Pendahuluan

Berdasarkan Penjelasan Pasal 88 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Pengelolaan Lingkungan Hidup (“UU PPLH”), Tanggung Jawab Mutlak adalah unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar pembayaran ganti rugi. Ketentuan Pasal ini merupakan ketentuan khusus lex spesialis dalam gugatan mengenai perbuatan melawan hukum pada umumnya.

Untuk menerapkan Tanggung Jawab Mutlak, penggugat harus membuktikan terpenuhinya unsur-unsur Tanggung jawab mutlak oleh tergugat yang didasarkan pada Pasal 88 UU PPLH. Dalam pembuktian Tanggung Jawab Mutlak akan mengacu kepada Keputusan Mahkamah Agung No. 36 Tahun 2013 tentang Pemberlakuan Pedoman Penanganan Perkara Lingkungan Hidup (“KMA 36/2013”). Dalam hal penerapan Tanggung Jawab Mutlak terhadap perkara lingkungan hidup, dapat dilihat melalui salah satu kasus sengketa lingkungan, yang dalam putusannya, Majelis Hakim mengadili perkara dengan menggunakan tanggung jawab mutlak sebagai dasar pertanggung jawaban perdata.

Artikel ini membahas penerapan Tanggung Jawab Mutlak berdasarkan UU PPLH, dan diadopsi didalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 456/Pdt.G.-LH/2016/PN.Jkt.Sel (“Sengketa Lingkungan Hidup”). Beberapa hal penting yang akan dikaji dari artikel ini, yaitu (i) latar belakang sengketa lingkungan hidup (ii) penerapan tanggung jawab mutlak dalam sengketa lingkungan hidup.

I. Latar Belakang Sengketa Lingkungan Hidup

  1. Tergugat adalah PT WAJ selaku pemegang (i) Izin Usaha Perkebunan (IUP), (ii) Izin Lokasi, (iii) SHGU nomor 1/ Serdang/2009, dan (iv) SHGU Nomor 1 /Kandis/ yang diberikan oleh Bupati Ogan Komering Ilir.1

  2. Bahwa berdasarkan data titik panas dari Satelit MODIS Terra-aqua dari NASA, telah terdeteksi titik panas di area perkebunan kelapa sawit milik Tergugat. Atas informasi tersebut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan selaku Penggugat, membentuk tim verifikasi untuk melakukan verifikasi lapangan dan menemukan fakta bahwa memang benar terjadi kebakaran di areal perkebunan kelapa sawit Tergugat yang terjadi di lahan gambut;2

  3. Atas laporan tersebut, Penggugat menggugat Tergugat dengan dasar bahwa telah terjadi pencemaran lingkungan hidup yang dilakukan oleh Tergugat dengan adanya kejadian kebakaran yang terjadi diatas areal lahan perkebunan kelapa sawit yang berada dalam pengelolaan Tergugat.3

  4. Bahwa Penggugat dalam Petitum Gugatan memohon kepada Majelis Hakim untuk menyatakan Gugatan ini menggunakan Pembuktian dengan Prinsip Tanggung Jawab Mutlak.4

  5. Bahwa pada pemeriksaan dipersidangan, hakim menyimpulkan bahwa sebab kebakaran berasal dari perbuatan manusia,5 Tergugat berdalih kebakaran yang terjadi disebabkan oleh masyarakat sekitar yang sedang melakukan kegiatan mencari ikan dengan cara tradisional yang disebut Lebak Lebong, yaitu dengan cara membakar, sehingga terjadi kebakaran di atas lahan tergugat.6 Selain itu juga, Tergugat menyatakan bahwa dikarenakan terjadinya cuaca ekstrim, sehingga mengakibatkan pemadaman kebakaran tidak mampu untuk dilakukan, dan hal ini, menurut Tergugat, dapat dikategorikan sebagai keadaan kahar.7

  6. Menurut Saksi Ahli Penggugat, atas kebakaran yang terjadi selain berdampak terhadap lahan gambut, juga berakibat kepada timbulnya asap yang luar biasa yang berdampak kepada masyarakat di daerah sumatera yang menimbulkan penyakit saluran pernafasan.8

II. Penerapan Tanggung Jawab Mutlak didalam Sengketa Lingkungan Hidup

Terdapat beberapa poin penting dalam hal hakim memutuskan Kasus Sengketa Lingkungan dengan menggunakan dasar pertanggungjawaban dengan Tanggung Jawab Mutlak seperti:

  1. Kewajiban AMDAL berkaitan dengan Pasal 88 UU PPLH

    Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (“AMDAL”) merupakan kajian mengenai dampak penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan.9 Majelis Hakim dalam Sengketa Lingkungan Hidup berpendapat, didalam pembuktian dengan Tanggung Jawab Mutlak selain mengacu kepada ketentuan Pasal 88 UU PPLH, yang menyatakan bahwa:10

    “Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan”

    Dapat juga ditentukan melalui disyaratkannya AMDAL terhadap suatu usaha dan/atau kegiatan tersebut,11 Hal ini selaras dengan pengaturan AMDAL pada Pasal 22 ayat (1) UU PPLH yang menyatakan bahwa:

    “Setiap usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki AMDAL.”

    Dengan demikian, jika AMDAL dipersyaratkan dalam suatu usaha dan/atau kegiatan, maka dapat dikatakan bahwa usaha dan/atau kegiatan tersebut memiliki resiko menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup.12 Sehingga menurut Majelis Hakim didalam Sengketa Lingkungan Hidup, untuk frase “berdampak penting” di dalam Pasal 22 ayat (1) UU PPLH dapat dimaknai sama dengan frase “ancaman serius” di dalam unsur dari pertanggungan jawab mutlak pada Pasal 88 UU PPLH.13

    Hal tersebut dipertegas kembali oleh Majelis Hakim yang berpendapat bahwa berdasarkan KMA 36/2013, berkenaan dengan “Ancaman Serius” diartikan sebagai:14

    “Terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang dampaknya berpotensi tidak dapat dipulihkan kembali dan/atau komponen-komponen lingkungan hidup yang terkena dampak sangat luas, seperti kesehatan manusia, air permukaan, air bawah tanah, tanah, udara, tumbuhan dan hewan”

    Atas pertimbangan tersebut, Majelis Hakim menilai, dikarenakan adanya kewajiban AMDAL untuk usaha Tergugat maka usaha dan/atau kegiatan yang dilakukan oleh Tergugat telah memenuhi unsur “menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup” berdasarkan Pasal 88 UU PPLH.15

    Majelis Hakim berpendapat, mengingat bahwa Tergugat mempunyai Hak untuk melakukan kegiatan usaha diatas lahan tersebut, maka, Tergugat mempunyai tanggung jawab terhadap kejadian apapun diatas lahan yang dalam pengelolaannya, apabila terjadi kejadian atau peristiwa yang mengarah adanya ancaman serius terhadap lingkungan hidup.16 Selanjutnya, Majelis Hakim berpendapat bahwa, atas kebakaran yang terjadi diatas lahan Tergugat akibat dari tindakan manusia bukan karena alam, maka, Tergugat sebagai pengelola terhadap lahan yang terbakar tersebut harus bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan tersebut tanpa dilihat apakah Tergugat telah melakukan kesalahan atau tidak, namun karena dengan kerusakan lingkungan tersebut dapat menimbulkan ancaman serius terhadap kelangsungan hidup hewan dan tumbuh tumbuhan maupun manusia yang berada disekitar lahan yang telah terbakar tersebut (Strict liability).17

    Dr. Prim Haryadi memberikan tanggapan bahwa, Majelis Hakim dalam Putusan ini telah melakukan intepretasi menurut Bahasa atas frase “berdampak penting” di dalam pasal tersebut dapat dimaknai sama dengan frase “ancaman serius” di dalam unsur dari pertanggung jawaban mutlak. Metode intepretasi ini disebut intepretasi gramatikal untuk mengetahui makna ketentuan undang-undang dengan menguraikannya menurut Bahasa, susunan kata, atau bunyinya. Intepretasi ini selangkah lebih jauh dari sekedar membaca undang-undang.18

  2. Penerapan Tanggung Jawab Mutlak dikaitkan pada Prinsip Kehati-hatian

    Berdasarkan UU PPLH, Prinsip Kehati-hatian diartikan sebagai bahwa ketidakpastian mengenai dampak suatu usaha dan/atau kegiatan karena keterbatasan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi bukan merupakan alasan untuk menunda langkah-langkah meminimalisasi atau menghindari ancaman terhadap pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.19

    Dr. Prim Haryadi menjelaskan bahwa Prinsip Kehati-hatian mengharuskan pelaku usaha untuk melakukan pencegahan dini, misalnya dalam bentuk analisis terhadap risiko lingkungan yang mungkin saja terjadi, meskipun sekecil apapun.20

    Didalam pertimbangan Majelis Hakim pada Perkara Lingkungan Hidup, bahwa Mahkamah Agung dalam perkara No.1794 K/Pdt/2004 yang lebih dikenal dengan kasus “Mandalawangi” mengkaitkan pertanggungjawaban mutlak dengan Prinsip Kehati-hatian, yang menjelaskan bahwa dalam keadaan kurang ilmu pengetahuan dan terjadi pertentangan, sementara lingkungan sudah sangat rusak, maka pengadilan harus memilih dan berpedoman kepada Prinsip Kehati-hatian.21

    Lebih lanjut, Majelis Hakim menjelaskan bahwa dalam penerapan Prinsip Kehati-hatian terdapat 3 (tiga) hal yang perlu diperhatikan:22

    • Ancaman kerusakan lingkungan sangat serius dan bersifat tidak dapat dipulihkan. Perlakuan yang serius diperlukan dalam keadaan akibat atau implikasi bagi generasi sekarang dan yang akan datang, atau dalam keadaan tidak terdapat substitusi dari sumber daya yang digunakan;

    • Ketidakpastian pembuktian ilmiah, keadaan dimana akibat yang akan ditimbulkan dari suatu kegiatan tidak dapat diperkirakan dengan pasti, karena karakter dari persoalannya itu sendiri, penyebab, maupun dampak potensial dari kegiatan tersebut;

    • Upaya pencegahan kerusakan lingkungan tersebut meliputi upaya pencegahan sampai dengan efektivitas biaya.

    Atas pertimbangan tersebut, Majelis Hakim menyimpulkan dengan penerapan prinsip kehati-hatian ini mengandung makna, apabila telah terjadi kerusakan lingkungan hidup, maka kekurangan/ lemahnya pengetahuan tidak dapat dijadikan alasan menunda upaya-upaya pemulihan terhadap lingkungan yang rusak tersebut.23 Atas pertimbangan tersebut, Majelis Hakim dalam pertimbangannya berpendapat bahwa Tergugat harus bertanggung jawab atas kerusakan lingungan yang terjadi di lahan Tergugat.24

  3. Proses pembuktian kausalitas Tanggung Jawab Mutlak dengan dasar sebab faktual

    Majelis Hakim dalam Sengketa Lingkungan Hidup berpendapat, untuk dapat mengenakan Tanggung Jawab Mutlak, perlu adanya hubungan kausalitas antara kebakaran yang terjadi dilahan area Tergugat tersebut dengan kerugian lingkungan yang dialami Penggugat.25 Sehingga dalam pembuktian kausalitas, menurut Majelis Hakim berkonsekuensi pada munculnya kewajiban untuk menguji terhadap 2 (dua) bentuk kausalitas, salah satunya adalah dengan sebab factual.26

    Majelis Hakim berpendapat, pembuktian sebab faktual di dalam dasar pertanggungjawaban mutlak cukup dibuktikan dengan pembuktian penyebab factual secara sederhana. Maksud dari pembuktian penyebab factual secara sederhana adalah Pengadilan tidak perlu membuktikan penyebab factual dengan cara yang hipotesis atau counterfactual. Pertanyaan apa yang seharusnya dilakukan atau tidak dilakukan oleh Tergugat menjadi tidak relevan dalam konteks pertanggungjawaban mutlak, karena pertanyaan tersebut merupakan pertanyaan dalam konteks pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan. Jadi di dalam dasar pertanggungjawaban mutlak, pembuktian penyebab faktual difokuskan pada pertanyaan sederhana: apakah kerugian yang terjadi disebabkan secara factual oleh kegiatan yang dilakukan oleh Tergugat?27

    Sehingga, menurut Majelis Hakim pembuktian sebab faktual dalam Sengketa Lingkungan Hidup, cukup dilakukan dengan cara pembuktian faktual yang sederhana. Maka dari itu, pembuktian penyebab fackual secara sederhana dalam perkara ini cukup dilakukan dengan menjawab pertanyaan: apakah kerugian berupa terjadinya degradasi lahan disebabkan secara factual oleh usaha dan/atau kegiatan yang dilakukan oleh Tergugat?28

    Majelis Hakim dalam membuktikan sebab factual dari kerugian mendasarkan pada 3 (tiga) bukti:29

    • Bukti pertama adalah adanya fakta bahwa kebakaran lahan terjadi didalam konsesi Tergugat. Hal ini menunjukkan bahwa kebakaran terjadi dalam areal yang menjadi tanggung jawab dari Tergugat;

    • Bukti kedua adalah kebakaran yang terjadi di dalam konsesi Tergugat telah menyebabkan terjadinya degradasi lahan baik lahan gambut maupun mineral. Hal ini terbukti dari penelitian yang dilakukan oleh Dr. Basuki Wasis, kebakaran yang telah terjadi mengakibatkan kerusakan struktur gambut;

    • Bukti ketiga, yang juga tidak kalah penting, adalah peristiwa kebakaran lahan merupakan resiko yang inheren di dalam usaha dan/atau kegiatan Tergugat.

    Atas 3 (tiga) bukti tersebut, Majelis Hakim memberikan pertimbangan bahwa, dengan dasar pertanggungjawaban mutlak, maka apa yang sudah dilakukan Tergugat untuk mencegah terjadinya kebakaran menjadi tidak relevan. Oleh karenanya usaha dan/atau kegiatan yang dilakukan oleh Tergugat merupakan penyebab factual terjadi kerugian degradasi lahan yang diderita oleh Penggugat.30

    Majelis Hakim dalam Sengketa Lingkungan Hidup memutus perkara dengan menyatakan Gugatan ini menggunakan Pembuktian dengan Prinsip Strict Liability, menghukum Tergugat untuk membayar ganti rugi, serta menghukum Tergugat untuk melakukan tindakan pemulihan lingkungan hidup atas lahan yang terbakar.31

Irsandi Rahmat Wijaya

Sources

  1. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 456/Pdt.G LH/2016/PN.JKT. Sel, halaman. 294
  2. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 456/Pdt.G LH/2016/PN.JKT. Sel halaman. 289
  3. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 456/Pdt.G LH/2016/PN.JKT. Sel halaman. 287
  4. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 456/Pdt.G LH/2016/PN.JKT. Sel halaman. 44
  5. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 456/Pdt.G LH/2016/PN.JKT. Sel halaman. 291
  6. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 456/Pdt.G LH/2016/PN.JKT. Sel halaman. 289
  7. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 456/Pdt.G LH/2016/PN.JKT. Sel halaman. 290
  8. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 456/Pdt.G LH/2016/PN.JKT. Sel, halaman. 295
  9. Pasal 1 ayat (11) UU PPLH
  10. Pasal 88 UU PPLH sebelum diamandemen UU Cipta Kerja
  11. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 456/Pdt.G LH/2016/PN.JKT. Sel, halaman. 293
  12. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 456/Pdt.G LH/2016/PN.JKT. Sel, halaman. 293
  13. Ibid.
  14. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 456/Pdt.G LH/2016/PN.JKT. Sel, halaman. 293
  15. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 456/Pdt.G LH/2016/PN.JKT. Sel, halaman. 294
  16. Ibid.
  17. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 456/Pdt.G LH/2016/PN.JKT. Sel, halaman. 295
  18. Prim Haryadi, Penyelesaian Sengketa Lingkungan melalui Gugatan Perdata, Jakarta, 2022, Halaman. 200
  19. Penjelasan Pasal 2 huruf (f) UUPPLH
  20. Prim Haryadi, Penyelesaian Sengketa Lingkungan melalui Gugatan Perdata, Jakarta, 2022, Page. 35
  21. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 456/Pdt.G LH/2016/PN.JKT. Sel, halaman. 295
  22. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 456/Pdt.G LH/2016/PN.JKT. Sel, halaman. 295
  23. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 456/Pdt.G LH/2016/PN.JKT. Sel, halaman. 296
  24. Ibid.
  25. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 456/Pdt.G LH/2016/PN.JKT. Sel, halaman. 299
  26. Ibid.
  27. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 456/Pdt.G LH/2016/PN.JKT. Sel, halaman. 299
  28. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 456/Pdt.G LH/2016/PN.JKT. Sel, halaman. 301
  29. Ibid.
  30. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 456/Pdt.G LH/2016/PN.JKT. Sel, halaman. 301
  31. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 456/Pdt.G LH/2016/PN.JKT. Sel, halaman. 304
Lihat Juga  Panas Bumi untuk Pemanfaatan Tidak Langsung