Penundaan Kewajiban  Pembayaran Utang (PKPU) adalah cara untuk me-resturukturisasi utang atau kewajiban debitur terhadap para krediturnya. Ketentuan PKPU hanya diatur dalam satu undang-undang bersama dengan ketentuan kepailitan, yaitu Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Hak untuk mengajukan permohonan PKPU pada awalnya diberikan untuk debitur saja (berdasarkan undang-undang lama di tahun 1998), tetapi kemudian diganti dengan hak kepada entah debitur atau kreditur (berdasarkan Undang-Undang terbaru tahun 2004).

Belum lama, tepatnya pada tanggal 1 Desember 2021, Mahkamah Konstitusi (MK) menjatuhkan Putusan (Putusan No. 23/PUU-XIX/2021) atas pengujian tiga ketentuan undang-undang, yaitu Pasal 235 ayat (1), Pasal 293 ayat (1). dan Pasal 295 ayat (1). MK menerima sebagian dari gugatan dan menyatakan, bahwa baik Pasal 235 ayat (1) maupun Pasal 293 ayat (1) undang-undang kepailitan melanggar Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan mengikat, jika tidak dimaknai: “diperbolehkannya upaya hukum kasasi terhadap putusan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang diajukan oleh kreditor dan ditolaknya tawaran perdamaian dari debitor.” MK menolak pengujian Pasal 295 ayat (1). Putusan ini menunjukkan, putusan PKPU oleh pengadilan tingkat pertama dapat digugat melalui upaya hukum kasasi. Hal ini tidak diperkenankan sebelum putusan ini terbit pada Desember 2021.

Mari kita cek isi dari Pasal 235 (1) dan Pasal 293 (1). Pasal 235 (1) mengatur, “Terhadap putusan penundaan kewajiban pembayaran utang tidak dapat diajukan upaya hukum apapun.” Dan Pasal 293 (1) mengatur, “Terhadap putusan Pengadilan berdasarkan ketentuan dalam Bab III ini tidak terbuka upaya hukum, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.” Pemohon uji materiil mendalilkan bahwa kedua pasal tersebut melanggar Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. Pasal 28D (1) berbicara mengenai prinsip persamaan di hadapan hukum. Pemohon pada intinya mengemukakan bahwa kedua pasal tersebut tidak mencerminkan prinsip keadilan dan melanggar Pasal 28D (1) Undang-Undang Dasar 1945 sehingga dimungkinkan bahwa pihak lain akan menggunakan ketentuan tersebut (permohonan PKPU oleh kreditor) untuk “merekayasa persaingan bisnis yang tidak sehat dengan tujuan menjatuhkan dan menghentikan bisnis kompetitornya melalui pengadilan niaga.”

Lihat Juga  Podcast on Real Estate Law - Pengalihan

Mahkamah Konstitusi (MK) menjelaskan ada beberapa alternatif bagi debitor untuk merestrukturisasi utangnya, antara lain; (i) dengan menempuh jalur pengadilan atau penyelesaian di luar pengadilan dengan kreditornya (ii) mengajukan PKPU termasuk penyelesaian melalui proses PKPU (iii) mengajukan permohonan pailit secara sukarela, termasuk penyelesaian melalui proses kepailitan. Beberapa alternatif ini memberikan jalan bagi debitor untuk bernegosiasi dengan krediturnya. Mahkamah Konstitusi (MK) menjelaskan ada beberapa alternatif bagi debitor untuk merestrukturisasi utangnya, antara lain; (i) dengan menempuh jalur pengadilan atau penyelesaian di luar pengadilan dengan kreditornya (ii) mengajukan PKPU termasuk penyelesaian melalui proses PKPU (iii) mengajukan permohonan pailit secara sukarela, termasuk penyelesaian melalui proses kepailitan. Beberapa alternatif ini memberikan jalan bagi debitor untuk bernegosiasi dengan krediturnya. MK menilai, proposal perdamaian merupakan inti dari proses PKPU. Meskipun PKPU dapat diterapkan baik oleh kreditor maupun debitor, hanya debitor yang benar-benar memahami keadaan keuangannya. Namun demikian, MK menganggap bahwa meskipun kreditor berhak untuk mengajukan permohonan PKPU, “niat baik”-nya harus diawasi. MK menilai pengawasan tersebut penting untuk menjaga stabilitas ekonomi dan kegiatan usaha debitur, serta kepastian hukum bahwa pelaku usaha dapat menggunakan proses PKPU agar tidak mudah pailit. MK lebih lanjut berpendapat bahwa sebagai bagian dari mekanisme kontrol atas putusan pengadilan pada tingkat di bawah, putusan pengadilan tersebut dapat diperbaiki oleh pengadilan yang lebih tinggi. Hal ini untuk mengurangi kemungkinan penerapan hukum yang salah dan keberpihakan oleh pengadilan tingkat pertama serta adanya sengketa yang sebenarnya antara debitor dan kreditor. MK akhirnya berpendapat bahwa upaya hukum yang tepat untuk putusan PKPU adalah kasasi, tetapi tanpa kesempatan untuk mengajukan peninjauan kembali.

Lihat Juga  Law Firm Jakarta - Hak Milik

Putusan ini penting bagi semua pelaku usaha, terutama bagi mereka yang masih ingin mempunyai harapan positif pada bisnisnya, meskipun kondisi keuangannya sedang sulit atau di masa yang akan datang. Namun harus dipahami bahwa putusan ini hanya berlaku untuk permohonan PKPU yang diajukan oleh kreditor dan ketika proposal perdamaian dari debitor ditolak. Upaya hukum yang sama tidak dapat dilaksanakan jika permohonan PKPU diajukan oleh debitor. Dengan demikian, kedua ketentuan Pasal 235 (1) dan 293 (1) tetap berlaku, tetapi harus dimaknai lebih luas dari apa yang sudah telah ditetapkan. Ini juga berarti, apabila PKPU diajukan secara sukarela oleh debitor, dan kemudian proposal debitor ditolak oleh kreditur dalam rapat kreditor, debitor akan langsung dinyatakan pailit (tanpa adanya upaya hukum).

Eddy leks