Poin Pembelajaran

Meski di dalam hukum adat tidak mengenal konsep daluwarsa, namun dengan lewatnya waktu terbaik untuk menuntut, maka menimbulkan persangkaan hukum bahwa hak (yang mungkin dipunyai) telah dilepaskan (rechtsverwerking).

Ringkasan Pokok Perkara

Penggugat (Muhammad Husin bin Kadir) adalah ahli waris dari Almarhum Kadir bin Kadim. Penggugat mengklaim bahwa ayahnya meninggalkan sebidang tanah seluas ± 14.310 m2, terletak di Jl. Veteran, Kelurahan Bintaro, Kecamatan Pesanggrahan, Jakarta Selatan (dahulu Desa Bintaro, Kecamatan Ciputat-Serpong, Kabupaten Tangerang), berdasarkan Girik C 1044 Persil 122 D.II (“Objek Sengketa”).

Pada tanggal 25 Februari 1972, tanpa sepengetahuan dan seizin dari Almarhum Kadir bin Kadim, Objek Sengketa telah disewakan oleh Tergugat I (Kelurahan Bintaro) kepada Tergugat II (Departemen Pertahanan Keamanan Republik Indonesia) selama 20 tahun, sampai dengan 24 Februari 1992. Penggugat telah beberapa kali meminta kepada baik kepada Tergugat II maupun kepada Tergugat III untuk mengembalikan Objek Sengketa, namun permintaan tersebut ditolak. Penggugat kemudian meminta penjelasan kepada Tergugat III (Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta), namun ternyata Objek Sengketa tercatat sebagai aset Tergugat III berdasarkan Keputusan Gubernur KDKI Jakarta No. Ad.1/1/31/1969 tentang Ketentuan Pokok Penertiban dan Pemberian Hak Atas Tanah Desa Dalam Wilayah DKI Jakarta (“Kepgub KDKI 1969”).

Pertimbangan Hukum

Pada tingkat pertama, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan melalui Putusan No. 421/Pdt.G/2007/PN.Jak.Sel memutuskan bahwa Objek Sengketa adalah milik Penggugat dan menyatakan para tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum. Dalam pertimbangannya, bahwa Objek Sengketa adalah benar tercatat di dalam buku tanah desa (Letter C ex Jawa Barat), atas nama Almarhum Kadir bin Kadim. Selain itu, juga terbukti adanya perjanjian sewa atas Objek Sengketa selama 20 tahun, antara Tergugat I dengan Tergugat II pada tanggal 25 Februari 1972.

Lihat Juga  Kewenangan Pengurus Perhimpunan Penghuni Rumah Susun

Sedangkan, jawaban Tergugat III yang menyatakan bahwa Objek Sengketa adalah dikuasai dan dimiliki oleh Tergugat III berdasarkan Kepgub KDKI 1969 adalah tidak berdasar, sebab Objek Sengketa masuk dalam wilayah DKI Jakarta baru terjadi setelah diterbitkannya Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1974 mengenai perluasan wilayah DKI Jakarta, yaitu salah satunya memasukkan sebagian wilayah Tangerang yakni Kecamatan Ciputat yang meliputi Desa Bintaro ke wilayah hukum DKI Jakarta.

Saat perjanjian sewa berakhir, Tergugat I dan Tergugat II tidak memperbaharui perjanjian sewa, dan tidak mengembalikan Objek Sengketa. Faktanya, Tergugat III mengklaim menguasai Objek Sengketa dan menyatakannya sebagai aset Tergugat III, namun tidak diikuti dengan pembebasan tanah dan pemberian ganti kerugian kepada pihak yang berhak. Karenanya, para tergugat terbukti telah melakukan perbuatan melawan hukum.

Putusan dan pertimbangan ini dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Jakarta melalui Putusan No. 127/Pdt/2009/PT.DKI.

Pada tingkat kasasi, majelis hakim kasasi melalui Putusan No. 2605 K/Pdt/2010 membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Jakarta dan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Dalam pertimbangannya, majelis hakim kasasi berpendapat bahwa terdapat perjanjian sewa atas Objek Sengketa namun Almarhum Kadir bin Kadim tidak pernah mempersoalkan sewa tersebut dan tidak pernah mengklaim Objek Sengketa, dan karenanya fakta-fakta tersebut dianggap membenarkan perjanjian sewa tersebut. Oleh karena itu, sangat diragukan adanya hak tersebut, terlebih Penggugat baru mengajukan tuntutan pada tahun 2007.

Meski di dalam hukum adat tidak mengenal konsep daluwarsa, namun dengan lewatnya waktu terbaik untuk menuntut, maka menimbulkan persangkaan hukum bahwa hak (yang mungkin dipunyai) telah dilepaskan (rechtsverwerking).

Putusan dan pertimbangan Majelis Hakim tingkat kasasi dikuatkan melalui Putusan Peninjauan Kembali No. 120 PK/Pdt/2013.


Adrian Fernando Simangunsong