Sejak Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (“UUPA”) diundangkan, telah ditegaskan dalam Pasal 2 ayat (1), bahwa atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Lalu, bahwa hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat (1) memberi wewenang untuk:

  1. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;
  2. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa,
  3. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.

Maka berdasarkan hal tersebut Negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat berhak mengatur dan menyelenggarakan peruntukan hak atas permukaan bumi yang disebut tanah. Atas dasar tersebut, pemerintah Republik Indonesia mengundangkan Undang-Undang No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang yang kemudian dicabut dengan Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (“UU Tata Ruang”) yang dahulunya diatur berdasarkan Ordonansi Pembentukan Kota (Stadsvormingsordonnantie Staatsblad Tahun 1948 Nomor 168).

Kewenangan Pemerintah untuk Penataan Ruang

Pasal 3 UU Tata Ruang, mengatur bahwa Negara mempunyai tugas untuk menyelenggarakan penataan ruang untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat dan dalam tugasnya memberikan wewenang kepada Pemerintah/pemerintah daerah. Dalam penyelenggaraannya Negara tetap menghormati hak yang dimiliki orang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Wewenang Pemerintah dalam menyelenggarakan penataan ruang meliputi pengaturan, pembinaan, pelaksanaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan penataan ruang wilayah nasional, provinsi, dan kabupaten/kota. Dalam pelaksanaan penataan ruang, pemerintah melalui pemerintah daerah berwenang untuk merencanakan tata ruang wilayah.

Lihat Juga  Daily Tips: Prosedur dan Mekanisme Pembuatan Akta Tanah

Perencanaan tata ruang dilakukan untuk menghasilkan rencana umum tata ruang dan rencana rinci tata ruang. Penyusunan rencana rinci tersebut dimaksudkan sebagai operasionalisasi rencana umum tata ruang dan sebagai dasar penetapan peraturan zonasi yang merupakan ketentuan yang mengatur tentang persyaratan pemanfaatan ruang dan ketentuan pengendaliannya dan disusun untuk setiap blok/zona peruntukan yang penetapan zonanya dalam rencana rinci tata ruang. Dengan ini, salah satu bentuk penetapan kewenangan penataan ruang pemerintah adalah dengan menerbitkan suatu peraturan zonasi.

Peraturan Zonasi dan Hak Membangun

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang (“PP Tata Ruang”), pengaturan zonasi terdiri atas arahan peraturan zonasi sistem nasional, sistem provinsi, dan peraturan zonasi pada wilayah kabupaten/kota, yang tiap-tiap pengaturannya memuat ketentuan mengenai: (i) jenis kegiatan yang diperbolehkan, diperbolehkan dengan syarat, dan tidak diperbolehkan, (ii) intensitas pemanfaatan ruang, (iii) prasarana dan sarana minimum, dan (iv) ketentuan lain yang dibutuhkan.

Intensitas pemanfaatan ruang sebagai bentuk ketentuan dalam suatu peraturan zonasi paling sedikit terdiri atas:

  1. koefisien dasar bangunan (“KDB”) maksimum;
  2. koefisien lantai bangunan (“KLB”) maksimum;
  3. ketinggian bangunan maksimum; dan
  4. koefisien dasar hijau minimum,

maka dengan kewenangan untuk mengatur zonasi serta intensitas pemanfaatan ruang, hak membangun pun dibatasi untuk memenuhi ketentuan-ketentuan tersebut. Pengembangan di lokasi tertentu dapat dibebankan dengan ketentuan intensitas pemanfaatan ruang yang lebih ketat yang dapat mempersulit pengembang.

Lebih lanjut, PP Tata Ruang mengatur tentang insentif dan disinsentif sebagai bentuk pengendalian pemanfaatan ruang. Insentif dan disinsentif dalam penataan ruang diciptakan untuk meningkatkan upaya pengendalian pemanfaatan ruang dan untuk memfasilitasi kegiatan pemanfaatan ruang agar sejalan dengan rencana tata ruang serta untuk meningkatkan kemitraan semua pemangku kepentingan dalam rangka pemanfaatan ruang yang sejalan dengan rencana tata ruang.

Lihat Juga  Hukum Tanah Nasional - Tanah Terlantar

Insentif diberikan untuk kegiatan pemanfaatan ruang pada kawasan yang didorong pengembangannya, yang dapat berupa insentif fiskal dan/atau non-fiskal. Insentif dari pemerintah kepada masyarakat dapat berupa: (i) keringanan pajak, (ii) pemberian kompensasi, (iii) pengurangan retribusi, (iv) imbalan, (v) sewa ruang, (vi) urun saham, (vii) penyediaan prasarana dan sarana, dan/atau (viii) kemudahan perizinan . Sedangkan disinsentif diberikan untuk kegiatan pemanfaatan ruang pada kawasan yang dibatasi pengembangannya, yang dapat berupa disinsentif fikal dan disinsentif non fiskal.

Dalam hal ini pengembang yang mematuhi ketentuan peraturan zonasi dan penataan ruang, namun berkurang hak membangunnya (developmental rights) oleh karena kawasan pengembangannya ditetapkan oleh pemerintah sebagai ruang yang didorong pengembangannya dapat memperoleh insentif. Sebagai contoh, suatu persil terletak dalam zona dengan ketentuan maksimum KLB 6. Dalam kawasan tersebut juga terdapat bangunan lain yang terkena dampak peraturan pelestarian bangunan sehingga pemilik bangunan tersebut tidak dapat menggunakan secara penuh hak membangunnya atas ketentuan KLB tersebut. Maka, pemilik bangunan tersebut dapat mendapatkan insentif dalam bentuk yang diatur dalam PP Tata Ruang.


Joshua Panjaitan