Pendahuluan

Lingkungan merupakan salah satu aspek penting dalam kehidupan di bumi. Menjaga lingkungan merupakan kewajiban bagi seluruh masyarakat Indonesia. Sebagaimana yang telah kita ketahui dalam Undang-Undang No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (“UU PPLH”) yang telah di ubah dengan Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (“UU Cipta Kerja”) dan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah No. 22/2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (“PP 22/2021”) mengatur mengenai pengelolaan lingkungan hidup, di antaranya yaitu pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun (“Limbah b3”).

Artikel ini membahas beberapa ketentuan limbah b3 dalam UU Lingkungan sebagaimana yang telah di ubah oleh UU Cipta Kerja serta pengaturan yang terdapat dalam Peraturan Pemerintah. Di samping itu, akan ada pembahasan dari judex facti dan judex juris mengenai penerapan dan aspek penting yang perlu diperhatikan menurut Hakim dalam menerapkan hukum lingkungan, dengan berfokus pada penerapan hukum lingkungan terhadap limbah b3.

Pembahasan Umum Limbah b3

Bahan berbahaya dan beracun adalah zat, energi. dan/atau komponen lain yang karena sifat, konsentrasi, dan/atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan/atau merusak Lingkungan Hidup, dan/atau membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, serta kelangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lain.1 Sedangkan, limbah b3 merupakan sisa suatu usaha dan/atau kegiatan yang mengandung b3.2

Limbah b3 yang biasanya merupakan penyebab terjadinya pencemaran lingkungan hidup, sehingga perusahaan yang dalam bidang usahanya mengelola atau dapat menghasilkan limbah b3 wajib untuk melakukan pengelolaan yang dapat berupa pengurangan, penyimpanan, pengumpulan, pengangkutan, pemanfaat, pengolahan, dan/atau penimbunan.3

Limbah b3 memiliki penggolongan yang didasarkan atas kategori bahayanya dimana terbagi dari Limbah b3 kategori 1 dan 2.4 Untuk dapat mengetahui pembagian limbah tersebut dapat merujuk pada Lampiran IX dari PP 22/2021. Dalam lampiran tersebut tertera rincian mengenai golongan limbah b3 seperti Asam Sulfat, Sludge, maupun zat-zat lain tergolong dalam limbah b3.

Lihat Juga  Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum

Selanjutnya, dalam menentukan adanya suatu pencemaran lingkungan, diperlukan suatu parameter agar dapat membuktikan lingkungan dapat masuk kategori “tercemar”. Baku mutu merupakan batas atau parameter agar membuktikan lingkungan hidup dapat dikatakan “tercemar”.5 Di samping itu, pengukuran baku mutu juga dibagi terhadap bagian dari masing-masing lingkungan, dimana terbagi menjadi baku mutu air, baku mutu air limbah, baku mutu udara ambien, baku mutu emisi, dan baku mutu air laut.

Gugatan Ganti Rugi terhadap adanya pencemaran limbah b3

Dalam penegakan hukum lingkungan, salah satu cara yaitu penegakan hukum perdata, dengan cara menuntut ganti rugi terhadap terjadinya pencemaran lingkungan. Namun, agar dapat menuntut ganti rugi terhadap pencemaran lingkungan, diperlukan pembuktian lebih lanjut berupa pembuktian tingkat baku mutu terhadap standar baku mutu yang telah ditetapkan.

Dalam salah satu kasus antara LSM Forum Peduli Lingkungan Pali melawan PT Pertamina EP Asset 2 Pendopo Adera Field dalam putusan Pengadilan Negeri No. 17/Pdt.G-LH/2016/PN Mre jo. Putusan Pengadilan Tinggi No. 23/PDT/2017/PT.PLG jo. Putusan Mahkamah Agung No. 3304 K/Pdt/2017 dalam pertimbangan hukum judex facti dan judex juris menjelaskan bahwa untuk membuktikan suatu pencemaran lingkungan diperlukan metodologi, berupa ukuran baku serta parameter yang dapat dinilai melalui bukti ilmiah berupa hasil dari analisa laboratorium dengan didukung keterangan ahli.

Hal ini juga selaras dengan Putusan Mahkamah Agung No. 1808 K/Pdt/2009 antara 3 orang nelayan di daerah Riau melawan PT Aneka Tambang (Tbk), dalam pertimbangan hukum judex juris mengatakan bahwa “Bukti berupa Nota dari Dinas Dirjen Perikanan dengan diperkuat keterangan saksi ahli, belum sepenuhnya memenuhi apa yang dituntut oleh hukum. Berupa belum ada nya tindak lanjut dalam bentuk pemeriksaan laboratorium agar dapat membuktikan “pembangunan dermaga” mengakibatkan adanya pencemaran lingkungan yang menyebabkan matinya ikan-ikan penggugat.” Dari pertimbangan judex juris tersebut, menjelaskan bahwa untuk membuktikan apakah terjadi suatu pencemaran lingkungan, pembuktian menggunakan hasil pemeriksaan laboratorium merupakan hal yang penting. Karena dengan membuktikan melalui hasil laboratorium, dapat menentukan apakah suatu lingkungan sudah terkategori tercemar dengan dilampaui nya baku mutu tertentu sesuai dengan standard baku mutu yang telah ditetapkan oleh hukum yang berlaku.

Lihat Juga  Sistem Perjanjian Pendahuluan Jual Beli Rumah

Penutup

Berdasarkan pertimbangan judex facti & judex juris diatas, sehingga dalam pembuktian kasus pencemaran lingkungan hidup, pengukuran baku mutu, serta penggunaan alat bukti berupa hasil laboratorium ilmiah merupakan hal yang penting agar dapat membuktikan apakah suatu lingkungan tercemar atau tidak dengan dilampauinya baku mutu tertentu dengan standar baku mutu yang telah ditetapkan sesuai hukum yang berlaku.

Avan Oktabrian Buchori

Sources

  1. Pasal 1 Angka 21 UU PPLH jo. Pasal 1 Angka 67 PP 22/2021
  2. Pasal 1 Angka 22 UU PPLH jo. Pasal 1 Angka 69 PP 22/2021
  3. Pasal 1 Angka 78 PP 22/2021
  4. Pasal 278 PP 22/2021
  5. Pasal 1 Angka 28 PP 22/2021 “Pencemaran Lingkungan Hidup adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam Lingkungan Hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu Lingkungan Hidup yang telah ditetapkan.”