Pendahuluan

Kegiatan pembangunan ekonomi di Indonesia terus berkembang dari waktu ke waktu. Secara makro, kegiatan pembangunan ekonomi meliputi berbagai aktivitas pembangunan, mulai dari pembangunan sektor perumahan, industri, transportasi, perdagangan dan lain-lain.1 Aktivitas pembangunan tersebut tentu memerlukan lahan dan ruang sebagai tempat untuk menampung kegiatan dimaksud.2 Dengan kondisi perekonomian Indonesia yang terus berkembang, penggunaan dan pemanfaatan lahan dan ruang juga kian membesar. Pengelolaan tata ruang menjadi bertambah penting ketika penggunaan ruang semakin besar. Selain kondisi perekonomian yang pesat, pengelolaan tata ruang juga menjadi penting karena adanya pertumbuhan penduduk yang berimbas kepada pertumbuhan kawasan perumahan dan pemukiman.3 Dengan demikian, perlu adanya pengaturan terkait perencanaan dan penataan ruang agar terwujudnya pemanfaatan ruang yang baik dan berkelanjutan. Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (“UU Penataan Ruang”) mengatur bahwa penataan ruang sebagai suatu sistem perencanaan tata ruang, pemanfaatan tata ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan antara satu dan yang lain dan harus sesuai dengan kaidah penataan ruang sehingga diharapkan (i) dapat mewujudkan pemanfaatan ruang yang berhasil guna dan berdaya guna serta mampu mendukung pengelolaan lingkungan hidup yang berkelanjutan, (ii) tidak terjadi pemborosan pemanfaatan ruang, dan (iii) tidak menyebabkan terjadinya penurunan kualitas ruang.4

UU Penataan Ruang mengatur bahwa rencana Rencana Tata Ruang (“RTR”) menghasilkan (a) rencana umum tata ruang dan (b) rencana rinci tata ruang.5 Rencana umum tata ruang secara berhierarki terdiri atas (i) Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (“RTRW Nasional”), (ii) Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (“RTRW Provinsi”), dan (iii) Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota (“RTRW Kabupaten/Kota”).6 Sedangkan rencana rinci tata ruang terdiri atas (a) rencana tata ruang pulau/kepulauan dan rencana tata ruang kawasan strategis nasional, (b) rencana tata ruang kawasan strategis provinsi dan (c) rencana detail tata ruang kabupaten/kota dan rencana tata ruang kawasan strategis kabupaten/kota (“RDTR”).7 Rencana rinci tata ruang disusun sebagai perangkat operasional rencana umum tata ruang yang disusun apabila rencana umum tata ruang belum dapat dijadikan dasar dalam pelaksanaan pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang dan/atau rencana umum tata ruang memerlukan perincian sebelum dioperasionalkan.8 Dengan demikian, RDTR tidak mungkin bertentangan dengan RTRW, karena RDTR merupakan perangkat operasional atau merupakan perincian dari RTRW.

Pasal 14 ayat (6) UU Penataan Ruang mengatur bahwa rencana detail tata ruang merupakan dasar bagi penyusunan peraturan zonasi. Peraturan zonasi dibentuk sebagai pedoman pengendalian pemanfaatan ruang yang disusun berdasarkan rencana rinci tata ruang untuk setiap zona9 Peraturan zonasi berisi ketentuan yang harus, boleh dan tidak boleh dilaksanakan pada zona pemanfaatan ruang yang dapat terdiri atas koefisian dasar ruang hijau, koefisien dasar bangunan, koefisien lantai bangunan, dan garis sempadan bangunan.10 Lebih lanjut, zona pada dasarnya dibagi menjadi 2 (dua), yaitu zona lindung dan zona budi daya.11 Sebagai contoh zona lindung yaitu zona konservasi seperti yang diperuntukkan sebagai cagar alam dan suaka margasatwa.12 Sedangkan contoh zona budi daya adalah zona yang diperuntukkan untuk perumahan, pariwisata, dan perkantoran.13 Melihat pada pengaturan tentang peraturan zonasi di atas, terlihat jelas bahwa tujuan dari peraturan zonasi ini adalah untuk mewujudkan pemanfaatan ruang yang tertib, sehingga pelaksanaan pembangunan harus dilakukan sesuai dengan peruntukkannya. Dengan demikian, pemanfaatan ruang oleh siapa pun tidak boleh bertentangan dengan rencana tata ruang.14 Lalu menjadi pertanyaan, dengan adanya perkembangan ekonomi di Indonesia, bagaimana jika ternyata ruang yang ditempati oleh seseorang tidak lagi sesuai dengan zona peruntukkannya? Apakah masyarakat dapat mengajukan permohonan perubahan zonasi? Sebagai contoh, DKI Jakarta merupakan salah satu kota yang padat penduduk dan memiliki perkembangan ekonomi yang pesat. Tentunya, dari waktu ke waktu akan ada pergeseran pemanfaatan ruang yang perlu disesuaikan. Oleh karena itu, Artikel ini akan membahas lebih lanjut mengenai perubahan zonasi di DKI Jakarta dan akan menjawab pertanyaan mengenai: apakah masyarakat dapat mengajukan permohonan perubahan zonasi di DKI Jakarta?

Lihat Juga  Unsur-Unsur yang Digunakan Hakim dalam Permohonan Keberatan atas Besaran Ganti Kerugian dalam Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum

Pembahasan

Sebagaimana telah diuraikan di atas, bahwa RTR terdiri dari (i) rencana umum tata ruang yaitu RTRW, yang terbagi menjadi RTRW Nasional, RTRW Provinsi, RTRW Kabupaten/kota (ii) rencana rinci tata ruang yang salah satunya merupakan RDTR. Pasal 14 ayat (6) UU Penataan Ruang mengatur bahwa rencana detail tata ruang merupakan dasar bagi penyusunan peraturan zonasi. Hal ini juga sejalan dengan pengertian RDTR. RDTR adalah rencana secara terperinci tentang tata ruang wilayah kabupaten/kota yang dilengkapi dengan peraturan zonasi kabupaten/kota.15 Lebih lanjut Pasal 27 Peraturan Menteri ATR/BPN No. 11 Tahun 2021 tentang Tata Cara Penyusunan, Peninjauan Kembali, Revisi, dan Penerbitan Persetujuan Substansi Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi, Kabupaten, Kota dan Rencana Detail Tata Ruang (“Permen ATR/BPN No.11/2021”) mengatur bahwa muatan RDTR kabupaten/kota meliputi (a) tujuan penataan wilayah perencanaan, (b) rencana struktur ruang, (c) rencana pola ruang, (d) ketentuan pemanfaatan ruang dan (d) peraturan zonasi. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa RDTR merupakan bagian dari RTR dan peraturan zonasi merupakan bagian dari RDTR.

Pasal 16 UU Penataan Ruang mengatur bahwa RTR dapat ditinjau kembali. Peraturan mengenai peninjauan kembali RTR diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang (“PP Penataan Ruang”) dan Peraturan Menteri ATR/BPN No. 11/2021. Peninjauan kembali adalah upaya untuk melihat kesesuaian antara RTR dan kebutuhan pembangunan yang memperhatikan perkembangan lingkungan strategis dan dinamika pembangunan serta pelaksanaan pemanfaatan ruang.16 Peninjauan kembali RTR dilakukan  1 (satu) kali dalam setiap periode 5 (lima) tahunan.17 Peninjauan Kembali RTR dapat dilakukan lebih dari 1 (satu) kali dalam periode 5 (lima) tahunan apabila terjadi perubahan lingkungan strategis berupa (a) bencana alam skala besar yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan, (b) perubahan batas territorial negara yang ditetapkan dengan undang-undang, (c) perubahan Batas Daerah yang ditetapkan dengan undang-undang, atau (d) perubahan kebijakan nasional yang bersifat strategis. Peninjauan RTR ini meliputi peninjauan kembali terhadap rencana umum tata ruang dan peninjauan kembali terhadap rencana rinci tata ruang.18 Hasil dari peninjauan kembali adalah berupa rekomendasi dari Menteri (dalam hal ini Menteri ATR/BPN) yang dapat berupa (i) RTR yang ada perlu direvisi karena ada perubahan kebijakan nasional yang mempengaruhi pemanfaatan ruang akibat perkembangan teknologi dan/atau keadaan yang bersifat mendasar atau (ii) RTR tidak perlu direvisi karena tidak ada perubahan kebijakan nasional yang mempengaruhi pemanfaatan ruang akibat perkembangan teknologi dan keadaan yang bersifat mendasar.19 Keadaan yang bersifat mendasar yang dimaksud antara lain berkaitan dengan bencana alam skala besar, perkembangan ekonomi, perubahan batas teritorial negara yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan.20 Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa jika akibat perkembangan ekonomi, RTR menjadi tidak lagi sesuai dengan peruntukkannya, maka RTR tersebut dapat direvisi berdasarkan rekomendasi dari Menteri. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, RDTR merupakan bagian dari RTR dan peraturan zonasi merupakan bagian dari RDTR. Maka, jika terdapat ketidaksesuaian pemanfaatan ruang dalam hal ini yang pemanfaatan ruang yang diatur dalam peraturan zonasi, dapat dilakukan revisi terhadap RDTR melalui peninjauan kembali yang telah mendapatkan rekomendasi dari Menteri.

Peraturan RDTR di DKI Jakarta

RDTR di DKI Jakarta diatur dalam Peraturan Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 31 Tahun 2022 tentang Rencana Detail Tata Ruang Wilayah Perencanaan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta (“Pergub No.31/2022”). Berdasarkan Pergub No.31/2022, zona adalah kawasan atau area yang memiliki fungsi dan karakteristik sesuai peruntukan.21 Namun, dalam Pergub No.31/2022 tidak mengatur secara jelas prosedur mengenai permohonan perubahan zonasi di DKI Jakarta. Oleh karena itu, permohonan perubahan zonasi di DKI Jakarta haruslah tunduk pada peraturan nasional dalam hal ini UU Penataan Ruang, PP Penataan Ruang dan Permen ATR/BPN No.11/2021.

Agar lebih jelas, penulis akan menjabarkan lebih lanjut mengenai prosedur peninjauan kembali dalam hal ini lebih konkrit terkait perubahan RDTR. Penjabaran ini juga dimaksudkan untuk melihat apakah dalam prosedur perubahan RDTR, terdapat prosedur khusus bagi masyarakat untuk dapat mengajukan permohonan perubahan zonasi.

Lihat Juga  Pengaturan dan Implementasi Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun di Indonesia

Prosedur Perubahan RDTR

  1. Penilaian RDTR oleh Pemerintah Daerah
    Permohonan peninjauan kembali RTDR dilakukan oleh Pemerintah Daerah kepada Menteri ATR/BPN.22  Permohonan peninjauan kembali yang dimohonkan oleh Pemerintah Daerah harus dilengkapi dengan kajian yang dilakukan berdasarkan kriteria yang paling sedikit meliputi (a) peluang kemajuan iklim investasi dan kemudahan berusaha, dan/atau (b) dinamika internal wilayah yang berimplikasi pada rencana perubahan pemanfaatan ruang.23  Tidak ada penjelasan lebih lanjut terkait kriteria tersebut dalam Permen ATR/BPN No.11/2021. Melihat pada kriteria tersebut, salah satu kriteria penilaian adalah dinamika internal wilayah. Dimana Permen ATR/BPN No.11/2021 juga tidak menjelaskan mengenai pengertian dinamika internal wilayah. Namun, jika melihat pada frasa dinamika internal dan melihat pada pengertian dari peninjauan kembali, dinamika internal wilayah dapat diartikan sebagai dinamika pembangunan internal suatu wilayah.

    Permen ATR/BPN No.11/2021 memang tidak menjelaskan mengenai dinamika internal maupun dinamika pembangunan. Namun, pengertian dinamika pembangunan dapat ditemukan pada Permen ATR/BPN No. 6 Tahun 2017 sebagai referensi meskipun telah dicabut oleh Permen ATR/BPN No.11/2021. Permen ATR/BPN No.6 Tahun 2017 mengatur bahwa dinamika pembangunan minimal meliputi data dan informasi mengenai perubahan arah pembangunan berdasarkan aspirasi masyarakat.24  Di wilayah DKI Jakarta sendiri, aspirasi masyarakat ini dapat disalurkan melalui portal yang biasanya disediakan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Sebagai contoh, pada peninjauan kembali RDTR tahun 2019, aspirasi masyarakat dapat disalurkan melalui portal Jakarta Satu.25  Pada portal tersebut masyarakat dapat memberikan saran dan masukan salah satunya juga memberikan masukan untuk perubahan zonasi.

  2. Permohonan Peninjauan Kembali oleh Pemerintah Daerah
    Setelah melakukan penilaian, Pemerintah Daerah mengajukan permohonan peninjauan kembali RDTR kepada Menteri ATR/BPN. Paling lama 1 (satu) bulan dari permohonan peninjauan kembali, Menteri ATR/BPN memberikan rekomendasi berupa (a) RDTR yang ada tetap berlaku sesuai dengan masa berlakunya, atau (b) RDTR perlu direvisi.26  Jika Menteri ATR/BPN merekomendasikan RDTR perlu dilakukan revisi, maka revisi RDTR dilaksanakan menggunakan prosedur penyusunan dan penetapan dibentuknya RDTR yang kemudian dilanjutkan dengan pencabutan RDTR sebelumnya.27 
  3. Prosedur Penyusunan dan Penetapan Peraturan Gubernur tentang RDTR
    Setelah Pemerintah Daerah mendapatkan rekomendasi revisi dari Menteri ATR/BPN, maka revisi RDTR dilaksanakan menggunakan prosedur penyusunan dan penetapan dibentuknya RDTR.28

Proses Penyusunan RDTR

Tata cara penyusunan RDTR meliputi (a) proses penyusunan, (b) pelibatan peran masyarakat dalam penyusunan, dan (c) pembahasan rancangan peraturan daerah tentang RDTR kabupaten/kota oleh Pemangku Kepentingan.29 Proses penyusunan sebagaimana disebutkan dalam huruf (a) terbagi lagi menjadi tahapan-tahapan, yaitu:30

  • Persiapan
  • Pengumpulan data dan informasi
  • Pengolahan data dan analisis
  • Perumusan konsepsi; dan
  • Penyusunan rancangan peraturan kepala daerah tentang RDTR kabupaten/kota.

Dalam tahap pengumpulan data dan informasi, untuk keperluan pengenalan karakteristik dari wilayah perencanaan serta untuk melakukan penyusunan rencana struktur ruang dan rencana pola ruang, dilakukan pengumpulan data dimana data primernya merupakan aspirasi masyarakat.31  Aspirasi masyarakat disini termasuk pelaku usaha dan komunitas adat serta informasi terkait potensi dan masalah penataan ruang yang didapat melalui metode penyebaran angket, forum diskusi publik, wawancara orang per orang, kotak aduan, dan lainnya.32  Lebih lanjut, proses penyusunan tersebut dilanjutkan dengan pelibatan peran masyarakat dalam penyusunan sebagaimana disebutkan pada huruf (b). Pelibatan peran masyarakat dalam penyusunan RDTR dapat berupa pengajuan usulan, keberatan, dan sanggahan terhadap naskah Raperkada RDTR melalui media massa, website resmi lembaga pemerintah yang berwenang, dan lain sebagainya.33  Setelah pelibatan peran masyarakat, dilanjutkan dengan proses pembahasan rancangan peraturan daerah tentang RDTR oleh Pemangku Kepentingan sebagaimana disebutkan dalam huruf (c). Pembahasan rancangan RDTR oleh pemangku kepentingan ini dilakukan melalui konsultasi publik yang dilakukan minimal 1 (satu) kali dengan melibatkan DPRD, perguruan tinggi, pemerintah provinsi, swasta, asosiasi perencana, dan masyarakat.34 

Penetapan RDTR

Prosedur penetapan RDTR meliputi:35

  • Konsultasi Publik rancangan peraturan kepala daerah tentang RDTR dengan Masyarakat termasuk DPRD;
  • Penyampaian rancangan peraturan kepala daerah tentang RDTR kabupaten/kota kepada Menteri ATR/BPN untuk memperoleh persetujuan substansi;
  • Pembahasan lintas sektor dalam rangka pemberian persetujuan substansi oleh Menteri ATR/BPN bersama kementrian/Lembaga, Pemerintah Daerah provinsi, pemerintah daerah kabupaten/kota, DPRD, dan seluruh Pemangku Kepentingan terkait.
  • Penetapan rancangan peraturan kepala daerah kabupaten/kota tentang RDTR kabupaten/kota oleh bupati/wali kota sesuai dengan persetujuan substansi oleh Menteri.

Kesimpulan

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa peraturan zonasi merupakan bagian dari RDTR. Maka, jika terjadi perubahan pemanfaatan ruang yang diatur dalam peraturan zonasi, maka RDTR harus dilakukan revisi RDTR melalui peninjauan kembali dengan rekomendasi dari Menteri ATR/BPN. Pergub No.31/2022 tidak mengatur secara khusus prosedur mengenai perubahan zonasi di DKI Jakarta. Oleh karena itu, permohonan perubahan zonasi harus tunduk pada UU Penataan Ruang, PP Penataan Ruang, dan Permen ATR/BPN No.11/2021. Tidak ada prosedur yang khusus atau prosedur terpisah terkait permohonan perubahan zonasi oleh masyarakat. Namun, dalam prosedur peninjauan kembali RDTR, terdapat beberapa tahapan yang melibatkan peran masyarakat untuk dapat menyalurkan aspirasinya salah satunya mengenai perubahan zonasi, yaitu pada tahap (i) penilaian RDTR oleh Pemerintah Daerah, (ii) tahap penyusunan dan penetapan rancangan RDTR. Peran masyarakat dapat berupa pengajuan usulan, keberatan, dan sanggahan yang dapat disampaikan melalui media massa, website resmi lembaga pemerintah yang berwenang, dan diskusi publik yang nantinya dijadikan pertimbangan bagi pemerintah dalam penyusunan RDTR.

Saran

Masyarakat perlu memerhatikan waktu dari Peninjauan Kembali RDTR untuk dapat menyampaikan saran dan masukan terkait permohonan perubahan zonasi. Masyarakat harus turut aktif memerhatikan dalam hal ada sarana yang dibuka oleh Pemerintah untuk dapat menyalurkan saran dan masukan terkait perubahan zonasi. Disamping itu, perubahan zonasi yang akan dimohonkan perlu memerhatikan RTRW Provinsi dan RTRW Nasional agar aspirasi yang disampaikan oleh masyarakat tidak bertentangan dengan RTRW Provinsi dan RTRW Nasional. Hal ini dilakukan untuk menghindari risiko aspirasi yang disampaikan tidak diakomodir oleh Pemerintah Daerah dalam Peninjauan Kembali RDTR.

Fitri Nabilla Aulia

Sources

  1. Juniarso Ridwan dan Achmad Sodik, Hukum Tata Ruang dalam Konsep Kebijakan Otonomi Daerah, Bandung:  Nuansa, 2016, hlm. 20.
  2. Ibid.
  3. Ibid. hlm. 21.
  4. Penjelasan Umum No. 5 UU Penataan Ruang.
  5. Pasal 14 UU Penataan Ruang.
  6. Pasal 14 ayat (2) UU Penataan Ruang.
  7. Pasal 14 ayat (3) UU Penataan Ruang.
  8. Pasal 14 ayat (4) dan (5) UU Penataan Ruang.
  9. Pasal 36 ayat (1) dan (2) UU Penataan Ruang.
  10. Penjelasan Pasal 36 ayat (1) UU Penataan Ruang.
  11. Pasal 28 ayat (3) Peraturan Menteri ATR/BPN No. 11 Tahun 2021 tentang Tata Cara Penyusunan, Peninjauan Kembali, Revisi, dan Penerbitan Persetujuan Substansi Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi, Kabupaten, Kota dan Rencana Detail Tata Ruang.
  12. Lampiran IV. 2 Muatan Rencana Detail Tata Ruang Peraturan Menteri ATR/BPN No. 11 Tahun 2021 tentang Tata Cara Penyusunan, Peninjauan Kembali, Revisi, dan Penerbitan Persetujuan Substansi Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi, Kabupaten, Kota dan Rencana Detail Tata Ruang.
  13. Ibid.
  14. Penjelasan Umum No.5 UU Penataan Ruang.
  15. Pasal 1 angka 10 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja
  16. Pasal 1 Angka 12 Permen ATR/BPN No.11/2021
  17. Pasal 93 ayat (1) PP Penataan Ruang
  18. Pasal 92 PP Penataan Ruang
  19. Penjelasan Pasal 20 ayat (4) UU Penataan Ruang
  20. Penjelasan Pasal 20 ayat (5) UU Penataan Ruang
  21. Pasal 1 angka 7 Pergub No.31/2022
  22. Ibid
  23. Pasal 34 ayat (1) dan (2) Permen ATR/BPN No.11/2021
  24. Pasal 11 ayat (3) jo. Poin 2 huruf d, Bagian A Lampiran II Permen ATR/BPN No.6 Tahun 2017
  25. Portal PK RDTR-PZ, https://jakartasatu.jakarta.go.id/pkrdtr/ diakses pada 20 April 2023
  26. Pasal 34 ayat (5) Permen ATR/BPN No.11/2021.
  27. Pasal 35 Permen ATR/BPN No.11/2021.
  28. Ibid.
  29. Pasal 19 Permen ATR/BPN No.11/2021
  30. Pasal 20 Permen ATR/BPN No.11/2021
  31. Lampiran IV.1 Permen ATR/BPN No.11/2021
  32. Ibid.
  33. Ibid.
  34. Ibid.
  35. Pasal 85 ayat (1) PP Penataan Ruang.
Lihat Juga  Contoh Kasus Pertanahan