Insentif dan Pengalihan Hak Membangun

PP Tata Ruang mengatakan pada Pasal 175 bahwa mekanisme pemberian insentif yang berasal dari pemerintah daerah diatur dengan peraturan gubernur. Namun kami memandang bentuk insentif tersebut pun diatur dalam peraturan nasional, dalam hal ini melalui Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 06/PRT/M/2007 tentang Pedoman Umum Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (“Permen RTBL”). Dalam lampiran Permen RTBL dikatakan bahwa Sistem Pengalihan Nilai Koefisien Lantai Bangunan (TDR: Transfer of Developmental Rights), adalah hak pemilik bangunan/pengembang yang dapat dialihkan kepada pihak atau lahan lain, yang dihitung berdasarkan pengalihan nilai KLB, yaitu selisih antara KLB aturan dan KLB terbangun yang maksimum pengalihan umumnya sebesar 10% dari nilai KLB yang ditetapkan. Pengalihan nilai KLB tersebut hanya dimungkinkan bila terletak dalam satu daerah perencanaan yang sama dan terpadu, serta yang bersangkutan telah memanfaatkan 60% KLB-nya dari KLB yang sudah ditetapkan pada daerah perencanaan.

Lebih lanjut, mengacu pada Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang / Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 16 Tahun 2017 tentang Pedoman Pengembangan Kawasan Berorientasi Transit (“Permen TOD”), Pengalihan hak membangun (transfer of developmental rights – “TDR”) adalah suatu perangkat untuk mendorong pengalihan secara sukarela hak membangun dari suatu tempat yang ingin dipertahankan atau dilindungi menuju tempat atau kawasan yang diharapkan untuk berkembang. Pengalihan hak membangun tersebut dapat dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:

  1. Hak membangun yang dapat dialihkan berupa luas lantai dari selisih batasan KLB yang ditetapkan dalam peraturan zonasi dengan KLB yang telah digunakan dalam kaveling;
  2. Penerima pengalihan luas lantai mendapatkan paling tinggi 50% dari KLB yang ditetapkan di lahan perencanaan dimaksud;
  3. Pengalihan luas lantai hanya dapat dilakukan 1 kali;
  4. Terhadap lahan yang telah melakukan pengalihan luas lantai dan menerima pengalihan luas lantai tidak mendapatkan penambahan KLB;
  5. Dalam suatu lahan perencanaan telah melakukan pengalihan luas lantai kemudian ditetapkan KLB baru untuk lahan perencanaan tersebut, maka KLB selisih tidak dapat dialihkan.

Disamping itu, TDR dapat diterapkan ketika terdapat kaveling yang bangunannya ditetapkan sebagai cagar budaya, kawasan yang dijaga perkembangannya/dilindungi. TDR pun dapat menjadi perangkat pembiayaan untuk upaya perlindungan tersebut, sehingga masyarakat/pengembang yang kehilangan peluang ekonominya karena kebijakan tata ruang dapat tergantikan melalui perangkat TDR. TDR memungkinkan bagi pengembang/masyarakat yang menyetujui pengurangan penggunaan hak membangunnya dalam tanah tertentu untuk ditransfer kelebihan haknya ke tanah lain (dalam kawasan TOD) yang ingin dikembangkannya. Dengan TDR, pemilik dari tanah yang mentransfer hak membangunnya (KLB) menerima kompensasi dari hasil penjualan hak membangun yang dapat dialihkan (transferrable developmental rights) sebagai imbalan atas pembatasan tanahnya dari kemungkinan pembangunan di masa yang akan datang. TDR membutuhkan mekanisme yang mengatur hubungan antar pemilik tanah dan kesepakatan yang dibuat juga dengan pemerintah daerah serta kelembagaan yang baik untuk mengadministrasikan TDR sehingga proses dan hasilnya tercatat untuk menghindari masyarakat menjual/membeli hak membangunnya berkali-kali.

Lihat Juga  Dasar - Dasar Hukum Pertanahan (Seri 1)

Dengan ketentuan tersebut, maka insentif atas penataan ruang dapat berupa pengalihan hak membangun yang juga dapat diperjualbelikan oleh para pengembang/masyarakat, dengan ketentuan pengalihan tersebut hanya sebatas dengan KLB atas suatu lahan.

Pelaksanaan teknis pemberian insentif dan pengalihan hak membangun sebagaimana dimaksud dalam PP Tata Ruang diatur dalam Peraturan Gubernur, secara khusus untuk wilayah DKI Jakarta, diterbitkan Peraturan Gubernur No. 27 Tahun 2012 tentang Insentif Pemanfaatan Ruang Berupa Perhitungan Intensitas Ruang Berdasarkan Daerah Kepemilikan Lahan (“Pergub 27/2012”). Pergub ini diterbitkan dengan merujuk pada PP Tata Ruang, yang disusun untuk memberikan insentif kepada orang/badan hukum yang membangun sesuai rencana tata ruang dan memberikan sebagian tanahnya untuk infrastruktur utama kota mendahului ketersediaan infrastruktur utama yang menjadi kewajiban pemerintah.

Pasal 3 Pergub 27/2012 mengatur bahwa diberikan perlakuan khusus terhadap perhitungan intensitas ruang pada lahan yang dimohon berdasarkan luas lahan yang dimiliki, perhitungan intensitas ruang tersebut diberikan pada batasan intensitas ruang berupa KLB namun, perlakuan khusus tersebut dapat dilakukan setelah terlebih dahulu ditetapkan dalam Rapat Pimpinan Tim Pertimbangan Urusan Tanah yang kemudian dinyatakan dengan Keputusan Gubernur.

Lebih lanjut, Pasal 4 Pergub 27/2012 mengatur bahwa lokasi lahan yang dapat diberikan intensitas ruang berdasarkan suatu daerah kepemilikan lahan adalah sebagai berikut:

  1. berada pada lokasi yang sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (“RTRW”) dan didorong pengembangannya dan memenuhi minimal salah satu persyaratan sebagai berikut:
    1. berada di lokasi pusat kegiatan primer dan pusat kegiatan sekunder;
    2. berada di sekitar jaringan infrastruktur kota;
    3. berada pada kawangan campuran campuran yang diarahkan menjadi kawasan padat; dan
    4. berada pada kawasan transit oriented development (TOD).
  2. Memenuhi ketentuan teknis sebagai berikut:
    1. Bidang tanah yang tekena infrastruktur minimal berupa jalan, saluran atau prasarana lain; dan
    2. Tanah yang dikontribusikan untuk pembangunan infrastruktur dapat dimanfaatkan sesuai potensi ekonominya akibat terkena kewajiban penyediaan infrastruktur.
Lihat Juga  Hak Membangun

Selain itu, terdapat persyaratan yang diperlukan dalam rangka mengendalikan pemberian perlakuan khusus perhitungan intensitas ruang berdasarkan DKL, yaitu:

  1. Tidak menyebabkan perubahan struktur ruang;
  2. Tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan apabila lokasinya berada di area kawasan pemugaran;
  3. Tidak dapat diberikan pada peruntukan yang terkait perumahan seperti wisma kecil, wisma sedang, wisma besar, wisma taman, dan wisma flat;
  4. Tidak memberikan dampat negatif terhadap lingkungan sekitarnya seperti perubahan nilai guna lahan, menyebabkan kemacetan dan menyebabkan banjir;
  5. Harus terlebih dahulu dihitung ketersediaan dan kapasitas infrastruktur dan utilitas utama yang mendukungnya;
  6. Mempertimbangkan standar kebutuhan sarana (ruang) untuk kepentingan umum;
  7. Perhitungan intensitas ruang berdasarkan DKL hanya berlaku pada lahan-lahan yang luasnya lebih dari 5.000m2 dan pembangunannya secara vertikal atau lebih dari 4 lantai;
  8. Harus mengandung prinsip kesetaraan, dalam arti kesetaraan antara nilai lahan berikut konstruksinya yang menjadi kewajiban dengan keuntungan ekonomi pemilik lahan dikurangi perhitungan besarnya retribusi kenaikan KLB, apabila tidak menghitung intensitas berdasarkan DKL;
  9. Telah dikaji dan mendapatkan persetujuan dari TPUT.

Tanpa mengesampingkan persyaratan tersebut di atas, perhitungan Daerah Kepemilikan Lahan (“DKL”) pun diatur dalam Pergub 27/2012, dengan ketentuan:

  1. Perhitungan DKL yang terdiri atas 1 jenis peruntukan maka luas Daerah Perencanaan (luas lahan yang dimiliki dikurangi luas lahan untuk rencana jalan, saluran dan/atau luas lahan dengan peruntukan lain yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan tidak dapat digabung – “DP”) dihitung dari luas lahan yang dimiliki;
  2. Perhitungan DKL pada lahan yang terdiri dari 1 jenis peruntukan, maka luas DP dihitung secara proporsional atau sebanding dengan luas masing-masing peruntukannya;
  3. Perhitungan DKL yang terdiri atas lebih dari 1 jenis peruntukan namun terdapat peruntukan yang dikecualikan, maka proposi pada peruntukan yang dikecualikan tidak dapat dimanfaatkan.
Lihat Juga  Menuju Kepastian Hukum Pembelian Tanah

Pada 2014, DKI Jakarta menerbitkan Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 1 Tahun 2014 tentang Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi (“RDTR Jakarta”), dimana pada Pasal 597 mengatur bahwa pemerintah daerah DKI Jakarta menyusun Peraturan Zonasi (“PZ”) sebagai instrumen bagi Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), dan instansi terkait dalam pengendalian pemanfaatan ruang berdasarkan zona pemanfaatan ruang yang dirinci ke dalam sub zona pemanfaatan ruang. PZ tersebut terdiri dari, salah satunya adala Teknik Pengaturan Zonasi (“TPZ”), yang ditetapkan oleh Gubernur setelah mendapatkan pertimbangan dari BKPRD. Salah satu penerapan dari TPZ adalah dengan TDR yaitu kode b.

Melihat bahwa TDR dapat dialihkan, maka dapat diartikan bahwa hak membangun (developmental rights) yang dibatasi dengan PZ namun telah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pergub 27/2012 dapat dialihkan atau diperjualbelikan dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 622 RDTR DKI Jakarta:

  1. Pengalihan hak membangun berupa luas lantai dari satu persil lain dengan zona yang sama dalam satu batas administrasi kelurahan;
  2. Pengalihan hak membangun berupa luas lantai dari satu persil ke persil lain dengan zona yang sama dalam kawasan yang dikembangkan konsep TOD diperkenankan tidak dalam satu blok;
  3. Hak membangun yang dapat dialihkan berupa luas lantai dari selisih batasan KLB yang ditetapkan dalam PZ dengan KLB yang telah digunakan dalam kaveling;
  4. Pengalihan hak membangun berupa luas lantai tidak diperkenankan pada zona perumahan kampung, zona perumahan KDB sedang-tinggi, dan zona perumahan KDB rendah;
  5. Penerima pengalihan luas lantai setinggi-tingginya 50% dari KLB yang ditetapkan di lahan perencanaan dimaksud;
  6. Pengalihan luas lantai hanya dilakukan 1 kali;
  7. Terhadap lahan yang telah melakukan pengalihan luas lantai dan menerima pengalihan luas lantai tidak mendapatkan pelampauan KLB;
  8. Dalam suatu lahan perencaaan telah melakukan pengalihan luas lantai kemudian ditetapkan KLB baru untuk lahan perencaaan tersebut, maka selisih KLB tidak dapat dialihkan; dan
  9. Pengalihan luas lantai pada zona dalam suatu lahan perencanaan terpadu dan kompak yang telah memiliki Panduan Rancang Kota (UDGL), harus menetapkan kembali Panduan Rancang Kota (UDGL).

Joshua Panjaitan