Properti Indonesia

Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 38 Tahun 2012 tentang Bangunan Gedung Hijau

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah menerbitkan Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 38 Tahun 2012 tentang Bangunan Hijau Gedung. (“PerGub No.38/2012”) yang merupakan regulasi mengenai penerapan konsep hemat energi dan ramah lingkungan dalam bangunan gedung. Bangunan gedung hijau adalah bangunan gedung yang bertanggung jawab terhadap lingkungan dan sumber daya yang efisien dari sejak perencanaan, pelaksanaan konstruksi, pemanfaatan, pemeliharaan, sampai dekonstruksi (Pasal 1 angka 11 PerGub No.38/2012).

PerGub No.38/2012 dibentuk dengan maksud sebagai acuan bagi aparat pelaksana maupun pemohon dalam memenuhi persyaratan bangunan gedung hijau, yang bertujuan mewujudkan penyelenggaraan bangunan gedung yang memperhatikan aspek-aspek dalam menghemat, menjaga dan menggunakan sumber daya secara efisien.

Penyelenggaraan bangunan gedung dengan jenis dan luasan tertentu baik bangunan gedung baru dan bangunan gedung eksisting, wajib memenuhi persyaratan bangunan gedung hijau. Jenis dan luasan bangunan gedung yang wajib memenuhi persyaratan bangunan gedung hijau meliputi:
a. bangunan gedung rumah susun, bangunan gedung perkantoran, bangunan gedung perdagangan, dan bangunan gedung yang memiliki lebih dari satu fungsi dalam 1 (satu) massa bangunan dengan luas batasan seluruh lantai bangunan lebih dari 50.000 m2 (lima puluh ribu meter persegi);
b. fungsi usaha, bangunan gedung perhotelan, fungsi sosial dan budaya, dan bangunan gedung pelayanan kesehatan, dengan luas batasan dengan luas batasan seluruh lantai bangunan lebih dari 20.000 m2 (dua puluh ribu meter persegi);
c. fungsi sosial dan budaya, bangunan gedung pelayanan pendidikan, dengan luas batasan seluruh lantai bangunan lebih dari 10.000 m2 (sepuluh ribu meter persegi).
Bangunan gedung baru adalah bangunan gedung yang sedang dalam tahap perencanaan. Persyaratan teknis bangunan gedung hijau untuk bangunan gedung baru meliputi :
a. efisiensi energi;
Efisiensi energi meliputi efisiensi dalam sistem selubung bangunan, sistem ventilasi, sistem pengkondisian udara, sistem pencahayaan, sistem transportasi dalam gedung; dan sistem kelistrikan.
b. efisiensi air;
Efisiensi air meliputi perencanaan peralatan saniter hemat air dan perencanaan pemakaian air.
c. kualitas udara dalam ruang;
Kualitas udara dalam ruang harus memperhitungkan laju pergantian udara dalam ruang dan masukan udara segar sehingga tidak berbahaya bagi penghuni dan lingkungan.
d. pengelolaan lahan dan limbah; dan
Pengelolaan lahan dan libah meliputi persyaratan tata ruang mengenai perencanaan lanskap pada bagian dalam dan luar gedung dan perencanaan sistem penampungan air hujan , fasilitas pendukung, dan pengelolaan limbah padat dan cair.
e. pelaksanaan kegiatan konstruksi.
Pelaksaan kegiatan konstruksi meliputi keselamatan, kesehatan kerja dan lingkungan, konservasi air pada saat pelaksanaan kegiatan konstruksi, dan pengelolaan limbah Bahan Berbahaya dan Beracun kegiatan konstruksi.
Bangunan gedung eksisting adalah bangunan gedung yang sedang dalam tahap pelaksanaan konstruksi dan/atau sudah dalam tahap pemanfaatan. Persyaratan teknis bangunan gedung hijau untuk bangunan gedung eksisting meliputi :
a. konservasi dan efisiensi energi;
b. konservasi dan efisiensi air;
Konservasi dan efisiensi air meliputi meliputi efisiensi penggunaan air dan pemantauan kualitas air.
c. kualitas udara dalam ruang dan kenyamanan termal; dan
d. manajemen operasional/pemeliharaan.
Manajemen operasional/pemeliharaan meliputi kegiatan monitoring dan evaluasi.

Terhadap perencanaan dan pelaksanaan bangunan gedung yang melanggar Peraturan Gubernur ini dapat dikenakan sanksi administrative berupa tidak diterbitkannya Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dan/ atau Sertifikat Laik Fungsi (SLF).
Maria Amanda

read more

Aspek Perpajakan dalam Jual Beli Properti

Latar Belakang
Bisnis jual beli properti telah banyak diminati oleh banyak orang. Dalam melakukan bisnis jual beli properti, tidak hanya dibutuhkan kesepakatan di antara penjual dan pembeli, namun juga terdapat hal-hal yang harus dilakukan oleh kedua belah pihak sebagai salah satu kewajiban kepada Negara. Kewajiban tersebut adalah pembayaran pajak dalam pengalihan properti yang harus dilakukan oleh pembeli dan penjual.

Di Indonesia, telah dikenal beberapa jenis pajak yang harus dipenuhi oleh penjual dan pembeli dalam usaha jual beli properti, yaitu:

1. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)

Pengaturan mengenai PBB terdapat dalam Undang-undang No 12 tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana diubah dengan Undang-undang No 12 tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (“UU PBB”).

Berdasarkan Penjelasan Pasal 3 ayat (2) UU PBB, PBB adalah pajak negara yang sebagian besar penerimaannya merupakan pendapatan daerah yang antara lain dipergunakan untuk penyediaan fasilitas yang juga dinikmati oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Pada awalnya PBB merupakan pajak yang proses administrasinya dilakukan oleh pemerintah pusat dan seluruh penerimaannya dibagikan ke daerah dengan proporsi tertentu. Dalam perkembangan selanjutnya, diberlakukan Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (“UU No. 28/2009”) dimana seluruh proses pengelolaan PBB, khususnya sektor pedesaan dan perkotaan akan dilakukan oleh pemerintah daerah. Besarnya tarif PBB yang dikenakan atas objek pajak adalah sebesar 0,5 %.

Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 362/KMK.04/1999 tentang Pemberian Pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan, sebagaimana diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 110/PMK.03/2009 tentang Perubahan atas Keputusan Menteri Keuangan Nomor 362/KMK.04/1999 tentang Pemberian Pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan, besarnya insentif PBB Properti adalah berupa:

NJKP (Nilai Jual Kena Pajak) 20% untuk NJOP (Nilai Jual Objek Pajak) < Rp 1 Milyar; pemberian NJOPTKP (Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak); pemberian pengurangan karena kondisi tertentu objek pajak yang ada hubungannya dengan subjek pajak dan/atau karena sebab-sebab tertentu lainnya. 2. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Pengaturan mengenai BPHTB terdapat dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (“UU BPHTB”). Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU BPHTB, BPHTB adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. BPHTB tersebut dikenakan kepada pembeli (Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) UU BPHTB). Besarnya tarif pajak BPHTB adalah sebesar 5%. Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 561/KMK.03/2004 tentang Pemberian Pengurangan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, sebagaimana diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 104/PMK.01/2005, sebagaimana diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 91/PMK.03/2006 tentang Perubahan Kedua Atas Keputusan Menteri Keuangan Nomor 561/KMK.03/2004 tentang Pemberian Pengurangan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, insentif BPHTB properti berupa: Pemberian NPOTKP (Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak); Pemberian pengurangan karena kondisi tertentu wajib pajak yang ada hubungannya dengan objek pajak dan/atau karena sebab-sebab tertentu lainnya. 3. Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan Bangunan (PPh Pasal 4 ayat 2) Pengaturan mengenai Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan Bangunan terdapat dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991, sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994, sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000, sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (“UU Pajak Penghasilan”). Tarif PPh yang dikenakan terhadap penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan adalah sebesar 5% dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah atau bangunan. Tarif PPh atas Pengalihan hak atas Rumah Sederhana (RS) dan Rumah Susun Sederhana (RSS) yang dilakukan oleh wajib pajak yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, adalah sebesar 1% dari jumlah bruto nilai pengalihan. Berdasarkan Pasal 4 ayat (2) UU Pajak Penghasilan, penghasilan yang dapat dikenakan pajak final adalah: a. penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat utang negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi; b. penghasilan berupa hadiah undian; c. penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivatif yang diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh perusahaan modal ventura; d. penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha jasa konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan/atau bangunan; dan e. penghasilan tertentu lainnya, yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. Berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 4 ayat (2) huruf d, maka dapat disimpulkan bahwa penghasilan dari transaksi jual beli properti dikenakan pajak penghasilan. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan, sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1996, sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 1999, sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2008 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan, insentif pajak penghasilan atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah properti berupa: Pembebasan PPh bagi orang pribadi yang mempunyai penghasilan di bawah PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak) yang melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dengan jumlah bruto pengalihan kurang dari Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta Rupiah) dan bukan merupakan jumlah yang dipecah-pecah; Pengenaan tarif 1% (satu persen) dari jumlah bruto nilai pengalihan atas pengalihan hak atas Rumah Sederhana dan Rumah Susun Sederhana yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan (tarif umum 5%). 4. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Pengaturan mengenai PPN terdapat dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1994, sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000, sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (“UU PPN”). Berdasarkan Penjelasan UU PPN, Pajak Pertambahan Nilai adalah pajak atas konsumsi barang dan jasa di Daerah Pabean yang dikenakan secara bertingkat di setiap jalur produksi dan distribusi. Daerah Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan, dan ruang udara di atasnya, serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif dan landas kontinen yang di dalamnya berlaku Undang-Undang yang mengatur mengenai kepabeanan. Tarif Pajak Pertambahan Nilai adalah 10% (sepuluh persen) dari nilai transaksi. Pasal 4 ayat (1) UU PPN menyatakan bahwa PPN dikenakan atas: a. penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha; b. impor Barang Kena Pajak; c. penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha; d. pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; e. pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; f. ekspor Barang Kena Pajak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak; g. ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak; dan h. ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak. Pengecualian terhadap Pemungutan PPN 1. Bagi Rumah Sederhana dan Rumah Sangat Sederhana Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 36/PMK.03/2007 tentang Batasan Rumah Sederhana, Rumah Sangat Sederhana, Rumah Susun Sederhana, Pondok Boro, Asrama Mahasiswa dan Pelajar serta Perumahan Lainnya yang atas Penyerahannya Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, sebagaimana diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 80/PMK.03/2008, sebagaimana diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 31/PMK.03/2011 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 36/PMK.03/2007 tentang Batasan Rumah Sederhana, Rumah Sangat Sederhana, Rumah Susun Sederhana, Pondok Boro, Asrama Mahasiswa dan Pelajar, serta Perumahan Lainnya, yang atas Penyerahannya dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai; Rumah Sederhana dan Rumah Sangat Sederhana yang dibebaskan dari pengenaan PPN adalah rumah yang perolehannya secara tunai ataupun dibiayai melalui fasilitas kredit bersubsidi maupun tidak bersubsidi, atau melalui pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, yang memenuhi ketentuan: a. Luas bangunan tidak melebihi 36 m2 (tiga puluh enam meter persegi); b. Harga jual tidak melebihi Rp 70.000.000,00 (tujuh puluh juta Rupiah); c. Merupakan rumah pertama yang dimiliki, digunakan sendiri sebagai tempat tinggal dan tidak dipindahtangankan dalam jangka waktu 5 tahun sejak dimiliki. 2. Bagi Rumah Susun Sederhana Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 36/PMK.03/2007 tentang Batasan Rumah Sederhana, Rumah Sangat Sederhana, Rumah Susun Sederhana, Pondok Boro, Asrama Mahasiswa dan Pelajar serta Perumahan Lainnya yang atas Penyerahannya Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, sebagaimana diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 80/PMK.03/2008, sebagaimana diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 31/PMK.03/2011 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 36/PMK.03/2007 tentang Batasan Rumah Sederhana, Rumah Sangat Sederhana, Rumah Susun Sederhana, Pondok Boro, Asrama Mahasiswa dan Pelajar, serta Perumahan Lainnya, yang atas Penyerahannya dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai; Rumah Susun Sederhana yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai adalah bangunan bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang dipergunakan sebagai tempat hunian yang dilengkapi dengan KM/WC dan dapur baik bersatu dengan unit hunian maupun terpisah dengan penggunaan komunal, yang perolehannya secara tunai ataupun dibiayai melalui fasilitas kredit bersubsidi maupun tidak bersubsidi, yang memenuhi ketentuan:yang memenuhi ketentuan: a. harga jual untuk setiap hunian termasuk strata title tidak melebihi Rp 75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah); b. luas bangunan untuk setiap hunian tidak melebihi 21 m2 (dua puluh satu meter persegi); c. pembangunannya mengacu pada Peraturan Menteri Pekerjaan Umum yang mengatur mengenai Persyaratan Teknis Pembangunan Rumah Susun; dan d. merupakan unit hunian pertama yang dimiliki, digunakan sendiri sebagai tempat tinggal dan tidak dipindahtangankan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak dimiliki. 3. Bagi Rumah Susun Sederhana Milik (Rusunami) Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 155/KMK.03/2001 tentang Pelaksanaan Pajak Pertambahan Nilai yang dibebaskan atas Impor dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang Bersifat Strategis, sebagaimana diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 363/KMK.03/2002, sebagaimana diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 371/KMK.03/2003, sebagaimana diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 11/PMK.03/2007, sebagaimana diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 31/PMK.03/2008 tentang Perubahan Keempat atas Keputusan Menteri Keuangan Nomor 155/KMK.03/2001 tentang Pelaksanaan Pajak Pertambahan Nilai yang dibebaskan atas Impor dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang Bersifat Strategis; Rumah Susun Sederhana Milik (RUSUNAMI) adalah bangunan bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang dipergunakan sebagai tempat hunian yang dilengkapi dengan kamar mandi/WC dan dapur, baik bersatu dengan unit hunian maupun terpisah dengan penggunaan komunal, yang perolehannya dibiayai melalui kredit kepemilikan rumah bersubsidi atau tidak bersubsidi, yang memenuhi ketentuan : a. Luas untuk setiap hunian lebih dari 21 m2 dan tidak melebihi 36 m2; b. Harga jual untuk setiap hunian tidak melebihi Rp 144.000.000; c. Diperuntukkan bagi orang pribadi yang mempunyai penghasilan tidak melebihi Rp 4.500.000,- per bulan dan telah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP); d. Pembangunannya mengacu kepada Peraturan Menteri Pekerjaan umum yang mengatur mengenai persyaratan teknis pembangunan rumah susun sederhana; dan e. Merupakan unit hunian pertama yang dimiliki, digunakan sendiri sebagai tempat tinggal dan tidak dipindahtangankan dalam jangka waktu 5 tahun sejak dimiliki. 5. Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) Pajak Penjualan atas Barang Mewah adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi Barang Kena Pajak yang tergolong mewah di dalam Daerah Pabean (Penjelasan Pasal 8 ayat (2) UU PPN). Berdasarkan Pasal 8 ayat (1) UU PPN, Tarif PPnBM ditetapkan paling rendah 10% (sepuluh persen) dan paling tinggi 200% (dua ratus persen). Ekspor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah dikenai pajak dengan tarif 0% (nol persen). Besarnya tarif PPnBM bagi kelompok hunian mewah seperti rumah mewah, apartemen, kondominium, town house, dan sejenisnya adalah sebesar 20% (dua puluh persen). PPnBM dikenakan hanya 1 (satu) kali pada waktu penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah oleh pengusaha yang menghasilkan atau pada waktu impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah. Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) UU PPN, PPnBM dikenakan terhadap: a. penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah yang dilakukan oleh pengusaha yang menghasilkan barang tersebut di dalam Daerah Pabean dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya; dan b. impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah. Atas penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah oleh produsen atau atas impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah, di samping dikenai Pajak Pertambahan Nilai, dikenai juga Pajak Penjualan atas Barang Mewah dengan pertimbangan bahwa: a. perlu keseimbangan pembebanan pajak antara konsumen yang berpenghasilan rendah dan konsumen yang berpenghasilan tinggi; b. perlu adanya pengendalian pola konsumsi atas Barang Kena Pajak yang tergolong mewah; c. perlu adanya perlindungan terhadap produsen kecil atau tradisional; dan d. perlu untuk mengamankan penerimaan negara. Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 620/PMK.03/2004 tentang Jenis Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah selain Kendaraan Bermotor yang dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, sebagaimana diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 35/PMK.03/2008, sebagaimana diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 137/PMK.011/2008, sebagaimana diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 103/PMK.03/2009 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 620/Pmk.03/2004 tentang Jenis Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah selain Kendaraan Bermotor yang dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, PPnBM berupa: Pembatasan pengenaan PPnBM, hanya dikenakan untuk kelompok hunian mewah seperti rumah mewah, apartemen, kondominium, town house, dan sejenisnya dari jenis non strata title dengan luas bangunan 350 m2 atau lebih dan dari jenis strata title dengan luas bangunan 150 m2 atau lebih. Alsha Alexandra Kartika

read more

Peran Broker Properti

Broker properti berperan menegosiasikan penjualan properti antara penjual dan pembeli dengan menerima imbalan komisi tertentu. Broker propesional harus bertindak bagi kepentingan penjual dan pembeli dan bukan untuk kepentingan diri sendiri. Broker properti juga harus mampu memberikan solusi apabila ada ketidaksesuaian antara penjual dan pembeli dengan pendekatan win-win solution (sama-sama menang) sehingga tidak ada pihak yang merasa dirugikan.

read more