Tanah

Persyaratan dan Tata Cara untuk memperoleh Keterangan mengenai Data Fisik dan Data Yuridis Bidang Tanah

Berdasarkan Pasal 1 angka 6 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (“PP No. 24/1997”), data fisik adalah keterangan mengenai letak, batas dan luas bidang tanah dan satuan rumah susun yang didaftar, termasuk keterangan mengenai adanya bangunan atau bagian bangunan di atasnya.

Sedangkan, menurut Pasal 1 angka 7 PP No. 24/ 1997, data yuridis adalah keterangan mengenai status hukum bidang tanah dan satuan rumah susun yang didaftar, pemegang haknya dan hak pihak lain serta beban-beban lain yang membebaninya.

Persyaratan dan tata cara untuk memperoleh keterangan mengenai data fisik dan data yuridis diatur dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (“Permenag/Ka.BPN No. 3/1997”).

Berdasarkan Pasal 187 Permenag/Ka.BPN No. 3/1997, informasi mengenai data fisik dan data yuridis yang ada pada peta pendaftaran, daftar tanah, surat ukur dan buku tanah adalah terbuka untuk umum. Persyaratan untuk memperoleh informasi mengenai data fisik dan atau data yuridis bidang tanah adalah adanya permohonan tertulis dengan menyebutkan keperluannya, kecuali dalam hal SKPT yang diberikan untuk pemeriksaan sertifikat oleh PPAT tidak diperlukan permohonan tertulis. Informasi tersebut juga dapat diberikan kepada pihak yang berkepentingan secara visual atau secara tertulis. Apabila informasi diberikan secara tertulis, maka akan diberikan dalam bentuk Surat Keterangan Pendaftaran Tanah (“SKPT”).

Berdasarkan Pasal 191 Permenag/Ka.BPN No. 3/1997, data fisik dan data yuridis yang tercantum dalam daftar nama hanya dapat diberikan kepada Instansi Pemerintah yang memerlukan untuk keperluan pelaksanaan tugasnya. Tata cara permohonannya adalah dengan mengajukan permintaan yang menyebutkan keperluan tersebut. Permintaan tersebut dipenuhi setelah disetujui oleh Kepala Kantor Pertanahan.

Alsha Alexandra Kartika

read more

Pemecahan, Pemisahan, dan Penggabungan Bidang Tanah

Latar Belakang

Pengaturan mengenai pemecahan, pemisahan, dan penggabungan bidang tanah terdapat dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (“PP No. 24/1997”) dan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (“Permenag/Ka.BPN No. 3/1997”).

I. Pemecahan Bidang Tanah
Pemecahan bidang tanah secara rinci diatur dalam Pasal 48 PP No. 24/1997 dan Pasal 133 Permenag/Ka.BPN No. 3/1997.

PP No. 24/1997 maupun Permenag/Ka.BPN No. 3/1997 tidak menyebutkan secara jelas pengertian dari pemecahan bidang tanah. Namun, berdasarkan ketentuan dalam Pasal 48 ayat (1) PP No. 24/1997, dapat ditarik kesimpulan bahwa pemecahan bidang tanah adalah pemecahan satu bidang tanah yang sudah didaftar menjadi beberapa bagian atas permintaan pemegang hak yang bersangkutan. Berdasarkan Pasal 1 angka 2 PP No. 24/1997, bidang tanah adalah bagian permukaan bumi yang merupakan satuan bidang yang terbatas.

Syarat-syarat Pemecahan Bidang Tanah, yaitu:

Harus sesuai dengan rencana tata ruang yang berlaku serta tidak boleh mengakibatkan tidak terlaksananya ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Untuk pendaftarannya, masing-masing bidang tanah diberi nomor hak baru dan dibuatkan surat ukur, buku tanah dan sertifikat baru, sebagai pengganti nomor hak, surat ukur, buku tanah dan sertifikat asalnya. Surat ukur, buku tanah, dan sertifikat hak atas tanah semula dinyatakan tidak berlaku lagi.
Jika hak atas tanah yang bersangkutan dibebani dengan hak tanggungan, dan/atau beban-beban lain yang terdaftar, pemecahan bidang tanah baru boleh dilaksanakan setelah diperoleh persetujuan tertulis dari pemegang hak tanggungan atau pihak lain yang berwenang menyetujui penghapusan beban yang bersangkutan.
Dalam pelaksanaan pemecahan bidang tanah, sepanjang mengenai tanah pertanian, wajib memperhatikan ketentuan mengenai batas minimal sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Permohonan pemecahan bidang tanah yang telah didaftar, diajukan oleh pemegang hak atau kuasanya dengan menyebutkan untuk kepentingan apa pemecahan tersebut dilakukan dan melampirkan:
Sertifikat hak atas tanah yang bersangkutan
Identitas pemohon
Persetujuan tertulis pemegang Hak Tanggungan, apabila hak atas tanah yang bersangkutan dibebani Hak Tanggungan.

Akibat Hukum Pemecahan Bidang Tanah

Akibat hukum dari pemecahan bidang tanah adalah masing-masing bagian tanah merupakan satuan bidang baru dengan status hukum yang sama dengan bidang tanah semula.

II. Pemisahan Bidang Tanah
Pemisahan bidang tanah secara rinci diatur dalam Pasal 49 PP No. 24/1997 dan Pasal 134 Permenag/ Ka.BPN No. 3/1997.

PP No. 24/1997 maupun Permenag/Ka.BPN No. 3/1997 tidak menyebutkan secara jelas pengertian dari pemisahan bidang tanah. Namun, berdasarkan ketentuan dalam Pasal 49 ayat (1) PP No. 24/1997, dapat ditarik kesimpulan bahwa pemisahan bidang tanah adalah pemisahan satu bidang tanah yang sudah didaftar menjadi sebagian atau beberapa bagian atas permintaan pemegang hak yang bersangkutan.

Syarat-syarat Pemisahan Bidang Tanah, yaitu:

Untuk pendaftarannya, diberi nomor hak dan dibuatkan surat ukur, buku tanah dan sertifikat tersendiri.
Pada peta pendaftaran, daftar tanah, surat ukur, buku tanah dan sertifikat bidang tanah semula dibubuhkan catatan mengenai telah diadakannya pemisahan bidang tanah.
Catatan mengenai adanya hak tanggungan dan beban lain yang ada pada buku tanah dan sertifikat hak atas bidang tanah induk, dicatat pada buku tanah dan sertifikat hak atas bidang tanah yang dipisahkan.
Lampiran yang harus dibuat dalam pemisahan bidang tanah adalah:
Sertifikat hak atas tanah induk,
Identitas pemohon,
Persetujuan tertulis pemegang Hak Tanggungan, apabila hak atas tanah yang bersangkutan dibebani hak tanggungan.
Surat kuasa tertulis apabila permohonan diajukan bukan oleh pemegang hak.

Akibat Hukum Pemisahan Bidang Tanah

Persamaan status hukum antara bidang atau bidang-bidang tanah yang dipisahkan dengan status bidang tanah induknya.
Dalam hal pemisahan terhadap bidang tanah yang luas, yang diambil sebagian tanahnya dan menjadi satuan bidang tanah baru, bidang tanah induknya masih ada dan tidak berubah identitasnya, kecuali mengenai luas dan batasnya.

III. Penggabungan Bidang Tanah
Penggabungan bidang tanah secara rinci diatur dalam Pasal 50 PP No. 24/1997 dan Pasal 135 Permenag/Ka.BPN No. 3/1997.

PP No. 24/1997 maupun Permenag/Ka.BPN No. 3/1997 tidak menyebutkan secara jelas pengertian dari penggabungan bidang tanah. Namun berdasarkan ketentuan dalam Pasal 50 ayat (1) PP No. 24/1997, dapat ditarik kesimpulan bahwa penggabungan bidang tanah adalah penggabungan dua bidang tanah atau lebih yang sudah didaftar dan letaknya berbatasan, dan kesemuanya merupakan atas nama pemilik yang sama, sehingga menjadi satu satuan bidang baru atas permintaan pemegang hak yang bersangkutan.

Syarat-syarat Penggabungan Bidang Tanah, yaitu:

Semua bidang tanah dimiliki dengan hak yang sama dan bersisa jangka waktu yang sama.
Untuk pendaftarannya, diberi nomor hak dan dibuatkan surat ukur, buku tanah, dan sertifikat baru.
Pendaftaran dilakukan dengan menyatakan tidak berlaku lagi surat ukur, buku tanah, dan sertifikat hak atas bidang-bidang tanah yang digabung.
Membuat surat ukur, buku tanah dan sertifikat baru untuk bidang tanah hasil penggabungan.
Lampiran yang harus dibuat dalam penggabungan bidang tanah adalah:
Sertifikat-sertifikat hak atas bidang-bidang tanah yang akan digabung,
Identitas pemohon.
Dapat dilakukan apabila tidak ada catatan mengenai beban Hak Tanggungan atau beban lainnya pada hak atas bidang-bidang tanah yang akan digabung.

Akibat Hukum Penggabungan Bidang Tanah

Akibat hukum dari penggabungan bidang tanah adalah persamaan status hukum bidang tanah hasil penggabungan dengan status bidang-bidang tanah yang digabung.

Alsha Alexandra Kartika

read more

Aspek Hukum Pemberian Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai di atas Tanah Hak Milik

Berdasarkan Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (“UUPA”), menyebutkan:
“Hak Guna Bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun.”

Hak Guna Bangunan (“HGB”) dapat diperpanjang dengan jangka waktu paling lama 20 tahun atas permintaan dari pemegang hak dan dengan mengingat keperluan serta keadaan bangunan-bangunannya. Subyek yang dapat menjadi pemegang HGB adalah Warga Negara Indonesia atau badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Yang termasuk dalam badan hukum adalah semua lembaga yang menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku diberi status sebagai badan hukum, misalnya adalah Perseroan Terbatas, Koperasi, Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun, dan Yayasan.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah, pemberian HGB di atas tanah Hak Milik dilakukan oleh pemegang Hak Milik dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (“PPAT”). Pemberian tersebut dilakukan dengan suatu perjanjian antara pemegang Hak Milik dengan calon pemegang HGB yang dicantumkan dalam akta yang dibuat oleh PPAT. Pemberian HGB di atas tanah Hak Milik tersebut wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan. Jangka waktu HGB di atas tanah Hak Milik diberikan paling lama 30 (tiga puluh) tahun. HGB di atas tanah Hak Milik dapat diperbaharui dengan pemberian HGB baru berdasarkan perjanjian yang dituangkan dalam akta yang dibuat oleh PPAT dan hak tersebut wajib didaftarkan pada kantor pertanahan setempat.

Berdasarkan Pasal 41 UUPA, menyebutkan: ,

“Hak Pakai adalah hak untuk menggunakan dan/ atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan Undang-undang ini.”

Pemberian Hak Pakai di atas tanah Hak Milik terjadi dengan pemberian tanah oleh pemegang Hak Milik dengan akta yang dibuat oleh PPAT. Pemberian Hak Pakai di atas tanah Hak Milik tersebut wajib didaftarkan dalam buku tanah pada Kantor Pertanahan. Hak Pakai di atas tanah Hak Milik juga mengikat pihak ketiga sejak saat pendaftarannya. Hak Pakai di atas tanah Hak Milik diberikan untuk jangka waktu paling lama 25 (dua puluh lima) tahun dan tidak dapat diperpanjang. Hak Pakai atas tanah Hak Milik dapat diperbaharui dengan pemberian Hak Pakai Baru berdasarkan perjanjian antara pemegang Hak Pakai dengan pemegang Hak Milik, yang dituangkan dalam akta yang dibuat oleh PPAT dan wajib didaftarkan pada kantor pertanahan setempat.

Alsha Alexandra Kartika

read more

Pembuktian Hak Lama pada Pendaftaran Tanah

Pasal 24 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (“PP No. 24/1997”) mengatur bahwa, untuk keperluan pendaftaran hak atas tanah yang berasal dari konversi hak-hak lama, dibuktikan dengan alat-alat bukti mengenai adanya hak tersebut berupa bukti-bukti tertulis, keterangan saksi dan atau pernyataan yang bersangkutan yang kadar kebenarannya oleh Panitia Ajudikasi dalam pendaftaran tanah secara sistematik atau oleh Kepala Kantor Pertanahan dalam pendaftaran tanah secara sporadik, dianggap cukup untuk memenuhi syarat mendaftar hak, pemegang hak dan hak-hak pihak lain yang membebaninya.

Permohonan tersebut harus disertai bukti kepemilikan/ dokumen asli yang membuktikan adanya hak yang bersangkutan. Alat-alat bukti yang dimaksudkan tersebut dapat berupa:

1. grosse akta hak eigendom yang diterbitkan berdasarkan Overschrijvings Ordonatie (S.1834-27), yang telah dibubuhi cacatan, bahwa hak eigendom yang bersangkutan dikonversi menjadi hak milik; atau

2. grosse akta hak eigendom yang diterbitkan berdasarkan Overschrijvings Ordonatie (S.1834-27) sejak berlakunya UUPA sampai tanggal pendaftaran tanah dilaksanakan menurut Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 di daerah yang bersangkutan; atau

3. surat bukti hak milik yang diterbitkan berdasarkan Peraturan Swapraja yang bersangkutan; atau

4. sertifikat hak milik yang diterbitkan berdasarkan Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 1959; atau

5. sertifikat hak milik dari Pejabat yang berwenang, baik sebelum ataupun sejak berlakunya UUPA, yang tidak disertai kewajiban untuk mendaftarkan hak yang diberikan, tetapi telah dipenuhi semua kewajiban yang disebut di dalamnya; atau

6. akta pemindahan hak yang dibuat di bawah tangan yang dibubuhi tanda kesaksian oleh Kepala Adat/Kepala Desa/Kelurahan yang dibuat sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini; atau

7. akta pemindahan hak atas tanah yang dibuat oleh PPAT, yang tanah-nya belum dibukukan; atau

8. akta ikrar wakaf/surat ikrar wakaf yang dibuat sebelum atau sejak mulai dilaksanakan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977; atau

9. risalah lelang yang dibuat oleh Pejabat Lelang yang berwenang, yang tanahnya belum dibukukan; atau

10. surat penunjukan atau pembelian kaveling tanah pengganti tanah yang diambil oleh Pemerintah atu Pemerintah Daerah; atau

11. petuk Pajak Bumi/Landrete, girik, pipil, kekitir dan Verponding Indonesia sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961; atau

12. surat keterangan riwayat tanah yang pernah dibuat oleh Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan; atau

13. lain-lain bentuk alat pembuktian tertulis dengan nama apapun juga sebagaimana dimaksud dalam Pasal II, VI dan VII Ketentuan-ketentuan Konversi UUPA.

Jika, bukti tertulis kepemilikan sebidang tanah tersebut tidak lengkap atau tidak ada lagi, pembuktian kepemilikan itu dapat dilakukan dengan keterangan saksi atau pernyataan yang bersangkutan yang dapat dipercaya kebenarannya menurut pendapat Panitia Adjudikasi atau oleh Kepala Kantor Pertanahan. Yang dimaksud dengan saksi adalah orang yang cakap memberi kesaksian dan mengetahui kepemilikan tersebut.

Dalam hal tidak atau tidak tersedianya secara lengkap alat-alat pembuktian di atas, maka Pasal 24 ayat (2) PP No. 24/1997, memberi jalan keluar dengan mengganti ketidaksediaan bukti kepemilikan sebidang tanah tersebut dengan bukti penguasaan fisik atas tanah yang bersangkutan selama 20 (dua puluh) tahun atau lebih secara berturut-turut oleh pemohon pendaftaran dan pendahulu-pendahulunya, dengan syarat:

a. bahwa penguasaan dan penggunaan tanah yang bersangkutan dilakukan secara nyata dan dengan itikad baik selama 20 tahun atau lebih secara berturut-turut;

b. bahwa kenyataan penguasaan dan penggunaan tanah tersebut selama itu tidak digangu gugat dan karena itu dianggap diakui dan dibenarkan oleh masyarakat hukum adat atau desa/kelurahan yang bersangkutan;

c. bahwa hal-hal tersebut diperkuat oleh kesaksian orang-orang yang dapat dipercaya;

d. bahwa telah diberikan kesempatan kepada pihak lain untuk mengajukan keberatan melalui pengumuman;

e. bahwa telah diadakan penelitian juga mengenai kebenaran hal-hal yang disebutkan di atas;

f. bahwa akhirnya kesimpulan mengenai status tanah dan pemegang haknya dituangkan dalam keputusan berupa pengakuan hak yang bersangkutan oleh Panitia Ajudikasi dalam pendaftaran tanah secara sistematik dan oleh Kepala Kantor Pertanahan dalam pendaftaran tanah secara sporadik;

Ketentuan Pasal 76 ayat (3) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (“Permenag/Ka.BPN No. 3/1997”) mengatur lebih lanjut mengenai bukti-bukti mengenai kepemilikan tanah yang tidak tersedia tersebut, sesuai yang tercantum pada Pasal 24 ayat (2) PP No. 24/1997. Permohonan yang diajukan tersebut harus disertai:

1.) surat pernyataan dari pemohon yang menyatakan hal-hal sebagai berikut:

a. bahwa pemohon telah menguasai secara nyata tanah yang bersangkutan selama 20 tahun atau lebih secara berturut-turut, atau telah memperoleh penguasaan itu dari pihak atau pihak-pihak lain yang telah menguasainya, sehingga waktu penguasaan pemohon dan pendahulunya tersebut berjumlah 20 tahun atau lebih.

b. bahwa penguasaan tanah itu telah dilakukan dengan itikad baik;

c. bahwa penguasaan itu tidak pernah digangu gugat dan karena itu dianggap diakui dan dibenarkan oleh masyarakat hukum adat atau desa/kelurahan yang bersangkutan;

d. bahwa tanah tersebut sekarang tidak memuat hal-hal yang tidak sesuai dengan kenyataan, penandatangan bersedia dituntut di muka Hakim secara pidana maupun perdata jika memberikan keterangan palsu;

2.) Keterangan dari Kepala Desa/Lurah yang biasanya disebut Surat Keterangan Tanah (“SKT”) dan sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi yang kesaksiannya dapat dipercaya, karena fungsinya sebagai tetua adat setempat dan/atau penduduk yang sudah lama bertinggal di desa/kelurahan letak tanah yang bersangkutan dan tidak mempunyai hubungan keluarga pemohon sampai derajat kedua baik dalam kekerabatan vertikal maupun horizontal, yang membenarkan apa yang dinyatakan oleh pemohon dalam surat pernyataan di atas.

Pembuktian hak-hak lama ini biasanya dilakukan oleh kelompok-kelompok masyarakat yang belum pernah tersentuh administrasi dan hukum pertanahan yang modern. Setelah bukti penguasaan fisik tersebut dilampirkan dalam permohonan hak atas tanah, lalu dilakukan pemeriksaan terhadap tanah sebagai bagian dari proses pendaftaran tanah, maka akan jelas bahwa pemegang hak maupun tanahnya telah terdaftar dan pemegang hak tersebut mempunyai hubungan hukum dengan tanahnya. Bukti bahwa pemegang hak berhak atas tanahnya adalah pemberian tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat yang dinamakan sertifikat tanah. Dengan adanya pendaftaran tanah dan penerbitan sertifikat tersebut, maka tercapailah kepastian hukum.

Sofie Widyana P.

read more

Ajudikasi Pendaftaran Tanah

Pengertian ajudikasi menurut Pasal 1 angka 8 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (“PP No 24/1997”) adalah “kegiatan yang dilaksanakan dalam rangka proses pendaftaran tanah untuk pertama kali, meliputi pengumpulan dan penetapan kebenaran data fisik dan data yuridis mengenai satu atau beberapa obyek pendaftaran tanah untuk keperluan pendaftarannya”. Kegiatan ajudikasi pendaftaran tanah tersebut merupakan prosedur khusus yang dilakukan untuk pemberian status hukum atas bagian-bagian tanah kepada pemilik yang benar-benar berwenang.

Pada pelaksanaan pendaftaran tanah secara sistematik, yang pada umumnya bersifat masal dan besar-besaran, maka untuk melaksanakannya Kepala Kantor Pertanahan dibantu oleh Panitia Ajudikasi yang dibentuk khusus untuk itu oleh Menteri atau Pejabat yang ditunjuk, sehingga dengan demikian tugas rutin Kantor Pertanahan tidak terganggu.

Dalam melaksanakan tugasnya, Panitia Ajudikasi dibantu oleh satuan tugas pengukuran dan pemetaan, satuan tugas pengumpul data yuridis dan satuan tugas administrasi yang tugas, susunan dan kegiatannya diatur Menteri.

Pada intinya tugas ajudikasi ini adalah tugas investigasi yang meneliti dan mencari kebenaran formal bukti, yakni data-data yuridis awal yang dimiliki pemegang hak atas tanah, dan tugas justifikasi, yaitu membuat penetapan dan pengesahan bukti yang sudah diteliti tersebut.

Walaupun tugas ajudikasi ini sebenarnya adalah tugas lembaga peradilan yaitu memberikan keputusan atau putusan, akan tetapi, dalam pendaftaran tanah tugas ajudikasi tersebut diberikan kepada pemerintah selaku eksekutif.

Kegiatan ajudikasi pendaftaran tanah ini, jika dilakukan dengan sungguh-sungguh akan sangat mendukung dalam percepatan pendaftaran tanah dan dapat menjamin kepastian hukum.

Sofie Widyana P.

read more

Hapusnya Hak atas Tanah

Ketentuan mengenai hapusnya hak atas tanah di atur dalam Pasal 27 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (“UUPA”) yang menyebutkan bahwa, hak kepemilikan atas tanah hapus apabila:
A. Tanahnya Jatuh kepada Negara
1. Karena pencabutan hak
Menurut ketentuan Pasal 18 UUPA bahwa untuk kepentingan umum termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan undang-undang. Ketentuan Pasal 18 UUPA ini selanjutnya dilaksanakan dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-hak atas Tanah dan Benda-benda yang Ada di Atasnya.
2. Karena penyerahan dengan sukarela oleh pemiliknya
Hapusnya hak atas tanah karena penyerahan dengan sukarela oleh pemiliknya ini berhubungan dengan Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 Tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum (“Kepres No. 55/1993”), yang dilaksanakan lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 1994 tentang Ketentuan Pelaksanaan Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum (“Permen No. 1/1994”), penyerahan sukarela ini menurut Kepres No. 55/1993 sengaja dibuat untuk kepentingan negara, yang dalam hal ini dilaksanakan oleh pemerintah.
3. Karena ditelantarkan
Pengaturan mengenai tanah yang terlantar diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar (“PP No. 36/1998”). Pasal 3 dan 4 PP No. 36/1998 mengatur mengenai kriteria tanah terlantar yaitu; (i) tanah yang tidak dimanfaatkan dan/atau dipelihara dengan baik. (ii) tanah yang tidak dipergunakan sesuai dengan keadaan, sifat atau tujuan dari pemberian haknya tersebut.
4. Karena ketentuan Pasal 21 ayat (3) dan Pasal 26 ayat (2) UUPA
Pasal 21 ayat (3) UUPA mengatur bahwa orang asing yang memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa wasiat atau pencampuran harta perkawinan, demikian pula warganegara Indonesia yang mempunyai hak milik dan setelah berlakunya UUPA ini kehilangan kewarganegaraannya, wajib melepaskan hak itu dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau hilangnya kewarganegaraan itu. Jika sesudah jangka waktu tersebut lampau hak milik itu tidak dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena hukum dan tanahnya jatuh kepada negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung.
Kemudian Pasal 26 ayat (2) UUPA menyatakan bahwa setiap jual-beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk langsung atau tidak langsung memindahkan hak milik kepada orang asing, kepada seorang warga negara yang di samping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing atau kepada suatu badan hukum, kecuali yang ditetapkan oleh Pemerintah yaitu badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik dan syarat-syaratnya, adalah batal karena hukum dan tanahnya jatuh kepada Negara, dengan ketentuan, bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung serta semua pembayaran yang telah diterima oleh pemilik tidak dapat dituntut kembali.
B. Tanahnya musnah
Sebagaimana pemberian, peralihan dan pembebanan Hak Milik yang wajib di daftar dalam buku tanah, pendaftaran hapusnya hak kepemilikan atas tanah juga wajib untuk dilakukan. Hal ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

Sofie Widyana P.

read more

Kegiatan Pendaftaran Tanah

Latar Belakang

Definisi pendaftaran tanah dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (“PP 24/1997”) merupakan penyempurnaan dari ruang lingkup kegiatan pendaftaran tanah berdasarkan Pasal 19 ayat (2) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (“UUPA”) yang meliputi: pengukuran, perpetaan dan pembukuan tanah, pendaftaran dan peralihan hak atas tanah serta pemberian tanda bukti hak sebagai alat pembuktian yang kuat.

Kegiatan pendaftaran tanah lebih lanjut diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, yaitu meliputi:

1. Kegiatan Pendaftaran Tanah untuk Pertama Kali (Opzet atau Initial Registration)

Pendaftaran tanah pertama kali adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk objek tanah yang belum didaftarkan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah (“PP 10/1961”) atau PP 24/1997. Pendaftaran tanah untuk pertama kali dilaksanakan melalui pendaftaran tanah secara sistematik dan pendaftaran tanah secara sporadik. Yang dimaksud dengan pendaftaran tanah secara sistematik adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali secara serentak yang meliputi semua objek pendaftaran tanah yang belum didaftar dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa/kelurahan (Pasal 1 angka 10 PP 24/1997). Sedangkan pendaftaran tanah secara sporadik adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kalinya mengenai satu beberapa objek pendaftaran tanah dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa/kelurahan secara individual atau massal (Pasal 1 angka 11 PP 24/1997).

Kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kalinya, meliputi:
a. Pengumpulan dan pengolahan data fisik

1. Pembuatan peta dasar pendaftaran

2. Pendaftaran batas bidang-bidang tanah

3. Pengukuran dan pemetaan bidang-bidang tanah dan pembuatan peta pendaftaran

4. Pembuatan daftar tanah

5. Pembuatan surat ukur

b. Pembuktian hak dan pembukuannya, meliputi;

1. Pembuktian hak baru

2. Pembuktian hak lama

c. Kegiatan pemeliharaan data pendaftaran tanah

d. Penyajian daftar umum dan dokumen

e. Kegiatan pemeliharan data pendaftaran tanah

2. Kegiatan Pemeliharaan Data Pendaftaran Tanah (Bijhouding atau Maintenance)

Kegiatan ini adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk menyesuaikan data fisik dan data yuridis dalam peta pendaftaran, daftar tanah, daftar nama, daftar surat ukur, buku tanah, dan sertifikat dengan perubahan-perubahan yang terjadi kemudian (Pasal 1 angka 12 PP 24/1997).

Berdasarkan Pasal 36 PP 24/1997, pemeliharaan data pendaftaran tanah dilakukan apabila terjadi perubahan pada data fisik atau data yuridis obyek pendaftaran tanah yang telah terdaftar. Perubahan fisik terjadi kalau diadakan pemisahan, pemecahan, atau penggabungan bidang-bidang tanah yang sudah didaftar. Perubahan data yuridis terjadi misalnya jika diadakan pembebanan atau pemindahan hak atas bidang tanah yang sudah didaftar.

Pemegang hak yang bersangkutan wajib mendaftarkan perubahan data fisik atau data yuridis tersebut kepada Kantor Pertanahan dan Kabupaten/Kota setempat untuk dicatat dalam buku tanah.

Kegiatan pemeliharaan data pendaftaran tanah, terdiri atas:

a. pendaftaran peralihan dan pembebanan hak.

1. pemindahan hak dengan lelang

2. peralihan hak karena pewarisan

3. peralihan hak karena penggabungan atau peleburan perseroan atau koperasi

4. pembebanan hak

5. penolakan pendaftaran peralihan dan pembebanan hak

b. pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah lainnya, meliputi:

1. perpanjangan jangka waktu hak atas tanah;

2. pemecahan, pemisahan, dan penggabungan bidang tanah

3. pembagian hak bersama;

4. hapusnya hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun

5. peralihan dan hapusnya hak tanggungan;

6. perubahan data pendaftaran tanah berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan;

7. perubahan nama.

Sofie Widyana P.

read more

Pembatalan Hak Atas Tanah

Latar Belakang

Dalam hal untuk melaksanakan ketentuan pemberian hak atas tanah berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (“UU No.5/1960”) dan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah (“PP No.40/1996”), maka perlu diatur mengenai tata cara pembatalan hak atas tanah, yang mana telah diatur dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian Dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara Dan Hak Pengelolaan (“Permenag 9/99”).

Pembatalan Hak Atas Tanah

Pasal 1 angka 14 Permenag 9/99 menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan pembatalan hak atas tanah adalah pembatalan keputusan pemberian hak atas tanah atau sertifikat hak atas tanah karena keputusan tersebut mengandung cacat hukum administrasi dalam penerbitannya atau untuk melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh ketetapan hukum tetap.

Pembatalan hak atas tanah meliputi pembatalan: (a) keputusan pemberian hak; (b) sertifikat hak atas tanah; dan (c) keputusan pemberian hak dalam rangka pengaturan penguasaan tanah. Pembatalan hak atas tanah tersebut diterbitkan karena cacat hukum administratif dalam penerbitan keputusan pemberian dan/atau sertifikat hak atas tanahnya atau melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Pembatalan hak atas tanah dilakukan dengan keputusan Menteri yang bertanggung jawab di bidang agraria/pertanahan (“Menteri”), dimana Menteri dapat melimpahkan kepada Kepala dari Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional, yakni Kantor Badan Pertanahan Nasional di tingkat Propinsi (“Kantor Wilayah”) atau Pejabat yang ditunjuk. [More…]

Pembatalan Hak Atas Tanah

Pembatalan hak atas tanah karena cacat hukum administrative

Yang dimaksud dengan cacat hukum administratif berdasarkan Pasal 107 Permenang 9/99 adalah (i) kesalahan prosedur, (ii) kesalahan penerapan peraturan perundang-undangan, (iii) kesalahan subyek hak, (iv) kesalahan objek hak, (v) kesalahan jenis hak, (vi) kesalahan perhitungan luas, (vii) terdapat tumpang tindih hak atas tanah, (viii) data yuridis atau data fisik tidak benar, atau (ix) kesalahan lainnya yang bersifat hukum administratif.

Keputusan pembatalan hak atas tanah karena cacat hukum administratif dalam penerbitannya, dapat dilakukan karena (i) permohonan dari yang berkepentingan atau (ii) Pejabat yang berwenang tanpa permohonan. Pembatalan hak atas tanah karena cacat hukum administratif melalui permohonan dari yang berkepentingan diajukan langsung kepada Menteri atau Pejabat yang ditunjuk atau melalui Kepala Kantor Pertanahan, yakni Badan Pertanahan Nasional di tingkat Kabupaten/Kota (“Kantor Pertanahan”). Sedangkan, pembatalan hak atas tanah karena cacat hukum administratif tanpa melalui permohonan oleh Pejabat yang berwenang dilaksanakan apabila diketahui adanya cacat hukum administratif dalam proses penerbitan keputusan pemberian hak atau sertifikatnya tanpa adanya permohonan.

Pembatalan hak atas tanah karena putusan pengadilan

Keputusan pembatalan hak atas tanah karena melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap diterbitkan atas permohonan yang berkepentingan, dimana permohonan tersebut diajukan langsung kepada Menteri atau Kepala Kantor Wilayah atau melalui Kantor Pertanahan.

Tata Cara Pembatalan Hak Atas Tanah

Terdapat beberapa proses dalam tata cara pembatalan hak atas tanah, sebagai berikut:

Kantor Pertanahan

Permohonan pembatalan hak atas tanah diajukan secara tertulis kepada Menteri melalui Kepala Kantor Pertanahan yang daerah kerjanya meliputi letak tanah yang bersangkutan, dengan dilampiri berkas-berkas, berupa: (i) fotocopy surat bukti identitas dan surat bukti kewarganegaraan (perorangan) atau fotocopy akta pendirian (badan hukum); (ii) fotocopy surat keputusan dan/atau sertifikat; (iii) surat-surat lain yang berkaitan dengan permohonan pembatalan.
Setelah berkas permohonan diterima, Kepala Kantor Pertanahan: (i) memeriksa dan meneliti kelengkapan data yuridis dan data fisik; (ii) mencatat dalam formulir isian; (iii) memberikan tanda terima berkas permohonan; (iv) memberitahukan kepada pemohon untuk melengkapi data yuridis dan data fisik apabila masih diperlukan.

Kantor Wilayah

Dalam hal permohonan pembatalan hak telah dilimpahkan kepada Kepala Kantor Wilayah, Kepala Kantor Wilayah akan mencatat dalam formulir tertentu yang telah ditetapkan dan memeriksa serta meneliti kelengkapan data yuridis dan data fisik, dan apabila belum lengkap, segera meminta Kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan untuk melengkapinya.
Dalam hal permohonan pembatalan hak telah dilimpahkan kepada Kepala Kantor Wilayah, Kepala Kantor Wilayah menerbitkan keputusan pembatalan hak atas tanah yang dimohon atau keputusan penolakan disertai dengan alasan penolakannya.

Menteri

Setelah menerima berkas permohonan, Menteri memerintahkan pejabat yang berwenang untuk memeriksa meneliti kelengkapan data yuridis dan data fisik, dan apabila belum lengkap, segera meminta Kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan untuk melengkapinya serta mencatat dalam formulir tertentu yang telah ditetapkan.
Menteri memutuskan permohonan tersebut dengan menerbitkan keputusan pembatalan hak atau penolakan disertai dengan alasan penolakannya,

Isrilitha Pratami Puteri

read more

Pewarisan Hak Pakai

Berdasarkan Pasal 41 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 mengenai Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (“Hukum Agraria”), hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain. Sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 42 Hukum Agraria, hak pakai dapat diberikan kepada:

warga negara Indonesia;
orang asing yang berkedudukan di Indonesia;
badan hukum yang didirikan dan berkedudukan di Indonesia; dan
badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia.

Peralihan Hak Pakai

Berdasarkan Pasal 54 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 mengenai Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas Tanah (“PP 40”), diatur bahwa hak pakai dapat dialihkan dengan beberapa cara:
jual beli;
tukar menukar;
penyertaan dalam modal;
hibah;
pewarisan.
Selanjutnya, dinyatakan bahwa peralihan atas hak pakai wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan. Untuk peralihan hak pakai yang terjadi karena pewarisan, dalam Pasal 54 ayat (7) disebutkan bahwa peralihan hak pakai harus dibuktikan dengan adanya surat wasiat atau surat keterangan waris yang dibuat oleh instansi yang berwenang.

Pasal 42 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 mengenai Pendaftaran Tanah (“PP 24”) mengatur secara khusus dokumen-dokumen yang harus disediakan oleh ahli waris untuk pendaftaran tanah:

sertifikat tanah;
surat keterangan kematian pemegang hak pakai;
surat keterangan waris.
Selain itu, dalam penjelasan Pasal 42 PP 24 menyatakan bahwa pengalihan hak pakai akan terjadi pada saat pemegang hak pakai meninggal, yang menunjukan bahwa ahli waris akan menjadi pemegang hak yang baru. Sehubungan dengan pihak yang berhak untuk menjadi ahli waris, hal tersebut akan bergantung pada hukum perdata yang berlaku bagi pemegang hak pakai yang ada.

Jerry Shalmont

read more