Pemerintah telah menyusun draft RUU Omnibus Law yang terdiri dari RUU Cipta Kerja, RUU Fasilitas Pajak dan RUU Ibu Kota Negara. Pada 12 Februari 2020 pimpinan DPR telah menerima naskah akademik dan draft RUU Cipta Kerja untuk dilakukan pembahasan lebih lanjut. Draft RUU Cipta Kerja ini terdiri dari 174 pasal dan 79 undang-undang terdampak dan salah satu undang-undang yang diubah di dalam RUU Cipta Kerja adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman (“UU No. 1/2011”).
Diubahnya UU No. 1/2011 adalah untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat terutama Pelaku Usaha dalam mendapatkan Perizinan Berusaha dan kemudahan persyaratan investasi dari sektor pekerjaan umum dan perumahan rakyat. Artikel ini akan fokus membahas perubahan UU No. 1/2011 mengenai perencanaan dan perancangan rumah beserta prasarana, sarana dan utilitas umum, hunian berimbang, kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang, Perjanjian Pendahuluan Jual Beli,larangan dan sanksi.
Perencanaan dan Perancangan Rumah
RUU Cipta Kerja mengubah Pasal 26 UU No. 1/2011 mengenai hasil perencanaan dan perancangan rumah. Di dalam Pasal 26 UU No. 1/2011 untuk memperoleh izin mendirikan bangunan hasil perencanaan dan perancangan rumah wajib memenuhi syarat teknis, administratif, tata ruang dan ekologis. Persyaratan ini diubah dalam RUU Cipta Kerja menjadi wajib memenuhi standar. Hal ini juga berlaku untuk Pasal 29 UU No. 1/2011 mengenai syarat perencanaan prasarana, sarana dan utilitas umum.
RUU Cipta Kerja tidak memberikan definisi maupun pengaturan rinci mengenai standar dimaksud. Namun jika merujuk pada ketentuan-ketentuan di dalam perubahan UU No. 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung di dalam RUU Cipta Kerja, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan standar adalah suatu standar teknis yang disusun oleh Pemerintah Pusat sebagai pedoman pelaku usaha untuk membangun bangunan sesuai dengan fungsi dan klasifikasi, yang memuat pengaturan antara lain mengenai jumlah lantai maksimum bangunan, ketinggian bangunan dan jarak bebas antar bangunan. Apabila bangunan tidak direncanakan sesuai dengan standar teknis tersebut, maka perlu mendapatkan persetujuan dari Pemerintah Pusat.
Dengan dilakukannya penyederhanaan terhadap persyaratan perizinan berusaha, dalam hal ini persyaratan untuk memperoleh izin mendirikan bangunan (Persetujuan Bangunan Gedung di dalam RUU Cipta Kerja), diharapkan Pemerintah melalui RUU Cipta Kerja dapat mendorong ekosistem investasi dengan memberikan kemudahan bagi pelaku usaha di bidang perumahan.
Hunian Berimbang
Hunian berimbang adalah perumahan dan kawasan permukiman yang dibangun secara berimbang dengan komposisi tertentu i) dalam rumah tunggal dan rumah deret antara rumah sederhana, rumah menengah dan rumah mewah, atau ii) dalam rumah susun antara rumah susun umum dan rumah susun komersial, atau iii) dalam rumah tapak dan rumah susun umum. Setiap badan hukum yang melakukan pembangunan perumahan wajib mewujudkan perumahan dengan konsep hunian berimbang. Khusus untuk pembangunan perumahan skala besar wajib melaksanakannya di dalam satu hamparan. Namun khusus untuk pembangunan rumah umum, apabila pembangunan perumahan dengan hunian berimbang tidak dalam satu hamparan, maka wajib dilaksanakan dalam satu daerah kabupaten/kota.
RUU Cipta Kerja mengubah kewajiban satu hamparan untuk pembangunan rumah umum tersebut di atas menjadi sebagai berikut:
- Dapat dilaksanakan dalam satu daerah kabupaten/kota yang sama;
- Dapat dilaksanakan dalam satu daerah kabupaten/kota yang berbatasan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai hunian berimbang telah diatur di dalam Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman (“PP No. 14/2016”) dan Pasal 21 ayat (4) PP No. 14/2016 memberikan pengaturan khusus untuk kewajiban pembangunan rumah umum di daerah DKI Jakarta yang tidak dalam satu hamparan maka harus dilaksanakan dalam satu provinsi. Peraturan Pemerintah dan peraturan pelaksanaan dari undang-undang yang telah mengalami perubahan di dalam RUU Cipta Kerja akan disesuaikan paling lama 1 (satu) bulan sejak RUU Cipta Kerja diundangkan. Jika PP No. 14/2016 tidak segera disesuaikan pada saat RUU Cipta Kerja diundangkan, maka dapat menimbulkan kebingungan terhadap implementasi kewajiban hunian berimbang satu hamparan.
Komposisi Hunian Berimbang
Setiap pelaku usaha perumahan wajib memenuhi komposisi hunian berimbang yang telah diatur di dalam Peraturan Menteri yaitu perbandingan antara rumah mewah, rumah menengah dan rumah sederhana adalah 1:2:3. Namun RUU Cipta Kerja menghapus ketentuan yang mengatur bahwa ketentuan mengenai hunian berimbang diatur dengan Peraturan Menteri, dan mengatur bahwa ketentuan lebih lanjut akan diatur di dalam Peraturan Pemerintah. Sementara itu, PP No. 14/2016 sendiri tidak mengatur mengenai komposisi hunian berimbang sehingga perlu adanya penyesuaian di dalam PP No. 14/2016 ataupun peraturan pelaksana RUU Cipta Kerja lainnya agar komposisi hunian berimbang tetap jelas pengaturannya.
Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang
RUU Cipta Kerja menggunakan istilah kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang untuk menggantikan izin lokasi di dalam i) Pasal 107 ayat (2) mengenai pemberian hak atas tanah untuk pembangunan rumah, perumahan dan/atau kawasan permukiman, ii) Pasal 109 ayat (4) mengenai konsolidasi tanah dan iii) Pasal 114 ayat (1) mengenai peralihan atau pelepasan hak atas tanah di dalam UU No. 1/2011.
Kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang adalah kesesuaian rencana lokasi kegiatan dan/atau usaha dengan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) dan merupakan bentuk penyederhanaan persyaratan dasar perizinan berusaha dan pengadaan lahan. Permohonan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang diajukan oleh pelaku usaha melalui Perizinan Berusaha secara elektronik kepada Pemerintah Pusat. RUU Cipta Kerja tidak mengatur secara rinci prosedur dan persyaratan untuk memperoleh kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang dan akan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Sementara itu berdasarkan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 17 Tahun 2019 tentang Izin Lokasi (“Permen Agraria No. 17/2019”), izin lokasi merupakan izin yang diberikan oleh menteri, pimpinan lembaga, gubernur atau bupati/wali kota kepada pelaku usaha untuk memperoleh tanah yang diperlukan untuk usaha dan/atau kegiatannya dan berlaku pula sebagai izin pemindahan hak dan untuk menggunakan tanah tersebut untuk keperluan usaha dan/atau kegiatannya. Lebih lanjut di dalam Pasal 4 ayat (1) Permen Agraria No. 17/2019 mengatur bahwa objek dari izin lokasi adalah tanah yang menurut rencana tata ruang wilayah diperuntukkan bagi penggunaan yang sesuai dengan rencana kegiatan usaha yang akan dilaksanakan oleh Pelaku Usaha.
Dengan demikian, kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang memiliki esensi yang sama dengan izin lokasi, namun kewenangan penerbitan dan pengajuan permohonannya tidak lagi berada di bawah Menteri dan/atau pemerintah daerah melainkan berada di Pemerintah Pusat.
Perjanjian Pendahuluan Jual Beli
Suatu badan usaha dapat memasarkan unit yang masih di dalam tahap proses pembangunan melalui sistem perjanjian pendahuluan jual beli setelah memenuhi syarat:
- Status kepemilikan tanah;
- Hal yang diperjanjikan;
- Kepemilikan izin mendirikan bangunan induk;
- Ketersediaan prasarana, sarana dan utilitas umum; dan
- Keterbangunan perumahan paling sedikit 20% (dua puluh persen).
RUU Cipta Kerja menghapus ketentuan 20% (dua puluh persen) untuk persyaratan keterbangunan perumahan di atas dan akan mengaturnya lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Sementara itu sampai pada saat ini ketentuan keterbangunan perumahan 20% (dua puluh persen) telah diatur di dalam Pasal 22 ayat (4) PP No. 14/2016 dan di dalam Pasal 10 ayat (1) Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat No. 11/PRT/M/2019 tentang Sistem Perjanjian Pendahuluan Jual Beli Rumah (“Permen PUPR No. 11/2019”). Dengan diubahnya persyaratan sistem perjanjian pendahuluan jual beli, maka perlu dilakukan penyesuaian juga terhadap PP No. 14/2016 dan Permen No. 11/2019.
Sanksi
Di dalam RUU Cipta Kerja, setiap orang yang menyelenggarakan pembangunan perumahan yang tidak sesuai dengan dengan kriteria, spesifikasi, persyaratan, prasarana, sarana dan utilitas umum yang diperjanjikan, serta standar dan pelanggaran terhadap ketentuan penyelenggaraan lingkungan hunian atau kawasan siap bangun dikenakan sanksi administratif berupa denda paling banyak Rp 5.000.000.000,- (lima miliar Rupiah). Penerapan sanksi ini menjadi lebih ringan jika dibandingkan dengan ketentuan asal di dalam Pasal 151 dan Pasal 153 UU No. 1/2011 dimana sanksi yang diberikan berupa sanksi pidana maksimal Rp 5.000.000.000,- (lima miliar Rupiah). RUU Cipta Kerja meringkankan sanksi tersebut sehingga pelaku usaha yang melanggar cukup membayar denda tanpa perlu melalui proses peradilan.
Penutup
Perubahan utama yang diatur dalam RUU Cipta Kerja adalah untuk menyesuaikan UU No. 1/2011 agar sesuai dengan kerangka hukum baru yang diusulkan oleh pemerintah pusat melalui Omnibus Law, seperti kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang dan persetujuan bangunan gedung. Namun terdapat perubahan lain yang cukup mengejutkan seperti penghapusan keterbangunan rumah 20%. Ini merupakan kabar baik dari sudut pandang pengembang. Juga, dengan kenyataan bahwa implementasinya tidak begitu jelas sejak 2011 hingga saat ini. Perubahan sanksi tentu lebih baik dari ketentuan sebelumnya. Jika peran pengawasan pemerintah berjalan dengan baik, pengembang masih harus melakukan kewajibannya di bawah rancangan RUU berdasarkan tahapan yang ditentukan.
Herdiasti Anggitya