PENDAHULUAN

Kebijakan Pemerintah di bidang penataan ruang memiliki dampak yang besar bagi masyarakat. Kebijakan penataan ruang terutama peraturan zonasi akan sangat mempengaruhi kepentingan masyarakat, terutama pemilik hak atas tanah. UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang sebagaimana diubah dengan UU No. 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja (“UU Penataan Ruang”) mengamanatkan bahwa penyelenggaraan penataan ruang adalah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.1 Meskipun dilakukan untuk kepentingan kolektif, UU Penataan Ruang mengatur bahwa penyelenggaran penataan ruang harus dilakukan dengan tetap menghormati hak yang dimiliki perorangan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.2

UU Penataan Ruang memberikan kewenangan penyelenggaraan penataan ruang kepada Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah.3 Penataan Ruang Wilayah Nasional menjadi kewenangan Pemerintah Pusat sedangkan Penataan Ruang Wilayah Provinsi dan Kabupaten/Kota menjadi kewenangan pemerintah daerah. Masyarakat yang merasa dirugikan oleh kebijakan pemerintah daerah di bidang penataan ruang dapat menempuh berbagai upaya hukum. Artikel ini akan membahas salah satu upaya hukum yang dapat ditempuh oleh pihak yang merasa dirugikan oleh kebijakan penataan ruang di daerah, yaitu permohonan uji materiil kepada Mahkamah Agung.

Bagian pertama artikel ini akan membahas dasar hukum kewenangan pemerintah daerah di bidang penataan ruang, bagian dua akan membahas kewenangan Mahkamah Agung untuk melakukan hak uji materiil dan bagian terakhir akan membahas 2 (dua) putusan Mahkamah Agung terkait permohonan hak uji materiil terhadap peraturan daerah provinsi yang mengatur mengenai Rencana Detail Tata Ruang.

PEMBAHASAN DAN ANALISIS

Kewenangan Pemerintah Daerah dalam Penataan Ruang
Dalam UU Penataan Ruang, Ruang didefinisikan sebagai wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk hidup lain, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya.4 Sedangkan Penataan Ruang didefinisikan sebagai suatu sistem Perencanaan Tata Ruang, Pemanfaatan Ruang, dan Pengendalian Pemanfaatan Ruang.5

Perencanaan Tata Ruang adalah suatu proses untuk menentukan Struktur Ruang dan Pola Ruang yang meliputi penyusunan dan penetapan Rencana Tata Ruang.6 Perencanaan Tata Ruang terdiri dari:

  1. Rencana umum Tata Ruang; dan
  2. Rencana rinci Tata Ruang.

Berdasarkan UU Penataan Ruang, penataan ruang wilayah dilakukan secara berjenjang dan komplementer dengan cara Rencana Tata Ruang Wilayah (“RTRW”) Nasional dijadikan acuan dalam penyusunan RTRW provinsi dan kabupaten/kota, dan RTRW provinsi menjadi acuan bagi penyusunan RTR kabupaten/kota.7

Rencana umum Tata Ruang secara hierarki terdiri atas:

  1. Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional;
  2. Rencana Tata Ruang Wilayah provinsi; dan
  3. Rencana Tata Ruang Wilayah kabupaten dan Rencana Tata Ruang Wilayah kota.

Dari segi kewenangan, kewenangan untuk melaksanakan penataan ruang di daerah diatur berdasarkan ketentuan Pasal 7 ayat (2) UU Penataan Ruang. Berdasarkan ketentuan Pasal 23 ayat (6) UU Penataan Ruang, RTRW provinsi ditetapkan dengan peraturan daerah provinsi. Selanjutnya Pasal 26 ayat (7) UU Penataan Ruang mengatur bahwa RTRW kabupaten ditetapkan dengan peraturan kabupaten. Sama halnya dengan peraturan zonasi, Pasal 36 ayat (3) UU Penataan Ruang mengatur bahwa peraturan zonasi untuk provinsi ditetapkan dengan peraturan daerah provinsi dan peraturan zonasi untuk kabupaten/kota ditetapkan dengan peraturan daerah kabupaten/kota.

Lihat Juga  Podcast on Real Estate Law - Hak atas Tanah

Hak Uji Materiil Mahkamah Agung
Kewenangan melakukan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang atau Hak Uji Materiil diperoleh Mahkamah Agung secara atribusi berdasarkan ketentuan Pasal 24A UUD 1945. Kewenangan tersebut diatur juga dalam Pasal 31 UU Mahkamah Agung dan Pasal 20 ayat (2) huruf b UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Terdapat 2 (dua) alasan peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang dapat dinyatakan tidak sah oleh Mahkamah Agung, yaitu karena:8

  1. bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi; atau
  2. pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku.

Putusan Mahkamah Agung mengenai sah tidaknya peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang dapat diambil baik (i) berhubungan dengan pemeriksaan pada tingkat kasasi maupun (ii) berdasarkan permohonan langsung pada Mahkamah Agung.9
Tata cara pengajuan permohonan pada Mahkamah Agung diatur dalam Pasal 31A UU Mahkamah Agung dan diatur lebih lanjut dalam Perma No. 01 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil.

Permohonan hanya dapat dilakukan oleh pihak yang menganggap haknya dirugikan oleh berlakunya peraturan perundang-undangan. Permohonan sekurang-kurangnya harus memuat:

  1. nama dan alamat pemohon
  2. uraian mengenai perihal yang menjadi dasar permohonan dan menguraikan dengan jelas bahwa:
    1. materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang dianggap bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi; dan/atau
    2. pembentukan peraturan-perundang-undangan tidak memenuhi ketentuan yang berlaku; dan
  3. hal-hal yang diminta untuk diputus.

Pembahasan Kasus Hak Uji Materiil terhadap Peraturan Daerah

Kasus Posisi

Putusan No. 32 P/HUM/2015 tanggal 10 September 2015
Dalam kasus ini, permohonan pengujian diajukan oleh Para Pemohon yang merupakan warga Blok 05, Kelurahan Cilandak Timur, Kecamatan Pasar Minggu, Jakarta Selatan terhadap Gubernur Provinsi DKI Jakarta selaku Termohon. Para Pemohon mengajukan permohonan pengujian terhadap Pasal 388 ayat (1) huruf d Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta No. 1 Tahun 2014 tentang Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi (“Perda DKI 1/2014”), khususnya Zona Jalur Hijau Blok 05 Kelurahan Cilandak Timur, Kecamatan Pasar Minggu, Kota Administrasi Jakarta Selatan, sebagaimana Gambar-29A Peta Zonasi Kecamatan Pasar Minggu dengan skala 1:5.000 pada Lampiran III-1 dan Tabel 29A Tabel Rencana Pola Ruang Kecamatan Pasar Minggu pada Lampiran III-2 (“Objek Hak Uji Materiil”). Para Pemohon mendalilkan bahwa Perda DKI 1/2014 ditetapkan tanpa melalui konsultasi publik dan tanpa melibatkan publik sebagai pihak yang berhak. Para Pemohon mendalilkan bahwa penentuan Blok 05 Kelurahan Cilandak Timur, Kecamatan Pasar Minggu, Kota Administrasi Jakarta Selatan sebagai Zona Jalur Hijau akan menyebabkan permasalahan sosial karena area tersebut merupakan area pemukiman kepadatan tinggi dengan lebih dari 1.500 penduduk. Berdasarkan dalil-dalil di atas, Para Pemohon memohon kepada Mahkamah Agung untuk menyatakan Objek Hak Uji Materiil batal demi hukum.

Mahkamah Agung menimbang bahwa Para Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan terhadap Objek Hak Uji Materiil karena Para Pemohon merupakan warga yang berdomisili di Zona Jalur Hijau Blok 05 yang merasa dirugikan apabila kawasan tersebut ditetapkan menjadi zona jalur hijau karena menyebabkan Para Pemohon tidak dapat lagi bertempat tinggal di atas lahan yang sudah lama ditempatinya.

Lihat Juga  Perubahan Zonasi Tata Ruang di DKI Jakarta

Mahkamah Agung berpendapat bahwa Objek Hak Uji Materiil bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi yaitu Pasal 27 ayat (2) UU Penataan Ruang, Pasal 159 Peraturan Pemerintah No. 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang, dan Pasal 6 ayat (1) Permen PUPR No. 20/PRT/M/2011 tentang Pedoman Penyusunan RDTR dan PZ Kabupaten/Kota karena dalam proses penyusunannya tidak cukup melibatkan masyarakat (in casu Para Pemohon) sebagai pihak yang berhak melalui konsultasi publik. Mahkamah Agung menimbang bahwa bukti yang diajukan Termohon berupa fotokopi dokumentasi sosialisasi RDTR dan kegiatan sosialisasi RDTR tidak dapat membuktikan telah terjadi kegiatan sosialisasi karena tidak jelas waktu dan tempat kegiatannya.

Berdasarkan pertimbangan tersebut, Mahkamah Agung menyatakan Objek Hak Uji Materiil tidak sah dan tidak berlaku umum serta memerintahkan Termohon untuk mencabut Objek Hak Uji Materiil.

Putusan No. 19 P/HUM/2016 tanggal 19 Juli 2016
Dalam kasus ini, permohonan pengujian diajukan oleh Pemohon yaitu Kelompok Pengusaha Jelambar Baru melawan Gubernur Provinsi DKI Jakarta selaku Termohon. Pemohon mengajukan permohonan pengujian terhadap Pasal 602 ayat (2) huruf g Perda DKI 1/2014, khususnya zona rumah sedang dengan kode R.4, Kelurahan Jelambar Baru, Kecamatan Grogol Petamburan, Kota Administrasi Jakarta Barat, sebagaimana disajikan dalam Tabel-16A Rencana Pola Ruang Kecamatan Grogol Petamburan (“Objek Hak Uji Materiil”). Pemohon mendalilkan bahwa Perda DKI 1/2014 ditetapkan tanpa melalui konsultasi publik dan tanpa melibatkan masyarakat sebagai pihak yang berhak. Pemohon kemudian mendalilkan bahwa penentuan Kelurahan Jelambar Baru, Kecamatan Grogol Petamburan, Kota Administrasi Jakarta Barat sebagai zona rumah sedang dengan kode R.4 berdasarkan Objek Hak Uji Materiil akan merugikan masyarakat (in casu Pemohon) karena tidak bisa lagi melakukan kegiatan usaha dengan segala aspeknya di zona a quo. Berdasarkan dalil-dalil di atas, Pemohon memohon kepada Mahkamah Agung untuk menyatakan Objek Hak Uji Materiil bertentangan dengan undang-undang yang lebih tinggi dan karenanya tidak sah.

Mahkamah Agung menimbang bahwa Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan terhadap Objek Hak Uji Materiil karena Para Pemohon merupakan kelompok orang yang berprofesi sebagai pengusaha di Kelurahan Jelambar Baru yang terkena dampak Objek Hak Uji Materiil yaitu pelarangan mengubah fungsi dari rumah tinggal menjadi tempat usaha sehingga di area tersebut tidak diperkenankan lagi untuk diterbitkan izin domisili usaha. Objek Hak Uji Materiil merugikan hak Pemohon karena Pemohon tidak bisa lagi melakukan kegiatan usaha dan akan menimbulkan permasalahan sosial baru karena adanya pemutusan hubungan kerja secara sepihak yang bersifat massal.

Terhadap pokok permohonan, Mahkamah Agung menimbang bahwa Objek Hak Uji Materiil tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi yaitu Pasal 27 ayat (2) UU Penataan Ruang, Pasal 159 Peraturan Pemerintah No. 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang, dan Pasal 6 ayat (1) Permen PUPR No. 20/PRT/M/2011 tentang Pedoman Penyusunan RDTR dan PZ Kabupaten/Kota karena prosedur pembentukan Objek Hak Uji Materiil telah dilaksanakan dengan melibatkan peran serta masyarakat melalui forum atau kegiatan Focus Group Discussion pada hari Senin tanggal 28 Oktober 2011 dan Rapat Penjaringan Aspirasi dalam rangka penyusunan RDTR yang bertempat di ruang aula Kantor Kecamatan Grogol Petamburan pada tanggal 5 November 2012.

Lihat Juga  Podcast on Real Estate Law – Pengaturan Pembangunan Rumah Susun Di Indonesia

Berdasarkan pertimbangan tersebut, Mahkamah Agung menolak permohonan hak uji materiil dari Pemohon.

Analisis Kasus
Dua kasus di atas adalah mengenai permohonan Hak Uji Materiil terhadap peraturan daerah yang sama, yaitu Perda DKI 1/2014. Tuntutan pemohon dalam dua kasus di atas juga sama, yaitu kerugian akibat peraturan zonasi di lingkungan pemohon.

Dalam dua putusan tersebut, Mahkamah Agung mempertimbangkan apakah Objek Hak Uji Materiil telah memenuhi ketentuan Pasal 27 ayat (2) UU Penataan Ruang, Pasal 159 Peraturan Pemerintah No. 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang, dan Pasal 6 ayat (1) Permen PUPR No. 20/PRT/M/2011 tentang Pedoman Penyusunan RDTR dan PZ Kabupaten/Kota.

Dalam dua putusan tersebut, Mahkamah Agung menyoroti penerapan Pasal 6 ayat (1) huruf b Permen PUPR No. 20/PRT/M/2011 yang mengatur bahwa proses penyusunan RDTR dan peraturan zonasi meliputi pelibatan masyarakat. Dalam menilai apakah ketentuan tersebut telah dipenuhi, Mahkamah Agung hanya mempertimbangkan bukti formil. Dalam Putusan No. 32 P/HUM/2015 bukti-bukti yang diajukan tergugat, Gubernur DKI Jakarta, dinilai tidak dapat membuktikan terjadinya pelibatan masyarakat karena tidak jelas waktu dan tempat kegiatan sosialisasi. Sementara itu dalam Putusan No. 19 P/HUM/2016, bukti-bukti yang diajukan tergugat dinilai dapat membuktikan adanya pelibatan masyarakat melalui adanya Focus Group Discussion dan rapat penjaringan aspirasi di tempat dan tanggal yang jelas.

KESIMPULAN
Berdasarkan uraian dan pembahasan putusan di atas maka dapat disimpulkan bahwa penataan ruang di daerah dilakukan oleh pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota dengan menerbitkan Rancangan Tata Ruang Wilayah Provinsi dan Kabupaten/Kota dan Rencana Detail Tata Ruang yang dituangkan dalam peraturan daerah.

Dalam penyusunannya kebijakan tata ruang daerah, pemerintah daerah harus memperhatikan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional yang diterbitkan oleh Pemerintah Pusat. Peraturan daerah yang memuat kebijakan tata ruang juga harus memperhatikan UU Penataan Ruang dan peraturan pelaksanaannya dalam materi muatannya serta tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan.

Orang yang merasa dirugikan oleh kebijakan penataan ruang pemerintah daerah yang diatur dalam peraturan daerah dapat mengajukan upaya hukum berdasarkan Pasal 66 ayat (1) UU Penataan Ruang. Salah satu upaya hukum yang ada adalah Hak Uji Materiil kepada Mahkamah Agung. Pemohon Hak Uji Materiil harus dapat membuktikan bahwa materi muatan peraturan daerah yang menjadi objek permohonan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di atasnya dan/atau pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku.

Carlo R. Wijaya

Sources

  1. Pasal 7 ayat (1) UU Penataan Ruang
  2. Pasal 7 ayat (3) UU Penataan Ruang
  3. Pasal 7 ayat (2) UU Penataan Ruang
  4. Pasal 1 Angka 2 UU Penataan Ruang
  5. Pasal 1 Angka 5 UU Penataan Ruang
  6. Pasal 1 Angka 13 UU Penataan Ruang
  7. Pasal 6 ayat (3) dan (4) UU Penataan Ruang
  8. Pasal 31 ayat (2) UU Mahkamah Agung
  9. Pasal 31 ayat (3) UU Mahkamah Agung