fungsi sosial hak milikSaya sangat mengapresiasi peluncuran buku Fungsi Sosial Hak Milik dalam konteks Negara Hukum Pancasila karya Dr. Boli Sabon Max. Ini adalah buku dasar bagi setiap orang yang mengaku sebagai bagian dari bangsa Indonesia. Pendekatan filosofis yang digunakan buku ini penting untuk memberikan pemahaman fundamental bagi setiap pembaca, yaitu mengenali bagaimana sesungguhnya jati diri dari bangsa, bagaimana pengaruh karakteristik tersebut kepada sendi-sendi kehidupan, termasuk dalam segi hukum, khususnya hak milik dan fungsi sosial dari hak milik.

Saya setuju dengan penulis, bahwa Pancasila kerap dilupakan. Dengan kemajuan yang ada, pengaruh dari luar, komunikasi tanpa batas-batas negara melalui media internet, mengakibatkan nilai-nilai mendasar bangsa Indonesia tercampur aduk dengan nilai-nilai asing. Akibatnya, nilai-nilai asing ini juga merasuki kehidupan bangsa Indonesia dan bisa jadi, atau sudah terjadi, nilai-nilai tersebut telah mengkristalisasi menjadi nilai-nilai yang baru. Namun, seseorang tidak bisa lepas dari siapa ia sesungguhnya. Nilai-nilai yang ada pada bangsa Indonesia akan tetap melekat dan terbawa terus. Franklin D Roosevelt pernah mengatakan “Ingat, dan selalu ingat, bahwa semua dari kita, dan terutama kamu dan saya, adalah keturunan imigran dan revolusionis.” Jika Amerika adalah negara para imigran, Indonesia adalah negara para Pancasilais. Seperti dikutip langsung dari buku Pak Max, Soekarno mengatakan dalam pidatonya di Surabaya tanggal 24 September 1955, tepat 5 tahun sebelum UUPA diundangkan:

Dengan terharu aku menerima titel Doctor Honoris Causa sebagai pencipta Pancasila, yang dihadiahkan padaku oleh Universitas Gadjah Mada, tapi aku tolak dengan tegas bahwa aku adalah pencipta Pancasila. Aku bukan mencipta, tapi menggali lima mutiara yang terbenam dalam sejarah rakyat Indonesia.

Pengaturan pertama kali tentang hak milik dapat terlihat jelas pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang diundangkan tanggal 24 September 1960. Hari bersejarah untuk bangsa Indonesia. Melalui UUPA inilah, bangsa Indonesia menegaskan bahwa hukum agraria yang berlaku di Indonesia adalah hukum adat dengan batasan-batasan tertentu. Hukum adat adalah hukum ala bangsa Indonesia sebagaimana Pancasila yang sebelumnya “terbenam” dalam sejarah rakyat Indonesia. Sejak diundangkannya UUPA, hukum kolonial Belanda dicabut dan konsep hukum ala Belanda tidak lagi berlaku di bumi Indonesia antara lain, pengaturan tentang asas aksesi, asas domein Negara, asas penguasaan tanah tanpa batas, yang digantikan dengan asas pemisahan horisontal, asas hak menguasai Negara, dan asas pembatasan tanah pertanian.

Lihat Juga  Leks&Co akan berpartisipasi dalam workshop 2 hari Kontan Academy bertemakan “Kupas Tuntas Aspek Hukum Properti (Seri Pengembangan Properti Lengkap”) pada 29 – 30 Oktober 2015 di Hotel Santika Premiere – Slipi, Jakarta.

UUPA menjelaskan bahwa hak milik atas tanah bersifat komunalistik dan religius. Penjelasan Umum bagian II (1) UUPA menguraikan dengan baik arti dari sifat komunalistik dan religius ini yang saya kutip sebagai berikut:

Pasal 1 ayat 2 berbunyi bahwa “Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa, adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional”. Ini berarti bahwa bumi, air dan ruang angkasa dalam wilayah Republik Indonesia yang kemerdekaannya diperjuangkan oleh bangsa sebagai keseluruhan, menjadi hak pula dari bangsa Indonesia, jadi tidak semata-mata menjadi hak dari para pemiliknya saja. Demikian pula tanah-tanah di daerah-daerah dan pulau-pulau tidaklah semata-mata menjadi hak rakyat asli dari daerah atau pulau yang bersangkutan saja. Dengan pengertian demikian maka hubungan bangsa Indonesia dengan bumi, air dan ruang angkasa Indonesia merupakan semacam hubungan hak ulayat yang diangkat pada tingkatan yang paling atas, yaitu pada tingkatan yang mengenai seluruh wilayah Negara. Adapun hubungan antara bangsa dan bumi, air serta ruang angkasa Indonesia itu adalah hubungan yang bersifat abadi. Ini berarti bahwa selama rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia masih ada dan selama bumi, air serta ruang angkasa Indonesia itu masih ada pula, dalam keadaan yang bagaimanapun tidak ada sesuatu kekuasaan yang akan dapat memutuskan atau meniadakan hubungan tersebut.

Selanjutnya, di bagian yang sama UUPA menjelaskan, yang saya kutip:

Adapun hubungan antara bangsa dan bumi, air serta ruang angkasa tersebut di atas tidak berarti, bahwa hak milik perseorangan atas (sebagian dari) bumi tidak dimungkinkan lagi. Di atas telah dikemukakan, bahwa hubungan itu adalah semacam hubungan hak ulayat, jadi bukan berarti hubungan milik. Dalam rangka hak ulayat dikenal adanya hak milik perseorangan. Kiranya dapat ditegaskan bahwa dalam hukum agraria yang baru dikenal pula hak milik yang dapat dipunyai seseorang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain atas bagian dari bumi Indonesia.

Dari uraian di atas jelas bahwa UUPA mengatur tentang hak bangsa Indonesia atas seluruh wilayah Negara, tapi tidak mengeyampingkan hak-hak perseorangan. Perspektif ini terkait langsung dengan fungsi sosial hak atas tanah. Pasal 6 UUPA mengatur bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. UUPA kemudian menjelaskan bahwa fungsi sosial hak atas tanah itu berarti tidaklah dapat dibenarkan bahwa tanahnya itu akan dipergunakan (atau tidak dipergunakan) semata-mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau hal itu menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaannya dan sifat daripada haknya, hingga bermanfaat baik bagi kesejahteraan dan kebahagiaan yang mempunyainya maupun bermanfaat pula bagi masyarakat dan Negara. Kepentingan masyarakat dan kepentingan perseorangan haruslah saling mengimbangi, hingga pada akhirnya akan tercapailah tujuan pokok: kemakmuran, keadilan, dan kebahagiaan bagi rakyat seluruhnya.

Lihat Juga  Rangkuman PP No. 38 Tahun 1963 Tentang Penunjukkan Badan – Badan Hukum yang Dapat Mempunyai Hak Milik Atas Tanah

Merujuk pada tulisan penulis yang menganalisis pembedaan antara paham liberalisme dan paham sosialisme, dan apakah negara Indonesia menganut poros tengah, melalui penjelasan fungsi sosial hak atas tanah dapat dimengerti bahwa negara Indonesia tidak menganut liberalisme, tidak juga menganut sosialisme, tapi menganut paham ala Indonesia atau adat Indonesia, yaitu keseimbangan antara hak bersama bangsa Indonesia dan hak perseorangan. Selain itu, melalui penjelasan UUPA dapat diketahui unsur-unsur fungsi sosial hak atas tanah, yaitu (1) larangan menggunakan tanah untuk kepentingan pribadi semata-mata; (2) larangan menelantarkan tanah demi kepentingan pribadi semata-mata; (3) pemanfaatan atau ketiadaan pemanfaatan tanah tidak menimbulkan kerugian bagi masyarakat; (4) penggunaan tanah harus sesuai dengan keadaan dan sifat haknya; (5) penggunaan tanah bermanfaat bagi kesejahteraan dan kebahagiaan pemiliknya; (6) penggunaan tanah bermanfaat bagi kesejahteraan dan kebahagiaan masyarakat dan Negara; (7) penggunaan tanah harus menyeimbangi kepentingan masyarakat dan kepentingan perseorangan; (8) penggunaan tanah perlu mencapai tujuan pokok, yaitu kemakmuran, keadilan, dan kebahagiaan bagi rakyat seluruhnya.

Fungsi sosial hak atas tanah diwujudkan dengan berbagai perangkat hukum, antara lain UU Pencabutan Hak atas Tanah, UU Penetapan Luas Tanah Pertanian, UU Pokok Agraria, UU Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, UU tentang Penataan Ruang, Peraturan Pemerintah tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar,PP tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Rugi yang menjadi bagian utama pengaturan reforma agraria, PP tentang HGU, HGB, dan Hak Pakai.

Meski hak milik sejauh ini secara tegas diatur dalam UUPA, tidak berarti bahwa hak milik di sini melulu hanya mengenai tanah (barang tidak bergerak), karena secara esensi, hukum adat tidak mengenal pembedaan antara barang bergerak dan barang tidak bergerak. Oleh karena itu, jika UUPA mengatur tentang hak milik atas tanah dan fungsi sosial atas hak milik, sedangkan konsep hukum hak milik dan fungsi sosial hak milik tanah berasa l dari hukum adat, itu berarti bangsa Indonesia memandang bahwa semua jenis hak milik mempunyai fungsi sosial, bukan hanya hak milik dalam konteks hak atas tanah.

Lihat Juga  Sanksi Hukum yang dapat Timbul karena Penggunaan Bangunan sebelum Memperoleh Sertifikat Laik Fungsi

Hal ini sejalan dengan pandangan dari Prof. H. Hilman Hadikusuma, S.H., dalam bukunya berjudul Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia. Beliau mengatakan, menurut hukum adat, hak-hak kebendaan dan hak-hak perseorangan, baik berwujud ataupun tidak berwujud, seperti hak atas nyawa, kehormatan, hak cipta, tidak bersifat mutlak sebagai hak pribadinya sendiri, oleh karena pribadinya tidak terlepas hubungannya dengan kekeluargaan dan kekerabatannya. Hukum adat tidak membenarkan adanya hak pribadi yang mutlak, semata-mata untuk kepentingan diri sendiri. Dengan kata lain, hukum adat mengenal fungsi sosial hak milik tidak hanya untuk hak atas tanah, tapi juga terhadap hak-hak selain hak atas tanah. Dengan demikian, delapan unsur fungsi sosial hak atas tanah juga berlaku untuk hak milik yang bukan hak atas tanah.

Saya sangat bangga mempunyai dosen dengan moto hidup yang sangat baik, “Saya berkarya, maka saya ada”. Setiap dari kita dapat mengadopsi moto ini. Membaca moto ini, saya teringat pada kata-kata Benjamin Franklin, “Jika kamu tidak mau segera dilupakan setelah kamu mati, tulislah sesuatu yang layak dibaca atau lakukanlah sesuatu yang layak untuk ditulis”. Proficiat untuk Pak Max. Semoga buku ini bermanfaat bagi semua pembacanya. Terima kasih.

Eddy M. Leks