Pada tanggal 12 Februari 2020 DPR telah menerima naskah akademik dan draft RUU Cipta Kerja untuk dilakukan pembahasan lebih lanjut. Draft RUU Cipta Kerja ini terdiri dari 174 pasal dan 79 undang-undang terdampak dan salah satu undang-undang yang diubah di dalam RUU Cipta Kerja adalah Undang-Undang Nomor 20 tahun 2011 tentang Rumah Susun (“UU No. 20/2011”).

Diubahnya UU No. 20/2011 adalah untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat terutama Pelaku Usaha dalam mendapatkan Perizinan Berusaha dan kemudahan persyaratan investasi dari sektor pekerjaan umum dan perumahan rakyat. Artikel ini akan fokus membahas perubahan UU No. 20/2011 mengenai kawasan pembangunan rumah susun umum, standar pembangunan, gambar dan uraian rumah susun, persetujuan bangunan gedung, rencana fungsi dan pemanfaatan, Sertifikat Laik Fungsi, prasarana rumah susun, perjanjian pendahuluan jual beli, pengelolaan rumah susun dan sanksi.

Kawasan Pembangunan Rumah Susun Umum

Pelaku pembangunan rumah susun komersial wajib menyediakan rumah susun umum sekurang-kurangnya 20% dari total luas lantai rumah susun komersial yang dibangun. Berdasarkan RUU Cipta Kerja, kewajiban tersebut dapat dilaksanakan:

  1. di luar kawasan rumah susun komersial pada kabupaten/kota yang sama;
  2. di luar kawasan rumah susun komersial pada kabupaten/kota yang berbatasan.

Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban menyediakan rumah susun umum tersebut di atas akan diatur lebih lanjut di dalam Peraturan Pemerintah. Saat ini Pemerintah telah mengundangkan peraturan pemerintah yang mengatur mengenai pelaksanaan perumahan dan permukiman yaitu Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman (“PP No. 14/2016”) dan di dalam PP No. 14/2016 sendiri tidak diatur kewajiban pembangunan rumah susun umum seperti dimaksud di atas. Meski demikian, kewajiban mengenai hunian berimbang sudah ditetapkan. Hal ini diatur di dalam Peraturan Menteri Perumahan Rakyat No. 7 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Perumahan Rakyat No. 10 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman dengan Hunian Berimbang (“Permen PR No. 7/2013”). Permen PR No. 7/2013 mengatur bahwa kewajiban tersebut dapat dilaksanakan hanya di dalam wilayah kabupaten/kota yang sama dan khusus untuk DKI Jakarta dilaksanakan di luar wilayah kota yang sama namun tetap di dalam provinsi DKI Jakarta.

RUU Cipta Kerja mengamanatkan bahwa Peraturan Pemerintah dan peraturan pelaksana dari undang-undang yang telah mengalami perubahan di dalam RUU Cipta Kerja akan disesuaikan paling lama 1 (satu) bulan sejak RUU Cipta Kerja diundangkan. Secara hirarki undang-undang merupakan rujukan awal dalam melihat ketentuan pengaturan, namun ini  berarti jika PP No. 14/2016 dan Permen PR No. 7/2013 tidak segera disesuaikan pada saat RUU Cipta Kerja diundangkan, hal ini dapat menimbulkan kebingungan terhadap imlementasi kewajiban pembangunan rumah susun umum tersebut.

Standar Pembangunan Rumah Susun

RUU Cipta Kerja mengubah persyaratan pembangunan rumah susun menjadi standar pembangunan rumah susun. Namun ketentuannya lainnya tetap sama dengan UU No. 20/2011 yaitu i) persyaratan administratif, ii) persyaratan teknis dan iii) persyaratan ekologis. RUU Cipta Kerja menambahkan ketentuan baru yaitu bahwa ketentuan lanjut mengenai standar pembangunan rumah susun akan diatur di dalam Peraturan Pemerintah.

Lihat Juga  Penyelenggaraan Izin Mendirikan Bangunan dan Sertifikat Laik Fungsi Melalui Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik

RUU Cipta Kerja tidak memberikan definisi maupun pengaturan rinci mengenai standar dimaksud. Namun jika merujuk pada ketentuan-ketentuan di dalam perubahan UU No. 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung di dalam RUU Cipta Kerja, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan standar adalah suatu standar teknis yang disusun oleh Pemerintah Pusat sebagai pedoman pengembang untuk membangun bangunan sesuai dengan fungsi dan klasifikasi, yang memuat pengaturan antara lain mengenai jumlah lantai maksimum bangunan, ketinggian bangunan dan jarak bebas antar bangunan. Apabila bangunan direncanakan tidak sesuai dengan standar teknis tersebut maka pengembang perlu mendapatkan persetujuan dari Pemerintah Pusat.

Gambar dan Uraian Rumah Susun

Pengembang wajib memisahkan rumah susun atas satusan rumah susun (sarusun) dengan bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama. Hal ini dilaksanakan guna memberikan kejelasan atas batas-batas bagian yang dapat digunakan bersama dan bagian yang dimiliki secara privat. Pemisahan ini wajib dituangkan di dalam gambar dan uraian rumah susun sebagai dasar untuk menetapkan nilai perbandingan proporsional (NPP), sertifikat hak milik satuan rumah susun (SHM sarusun) atau sertifikat kepemilikan bangunan gedung satuan rumah susun (SKBG sarusun) dan perjanjian pengikatan jual beli. Selanjutnya gambar dan uraian tersebut akan menjadi dasar penetapan NPP, SHM sarusun atau SKBG sarusun dan perjanjian pengikatan jual beli, dan selanjutnya gambar dan uraian tersebut wajib dituangkan dalam bentuk akta pemisahan.

RUU Cipta Kerja menghapus ketentuan mengenai dasar penetapan NPP, SHM sarusun/SKBG sarusun dan perjanjian pengikatan jual beli tersebut dan sampai pada saat ini tidak ada peraturan pelaksana yang mengatur mengenai hal tersebut. Jika penetapan dasar ini tidak diatur secara jelas baik di dalam RUU maupun di dalam peraturan pelaksananya, hal ini dapat mengakibatkan kerancuan terhadap penetapan batas kepemilikan dan juga harga unit yang dijual menjadi tidak jelas dasar penentuannya.

Lebih lanjut, RUU Cipta Kerja mengubah otorita yang berwenang melakukan pengesahan akta pemisahan gambar dan uraian rumah susun. Di dalam UU No. 20/2011 pihak yang berwenang mengesahkan adalah bupati/walikota dan khusus untuk DKI Jakarta disahkan oleh gubernur. Di dalam RUU Cipta Kerja seluruh pengesahan akta tersebut akan dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat. Perubahan ini dilakukan untuk mewujudkan tujuan dari pembentukan RUU Cipta Kerja yaitu pemusatan perizinan sehingga diharapkan hal ini dapat memudahkan pengembang dalam melaksanakan pembangunan satuan rumah susun.

Persetujuan Bangunan Gedung

Izin Mendirikan Bangunan di dalam UU No. 20/2011 diubah menjadi Persetujuan Bangunan Gedung di dalam RUU Cipta Kerja. Persetujuan Bangunan Gedung merupakan tindak lanjut dari pemenuhan standar teknis yang dilaksanakan oleh pelaku usaha, dan persetujuannya dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat. Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara memperoleh Persetujuan Bangunan Gedung akan diatur di dalam Peraturan Pemerintah.

Rencana Fungsi dan Pemanfaatan Pembangunan Rumah Susun

Pengembang wajib melaksanakan pembangunan rumah susun sesuai dengan fungsi dan pemanfaatannya dan mendapatkan izin dari Pemerintah Pusat. Permohonan izin tersebut diajukan dengan melampirkan persyaratan:

  1. sertifikat hak atas tanah;
  2. surat keterangan rencana kabupaten/kota;
  3. gambar rencana tapak;
  4. gambar rencana arsitektur yang memuat denah, tampak, dan potongan rumah susun yang menunjukan dengan jelas batasan secara vertical dan horizontal dari sarusun;
  5. gambar rencana struktur beserta perhitungannya;
  6. gambar rencana yang menunjukkan dengan jelas bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama; dan
  7. gambar rencana utilitas umum dan instalasi beserta perlengkapannya.
Lihat Juga  Putusan MA atas Permohonan Uji Materiil Peraturan Menteri No. 23/PRT/M/2018

RUU Cipta Kerja menghapus pasal yang mengatur mengenai persyaratan tersebut dan akan mengatur lebih lanjut di dalam Peraturan Pemerintah. Hal ini juga berlaku untuk perubahan rencana fungsi dan pemanfaatan rumah susun. Seluruh perizinannya harus memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. Sementara itu, sejauh ini tidak ada peraturan pelaksana yang mengatur dengan rinci pelaksanaan rencana fungsi dan pemanfaatan tersebut sehingga apabila ketentuan tesebut dihapus dari UU No. 20/2011 maka pengaturannya harus dituang secara jelas di dalam peraturan pelaksana RUU Cipta Kerja atau melakukan penyesuaian terhadap PP No. 4/1988. Hal ini perlu dilakukan agar pengembang mendapatkan kejelasan mengenai persyaratan untuk memperoleh perizinan rencana fungsi dan pemanfaatan pembangunan rumah susun.

Sertifikat Laik Fungsi

Pengembang wajib mengajukan sertifikat laik fungsi (SLF) setelah menyelesaikan seluruh atau sebagian pembangunan rumah susun. Pengajuan dan penerbitan SLF diajukan dan diterbitkan tidak lagi oleh pemerintah daerah melainkan oleh Pemerintah Pusat.

Prasarana, Sarana dan Utilitas Umum Lingkungan Rumah Susun

Pelaku pembangunan wajib melengkapi lingkungan rumah susun dengan prasarana, sarana dan utilitas umum (PSU). Ketentuan mengenai PSU akan diatur lebih lanjut di dalam Peraturan Pemerintah dan tidak lagi merujuk kepada Peraturan Menteri. Pemerintah telah menerbitkan peraturan pelaksana pembangunan PSU melalui Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat No. 03/PRT/M/2018 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat No. 38/PRT/M/2015 tentang Bantuan Prasarana, Sarana dan Utilitas Umum untuk Perumahan Umum (“Permen PUPR No. 03/2018”). Adapun Permen PUPR No. 03/2018 spesifik hanya mengatur mengenai pembangunan PSU untuk rumah susun umum yang pembangunannya dibantu oleh Pemerintah. Untuk itu, pada saat RUU Cipta Kerja diundangkan perlu adanya Peraturan Pemerintah yang mengatur perihal ini.

Persyaratan Perjanjian Pengikatan Jual Beli

Di dalam UU No. 20/2011, rumah susun yang belum selesai dibangun dapat dijual melalui perjanjian pengikatan jual beli (PPJB) dengan memenuhi persyaratan atas:

  1. status kepemilikan tanah;
  2. Persetujuan Bangunan Gedung;
  3. Ketersediaan prasarana, sarana dan utilitas umum;
  4. Keterbangunan paling sedikit 20%;
  5. Hal yang diperjanjikan.

RUU menghapus ketentuan mengenai keterbangunan rumah susun paling sedikit 20% dan akan mengaturnya lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Kewajiban keterbangunan 20% untuk rumah susun telah diatur di dalam Pasal 10 ayat (1) Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat No. 11/PRT/M/2019 tentang Sistem Perjanjian Pendahuluan Jual Beli Rumah (“Permen PUPR No. 11/2019”). Dengan diubahnya persyaratan PPJB untuk rumah susun maka Peraturan Pemerintah untuk RUU Cipta Kerja perlu mengelaborasi lebih lanjut persyaratan tersebut karena ketentuan di dalam Permen PUPR No. 11/2019 sudah tidak lagi relevan.

Lihat Juga  Properti Indonesia - Tata Cara Pelepasan atau Pembatalan Hak Guna Usaha atau Hak Pakai Lahan yang Terbakar

Pengelolaan Rumah Susun

RUU Cipta Kerja mengatur bahwa pengelolaan rumah susun wajib dilaksanakan oleh pengelola berbadan hukum, kecuali untuk rumah susun umum sewa, rumah susun khusus dan rumah susun negara. Izin Usaha untuk badan pengelola dimaksud tidak lagi diterbitkan oleh bupati/walikota, atau gubernur untuk DKI Jakarta, melainkan wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha ini akan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Saat ini ketentuan mengenai izin usaha pengelolaan rumah susun telah diatur di dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat No. 23/PRT/M/2018 Tahun 2018 tentang Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun (“Permen PUPR No. 23/2018”). Pasal 31 ayat (3) Permen PUPR No. 23/2018 menetapkan bahwa pengelola rumah susun wajib berbadan hukum dan memiliki izin usaha dari bupati/walikota dan khusus untuk DKI Jakarta izin usaha diterbitkan oleh gubernur. Dengan adanya perubahan otoritas penerbitan izin usaha untuk pengelola satuan rumah susun tersebut di atas maka pada saat RUU Cipta Kerja diundangkan ketentuan di dalam Permen PUPR No. 23/2018 tidak lagi berlaku dan pengelola wajib merujuk kepada peraturan pelaksana RUU Cipta Kerja.

Sanksi

Pasal 107 UU No. 20/2011 mengatur bahwa setiap orang yang melanggar ketentuan di dalam UU No. 20/2011 akan dikenakan sanksi administratif. Bentuk sanksi administratif ini telah diatur di dalam Pasal 108 UU No. 20/2011 namun RUU Cipta Kerja menghapus Pasal 108 tersebut dan bentuk-bentuk sanksi administraif akan diatur lebih lanjut di dalam Peraturan Pemerintah.

Selanjutnya RUU Cipta Kerja juga mengubah ketentuan sanksi bagi pelaku pembangunan rumah susun komersial yang tidak melaksanakan kewajibannya untuk menyediakan rumah susun umum minimal 20% sebagaimana diatur di dalam Pasal 97 UU No. 20/2011. Di dalam UU No. 20/2011 pelanggaran ini dikenakan sanksi pidana berupa penjara paling lama 2 tahun atau denda paling banyak Rp 20.000.000.000,- sementara itu RUU membuat sanksi ini menjadi lebih ringan dengan mengubahnya menjadi bertahap yaitu sanksi administratif berupa denda sebesar Rp 20.000.000.000,-. Dalam hal pelaku tidak memenuhi sanksi administratif tersebut di atas, pelaku akan di pidana dengan penjara paling lama 2 tahun. Ketentuan ini juga diterapkan untuk pelanggaran terhadap i) persyaratan PPJB, ii) ketentuan lokasi rumah susun, iii) peruntukan lokasi, fungsi dan pemanfaatan rumah susun, namun dengan nominal yang sama seperti yang diatur di dalam UU No. 20/2011.

Penutup

Salah satu tujuan Pemerintah menyusun RUU Cipta Kerja adalah untuk mendorong ekosistem investasi dalam bentuk penyederhanaan perizinan dan untuk itu UU No. 20/2011 diubah mengikuti kerangka hukum baru yang diusulkan di dalam RUU Cipta Kerja seperti Persetujuan Bangunan Gedung dan standar teknis. Di sisi lain RUU Cipta Kerja juga mengubah beberapa pengaturan penting seperti gambar dan uraian rumah susun yang merupakan dasar penetapan NPP, SHM sarusun atau SKBG sarusun dan PPJB, dan keterbangunan rumah susun 20%. Selain itu pemerintah juga memberikan keringanan atas sanksi terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh pengembang.

Herdiasti Anggitya