuni. Sesuai dengan ketentuan Pasal 74 ayat (2) Undang-undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun (“UU 20/2011”) yang menyebutkan bahwa, PPPSRS beranggotakan pemilik atau penghuni yang mendapat kuasa dari pemilik sarusun, Kuasa dari pemilik kepada penghuni terbatas pada hal penghunian, misalnya, dalam penentuan besarnya iuran pengelolaan untuk keamanan, kebersihan, atau sosial kemasyarakatan

Iuran pengelolaan (Service Charge) untuk setiap Sarusun dihitung dari total biaya pengelolaan sarusun sehari-hari sesuai anggaran yang ditetapkan PPPRS. Biaya ditanggung bersama oleh pemilik sarusun berdasarkan Nilai Perbandingan Proporsional Unit sarusunnya.

Setiap penghuni sarusun yang melanggar Pasal 16 ayat 2 butir b PP 4/1988 yaitu, tidak memenuhi kewajiban membayar iuran pengelolaan (Service Charge) adalah termasuk kedalam pidana pelanggaran. Sesuai yang diatur dalam Pasal 17 ayat (1) PP 4/1988 yaitu, diancam dengan pidana kurungan selama-lamanya 1 (satu) tahun dan/atau denda setinggi-tingginya Rp.1.000.000,- (satu juta rupiah).

Sofie Widyana P.

read more