Keterlanjuran diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 43 tahun 2021 tentang Penyelesaian Ketidaksesuaian Tata Ruang, Kawasan Hutan, Izin, dan/atau Hak Atas Tanah (“PP 43/2021”) yang mendefinisikannya sebagai: “kondisi di mana Izin, Konsesi, Hak Atas Tanah, dan/atau Hak Pengelolaan yang diterbitkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang pada saat itu berlaku, namun menjadi tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini.”1 Secara lebih spesifik, salah satu hal yang diatur dalam PP 43/2021 adalah ketidaksesuaian izin, konsesi, hak atas tanah, dan/atau hak pengelolaan di dalam kawasan hutan karena keterlanjuran. Dalam hal ini, keterlanjuran berhubungan dengan dikuasai dan dimanfaatkannya izin, konsesi, hak atas tanah, dan/atau hak pengelolaan di dalam kawasan hutan sebelum ditunjuk atau ditetapkan kawasan tersebut sebagai kawasan hutan.2
Dalam hal terjadi keterlanjuran, PP 43/2021 mengatur mengenai bagaimana permasalahan tersebut diselesaikan. Adanya mekanisme penyelesaian mengenai keterlanjuran ini, sebenarnya sebagai salah satu penyelenggaraan dari Undang-Undang No. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja (“UU 11/2020”) yang telah Dicabut oleh Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja.
Keterlanjuran mengenai izin, konsesi, hak atas tanah, dan/atau hak pengelolaan di dalam kawasan hutan diatur dalam Pasal 11 PP 43/2021 seperti yang telah dijelaskan di atas. Penyelesaian masalah keterlanjuran ini dapat digunakan dalam permasalahan perkebunan sawit yang berada di dalam kawasan hutan yang terjadi sebelum ditetapkan atau diundangkannya peraturan perundang-undangan baru.
Implementasi Aspek Keterlanjuran
Artikel ini akan membahas bagaimana aspek keterlanjuran dijadikan salah satu hal yang dipertimbangkan Majelis Hakim dalam menilai dan memutuskan perkara terkait perbuatan melawan hukum lingkungan hidup (“PMH”) melalui Putusan Pengadilan Negeri Rokan Hilir Nomor 1/Pdt.G/LH/2021/PN Rhl.
Pihak Bersengketa
Penggugat adalah sebuah organisasi lingkungan hidup Bernama Yayasan Wahana Sinergi Nusantara (Wasinus), sedangkan Tergugat adalah Pihak Swasta dan Turut Tergugat adalah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan).
Latar Belakang
Dasar Penggugat dalam menggugat adalah terjadinya PMH yang dilakukan oleh Tergugat karena memiliki perkebunan kelapa sawit dan fasilitas lainnya seluas ± 756 hektar (“objek sengketa”) yang berada di dalam kawasan hutan menurut SK Menteri Kehutanan No. 173/Kpts-ll/1986 tanggal 6 Juni 1986 (“SK 173/1986”) tentang Penunjukan Areal Hutan di Wilayah Provinsi Dati I Riau sebagai Kawasan Hutan. Lebih tepatnya, objek sengketa termasuk sebagai kawasan hutan lindung menurut Peraturan Daerah Provinsi Riau No. 10 tahun 1994 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Daerah Tingkat I Riau (“PERDA 10/1994”). Penggugat mendalilkan bahwa oleh karena keberadaan objek sengketa terjadi kerusakan lingkungan hidup terhadap kawasan hutan. Sedangkan, Turut Tergugat dilibatkan dalam perkara ini karena merupakan badan hukum publik yang menerbitkan surat keputusan tentang kawasan hutan, bukan karena melakukan PMH.3
Dalam perkara ini, Penggugat memohon Majelis Hakim untuk memutuskan bahwa objek sengketa dinyatakan memang sebagai kawasan hutan lindung dan menghukum Tergugat untuk memulihkan kembali keadaan objek sengketa, sedangkan Turut Tergugat dimohonkan untuk tunduk dan patuh pada putusan.
Jawaban Tergugat
Kawasan Hutan Lindung yang didalilkan Penggugat belum secara final atau definitif ditetapkan menurut SK Menteri Kehutanan. Selain itu, UU 11/2020 pada sektor Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan juga mengatur mengenai ‘keterlanjuran’ dengan istilah ‘kebun yang telah terbangun’4 yang mana mengharuskan penyelesaian perkara ini melalui prosedur administratif mengacu pada Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 2021 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dan Tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Denda Administratif di Bidang Kehutanan (“PP 24/2021”).5 Jadi, secara sederhana, Tergugat mendalilkan bahwa belum terjadi penetapan menjadi kawasan hutan pada masa ketika ia menerima hak atas tanah, dalam hal ini Surat Hak Milik (“SHM”) yaitu bukti T-17 – T-124, terhadap Objek Sengketa.
Pertimbangan Majelis Hakim
Majelis Hakim terlebih dahulu mempertimbangkan apakah memang benar bahwa objek sengketa berada di dalam kawasan hutan. Maka, Majelis Hakim menilai apakah tahapan pengukuhan kawasan hutan – terdiri atas tahapan penunjukan, penatabatasan, pemetaan, dan penetapan – telah dilaksanakan. Menurut fakta yang terungkap, pengukuhan telah dilaksanakan karena tahapan-tahapan di atas telah selesai, juga sebagaimana diterangkan dalam Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. SK. 903/MENLHK/SETJEN/PLA.2/12/2016.6
Setelah dinilai bahwa memang telah terjadi pengukuhan yang menyatakan letak geografis objek sengketa masuk dalam kawasan hutan tersebut, maka Majelis Hakim mempertimbangkan apakah penguasaan Tergugat terhadap objek sengketa adalah PMH. Dalam hal ini, Majelis Hakim menilai penguasaan terhadap objek sengketa oleh Tergugat adalah bertentangan dengan Pasal 50 ayat (3) Undang-Undang No. 41 tahun 1999 (“UU Kehutanan”) tentang Kehutanan yang mengatur tindakan yang dilarang di dalam kawasan hutan. Secara spesifik, Majelis Hakim menilai bahwa penguasaan Tergugat bertentangan dengan huruf a dan b dari artikel tersebut di atas, khususnya mengatur tentang larangan untuk mengerjakan dan/atau menggunakan dan/atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah dan merambah kawasan hutan. Oleh karena itu, Majelis Hakim menilai bahwa penguasaan Tergugat atas objek sengketa adalah PMH secara formil — bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.7
Setelah pertimbangan bahwa penguasaan Tergugat atas objek sengketa adalah PMH secara formil, Majelis Hakim lalu mempertimbangkan apakah SHM yang diajukan sebagai bukti dan alas hak oleh Tergugat atas penguasaannya terhadap objek sengketa adalah suatu keterlanjuran. Majelis Hakim mengacu pada peraturan yang telah disebut di atas yaitu Pasal 1 butir 11 PP 43/2021.
Pertama, majelis hakim mempertimbangkan keterlanjuran ketidaksesuaian tata ruang dengan Kawasan Hutan Provinsi Riau berdasarkan bukti SHM, terbit pada tahun 2006, yang diajukan oleh Tergugat. Dalam hal ini Majelis Hakim menggunakan PERDA 10/1994 yang mana membuktikan bahwa Objek Sengketa berada pada Kawasan Hutan Lindung sehingga SHM tersebut tidak dapat menjadi alas hak atas objek sengketa.8
Kemudian, Majelis Hakim yang merujuk pada PP 43/2021 mengartikan bahwa adanya keterlanjuran pada hak atas tanah jika hak tersebut diterbitkan sebelum penunjukan atau penetapan kawasan hutan. Namun, mengacu pada SK 173/1986, dapat disimpulkan bahwa penunjukan kawasan hutan terjadi pada tahun 1986 sedangkan SHM yang dijadikan bukti terbit pada 2006.9
Tergugat mendalilkan bahwa seharusnya perkara diselesaikan secara administratif karena adanya keterlanjuran dengan merujuk pada Pasal 110A dan 110B UU 18/2013 yang ditambahkan oleh UU 11/2020. Majelis Hakim mempertimbangkan bahwa pasal tersebut mengatur mengenai orang yang melakukan usaha yang telah terbangun dan memiliki Perizinan Berusaha dalam kawasan hutan. Namun, fakta mengungkapkan bahwa Tergugat bahkan tidak memiliki izin dalam melakukan usaha perkebunan kelapa sawit yang didirikan pada Objek Sengketa. Maka dari itu, pasal-pasal tersebut tidak dapat kepada Tergugat.10
Putusan Pengadilan
Pertama, penilaian bahwa SHM, yang dijadikan alas hak oleh Tergugat atas penguasaannya, bukanlah sebuah keterlanjuran. Hal ini karena ketika SHM diterbitkan, kawasan dimana objek sengketa berada sudah dikukuhkan menjadi kawasan hutan lindung. Kedua, penguasaan tersebut bertentangan dengan UU Kehutanan karena dengan menguasai objek sengketa berarti Tergugat mengerjakan dan/atau menggunakan dan/atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah, juga merambah kawasan hutan.11 Ketiga, Tergugat bahkan tidak memiliki izin dalam melakukan usaha perkebunan kelapa sawit, hanya menggunakan SHM sebagai alas hak untuk penguasaannya.12 Oleh karena itu, Majelis Hakim menilai bahwa penguasaan Tergugat atas objek sengketa adalah PMH.
Penutup
Keterlanjuran, seperti yang telah dijelaskan di atas, adalah kondisi dimana izin atau hak atas tanah telah diterbitkan sebelum adanya peraturan perundang-undangan baru yang membuat penerbitan izin atau hak atas tanah tersebut menjadi tidak sesuai dengan hukum yang berlaku sekarang. Dalam hal terjadinya perkara lingkungan hidup berhubungan dengan kawasan hutan – seperti perkebunan sawit, pembangunan, dan semacamnya – penting untuk dinilai apakah ada keterlanjuran dari alas hak yang digunakan dalam melakukan kegiatan tersebut di kawasan hutan, terutama jika alas hak tersebut pada saat perkara terjadi tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Brigieth Rungo Rata
Sources
- PP 43/2021, Pasal 1 butir 11.
- Ibid, Pasal 11 ayat (1) dan (2).
- Putusan Pengadilan Negeri Rokan Hilir Nomor 1/Pdt.G/LH/2021/PN Rhl, hal. 3-9.
- Pasal 110A dan 110 B Undang-Undang Nomor 18 tahun 2013 (“UU 18/2013”) ditambahkan oleh UU 11/2020
- Putusan Pengadilan Negeri Rokan Hilir Nomor 1/Pdt.G/LH/2021/PN Rhl, hal. 86-89
- Putusan Pengadilan Negeri Rokan Hilir Nomor 1/Pdt.G/LH/2021/PN Rhl, hal. 92-95.
- Putusan Pengadilan Negeri Rokan Hilir Nomor 1/Pdt.G/LH/2021/PN Rhl, hal. 96.
- Putusan Pengadilan Negeri Rokan Hilir Nomor 1/Pdt.G/LH/2021/PN Rhl, hal. 98
- Putusan Pengadilan Negeri Rokan Hilir Nomor 1/Pdt.G/LH/2021/PN Rhl, hal. 98.
- Putusan Pengadilan Negeri Rokan Hilir Nomor 1/Pdt.G/LH/2021/PN Rhl, hal. 99-100.
- UU Kehutanan , Pasal 50 ayat (3) huruf a dan b.
- Putusan Pengadilan Negeri Rokan Hilir Nomor 1/Pdt.G/LH/2021/PN Rhl, hal. 105-106.